Amfibi Purba Berusia 170 Juta Tahun Itu Kini di Ujung Kepunahan

Kabar Sains

Amfibi Purba Berusia 170 Juta Tahun Itu Kini di Ujung Kepunahan

Rachmatunnisa - detikJabar
Minggu, 05 Okt 2025 07:00 WIB
Salamander raksasa
Salamander raksasa (Foto: IFL Science)
Bandung -

Salamander raksasa China dikenal sebagai salah satu amfibi terbesar di dunia, dengan ukuran tubuh hampir setara manusia kecil. Hewan yang kerap dijuluki fosil hidup ini berasal dari garis keturunan yang sudah ada sejak sekitar 170 juta tahun silam. Dalam beberapa dekade terakhir, kisah mereka semakin rumit akibat munculnya fenomena baru, yakni hibrida.

Spesies ini dapat tumbuh hingga 1,8 meter dan biasanya mendiami aliran sungai berbatu di pegunungan wilayah China Tengah. Dengan bentuk kepala yang datar, mata berukuran kecil, serta kulit berlipat-lipat longgar, penampilannya sering membuat mereka keliru disangka batu berbintik atau makhluk purba.

Dalam Daftar Merah IUCN, salamander raksasa China tercatat sebagai spesies yang sangat terancam punah, terutama karena penangkapan berlebihan. Di negeri asalnya, mereka bernilai tinggi sebagai hidangan mewah sekaligus bahan dalam pengobatan tradisional.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada periode 1960-1970-an, ratusan ekor salamander raksasa dikirim ke Jepang sebagai bahan pangan baru sekaligus hewan peliharaan eksotis. Diberitakan bahwa pemerintah Jepang sempat berupaya membatasi restoran yang menyajikan daging langka tersebut pada 1973. Namun perdagangan itu gagal dibendung, sehingga banyak pedagang melepas salamander asal China ke lingkungan liar Jepang.

Terdapat pula catatan tentang ratusan ekor yang dibawa ke sebuah rumah pribadi di Prefektur Okayama, di mana sebagian besar diduga melarikan diri. Sebagian kecil dari mereka bertahan hidup di habitat barunya dan akhirnya bersinggungan dengan salamander raksasa Jepang, kerabat dekat dalam genus yang sama.

ADVERTISEMENT

Para peneliti kemudian menemukan bukti bahwa kedua spesies tersebut dapat kawin silang dan menghasilkan hibrida. Studi pada 2024 yang mengambil 68 sampel dari Sungai Kamogawa di Kyoto, ditambah koleksi dari akuarium, kebun binatang, serta kepemilikan pribadi, mengonfirmasi adanya individu hibrida. Bahkan, beberapa keturunan hasil persilangan ini juga kawin dengan sesamanya atau dengan populasi yang masih dianggap murni, sehingga menghasilkan kombinasi genetik yang semakin beragam.

Salamander raksasaSalamander raksasa Foto: IFL Science

Selain masalah hibrida, salamander raksasa juga menimbulkan persoalan taksonomi. Pada 2019, riset menunjukkan bahwa salamander raksasa China sebenarnya terdiri atas tiga spesies berbeda, salah satunya adalah salamander raksasa China Selatan yang berukuran paling besar. Penelitian lebih lanjut di 2024 memperkirakan jumlah spesiesnya bisa mencapai sembilan.

Pembagian ini menimbulkan tantangan besar dalam konservasi. Perlindungan hukum yang sudah berlaku hanya mencakup sebagian spesies yang sudah diakui, sedangkan spesies baru yang diidentifikasi belum otomatis mendapatkan perlindungan, bahkan sebagian belum diberi nama resmi.

Situasi di Jepang lebih rumit lagi karena keberadaan hibrida. Sejak 2011, tidak ada lagi salamander murni asal China yang terlihat di alam liar Jepang, menandakan kepunahan mereka di wilayah tersebut. Di tanah asalnya, populasi salamander raksasa juga terus menyusut drastis dan diperkirakan akan hilang sama sekali dalam waktu dekat.

Saat ini, para konservasionis berupaya keras menemukan individu terakhir yang masih bertahan, terutama betina, untuk dijadikan dasar program pembiakan. Namun, tantangan utamanya adalah memisahkan salamander China dan Jepang yang secara fisik hampir tak bisa dibedakan, kecuali melalui uji DNA yang rumit.

(yum/yum)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads