Seni Gaok di Ujung Kepunahan

Seni Gaok di Ujung Kepunahan

Wilda Riva Fadhilah - detikJabar
Minggu, 07 Jan 2024 12:00 WIB
Ilustrasi.
(Foto: Ilustrasi by AI Gencraft)
Majalengka -

Gaok merupakan salah satu kesenian khas Majalengka. Seni bertutur lisan itu kini sudah hampir menjemput ajalnya. Saat ini, hanya tersisa Bah Rukmin sebagai dalang gaok terakhir di Majalengka.

Dangdanggula

Bagja teuing nagri sindangkasih (Bahagia hatiku di kota Sindangkasih)
Subur ma'mur estu lain beja (Subur makmur seperti tanah yang subur)
Bukti henteu pisan bohong (Bukti tidak terlalu banyak dusta)
Kahirupan nu dilembur (Kehidupan yang sejahtera)
Ngutamakeun rakyat leutik (Mengutamakan rakyat kecil)
Kaamanan di desa (Keamanan di desa)

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Asal-usul Seni Gaok

Penggalan lirik di atas merupakan contoh naskah yang digunakan dalam pertunjukan gaok. Naskah tersebut menceritakan tentang rasa suka hati tinggal di Kota Sindangkasih (Majalengka) yang subur dan makmur. Kehidupan di kota tersebut sangat sejahtera, para pemangku kebijakan pun mengutamakan kepentingan rakyat kecil.

Terkesan indah dan menggambarkan keindahan kan, detikers? Namun, tahukah kamu lirik tersebut dinyanyikan dengan cara berteriak? Mari kita mengenal gaok lebih dalam.

ADVERTISEMENT

Gaok berasal dari kata ngagorowok yang artinya berteriak. Dilansir dari kebudayaan.kemdikbud.go.id, gaok adalah seni mamaos (membaca teks) dan menyampaikan wawacan ka nu acan (memberi tahu kepada orang yang belum tahu) dalam bentuk pupuh. Dilansir dari Indonesian Journal of Primary Education, pupuh adalah puisi tradisional Sunda yang memiliki patokan jumlah suku kata dan vocal akhir pada setiap barisnya.

Ilustrasi.(Foto: Ilustrasi by AI Gencraft)

Dikutip dari lamandisparbud.majalengkakab.go.id, mulanya gaok adalah media dakwah Islam pada masa pemerintahan Pangeran Muhammad abad ke-15. Tokoh yang berjasa mengembangkan gaok saat itu adalah Sabda Wangsaharja dan E. Wangsadiharja.

Berdasarkan sejarahnya, seni gaok mengalami perpaduan antara budaya Sunda dan Islam. Hal tersebut dapat terlihat dari awal pertunjukan yang dimulai dengan ucapan basmallah, namun dalam bahasa Sunda.

Muhamad Ridwan, S.Sn., selaku juru gaok muda menambahkan, gaok juga berasal dari kebiasaan masyarakat ketika berada di hutan atau sawah. "Dulu gaok itu digunakan sebagai kode, ketika sedang di hutan dan merasa keeung (takut), akhirnya mereka berteriak seolah mencari teman, lalu dijawab oleh orang yang berada di sisi hutan lainnya, hingga akhirnya saling bersahutan dan jadilah seni," kata Ridwan saat wawancara di SMPN 3 Majalengka, 14 Desember 2023.

Gaok Dulu dan Sekarang

Isi dari tampilan seni bertutur lisan ini sudah sedari dulu berisikan wawacan. Pada pertunjukan gaok, wawacan tidak hanya sekadar dibaca, namun dinyanyikan dengan cara berteriak melalui suara khas melengking dari para penyanyinya (laki-laki).

Pertunjukan seni gaok melibatkan empat sampai enam orang, dengan satu orang sebagai dalang/pemimpin, selebihnya menjadi juru mamaos (yang mengulangi perkataan dalang dengan nada tinggi atau gaok) dan penabuh alat pengiring.

Dulu, gaok dilengkapi alat pengiring berupa songsong (bambu) dan buyung (tempat menyimpan air dari tembaga). "Buyung teh bisa niup goong leutik jeung goong gede, anu ahli na tos almarhum. Ayeuna tos teu aya nu bisa, da kuring ge teu bisa, mun bisa mah geus ku sorangan (yang bisa memainkan buyung sudah meninggal. Sekarang sudah tidak ada yang bisa, saya juga tidak bisa, kalau bisa sudah saya mainkan sendiri)," kata Bah Rukmin, dalang Gaok, saat wawancara di kediamannya di Desa Kulur, Majalengka, 14 Desember 2023.

Bah Rukmin menjelaskan buyung berfungsi sebagai goong kecil dan goong besar pada pertunjukan gaok. Namun sayangnya, buyung dan songsong kini hanya tersisa peninggalan alatnya saja, karena teman Bah Rukmin yang dapat memainkan alat tersebut sudah meninggal dan tidak sempat mewariskan cara memainkannya.

Bah Rukmin menjelaskan bahwa gaok dulu hanya terbatas pada perayaan tertentu, biasanya gaok dipentaskan ketika upacara Babarit Pare (syukuran ketika padi akan dipanen) dan ritual Ngayun (acara syukuran 40 hari kelahiran bayi).

Kostum yang dikenakan para seniman gaok adalah baju kampret, lengkap dengan iket Sunda di kepalanya. Hingga saat ini, seniman gaok masih menggunakan pakaian tersebut.

Tak hanya tampil pada acara tertentu, gaok pun kini dapat disaksikan dalam berbagai momen. "Saya dulu dipanggil pentas gaok hanya untuk acara syukuran kelahiran bayi, tapi pada akhirnya di acara khitanan, bahkan di acara pernikahan pun saya dipanggil," cerita Bah Rukmin.

Seiring berjalannya waktu, Ridwan sebagai juru gaok muda menjelaskan, secara musikalitas, gaok saat ini sudah diiringi beberapa alat musik. "Terkadang di beberapa pertunjukan, gaok diiringi kacapi, rebab, kendang, dan goong," jelas Ridwan.

Sementara itu, pada pementasan gaok, terdapat nilai-nilai kearifan lokal yang dapat kita ambil. Sudah ada peneliti yang mengulik terkait nilai-nilai kearifan lokal pada gaok. Mereka adalah Masitoh dan Sudrajat. Kepedulian mereka terhadap gaok, mengantarkan pada sebuah hasil karya artikel jurnal dengan judul "Nilai-Nilai Kearifan Lokal Kesenian Gaok Sebagai Sumber Pembelajaran Sejarah"

Hasil penelitian pada artikel jurnal milik Masitoh dan Sudrajat menjelaskan, gaok memiliki makna positif dalam sistem religi, sosial, bahasa, pengetahuan, mata pencaharian, dan tentunya kesenian.

Contohnya adalah wawacan yang menceritakan sejarah Talaga Manggung. Pada salah satu bagian naskah Talaga Manggung, dijelaskan bahwa toleransi beragama masyarakatnya pada saat itu sangatlah tinggi, meskipun kerajaannya bercorak Budhha, namun tetap harmonis dengan masyarakat yang beragama Hindu.

Masitoh dan Sudrajat menambahkan, lirik Talaga Manggung itu mengandung makna bahwa, sikap toleransi dan saling menghargai satu sama lain sangatlah penting, meskipun kita tidak hidup di jaman kerajaan Talaga Manggung. Melalui sikap toleransi, tidak akan timbul perpecahan, dan akan tercipta kehidupan yang lebih tentram.

Bah Rukmin sang Juru Gaok Terakhir

Pementasan gaok saat ini menjadi hal yang langka. Salah satu penyebabnya karena juru Gaok di Majalengka hanya tersisa satu dan menjadi yang terakhir, Abah Rukmin namanya. Beliau diperkirakan sudah menginjak usia 79 tahun.

Usut punya usut, Bah Rukmin ternyata merupakan keponakan dari E. Wangsadihardja, tokoh yang saat berperan mengembangkan gaok. Bah Rukmin sudah berkiprah dalam pertunjukan gaok sejak 1963.

Menurut cerita Bah Rukmin, beliau diajari gaok oleh dua guru, yaitu Saninta sebagai pengajar vokal dan Syukur sebagai pengajar bahasa Arab. "Dulu saya belajar dengan dua orang guru, yang satu untuk mengajarkan vokal dan satu lagi untuk mengajarkan bahasa Arab, karena dulu naskah gaok ada beberapa yang menggunakan huruf Arab Pegon," ucap Bah Rukmin.

Bah Rukmin menceritakan dulu ia belajar gaok dengan dua orang temannya, yaitu Kono dan Abdul. Mereka terus menekuni gaok selama tiga bulan. Dari ketiga murid tersebut hanya Bah Rukmin dan Kono berhasil lulus. Sedangkan Abdul, karena suaranya sumbang, ia memilih untuk tidak lanjut belajar gaok.

Sejak saat itu Bah Rukmin mulai mengembangkan gaok. Bah Rukmin mendapat kepercayaan dari E. Wangsadiharja untuk menyimpan naskah dan melanjutkan seni gaok di Majalengka.

Bah Rukmin.Bah Rukmin. (Foto: Koleksi pribadi)

Kilas Balik Perjuangan Bah Rukmin

Melihat nasib gaok yang ada di ujung tanduk, tentu Bah Rukmin sebagai juru gaok terakhir tidak tinggal diam, banyak upaya yang telah Bah Rukmin lakukan.

Fakhrurozi, seorang peneliti etnografi menjelaskan beberapa upaya yang pernah Bah Rukmin lakukan untuk menjaga kesenian gaok. Semuanya tertulis dalam sebuah artikel jurnal berjudul "Pemertahanan Tradisi Lisan Gaok di Desa Kulur Majalengka."

Hasil penelitian tersebut menjelaskan bahwa Bah Rukmin dengan temannya dulu pernah mendirikan sanggar bernama "Sinar Kiara Rambay" sebagai salah satu upaya mempertahankan eksistensi gaok.

Upaya lainnya dijelaskan oleh Fakhrurozi, pada tahun 2000-an Bah Rukmin pernah membuat inovasi dengan menambahkan nuansa baru pada unsur musik, lagu dan komedi. Pada masanya, inisiatif Bah Rukmin tersebut berhasil meraih kembali antusias penonton.

Selain itu, Bah Rukmin hingga saat ini masih menyimpan dengan apik koleksi wawacan gaok di dalam lemarinya. Namun, ternyata banyak sekali naskah yang hilang akibat ulah akademisi yang pernah meminjam dan tak kunjung dikembalikan.

Padahal, naskah wawacan merupakan unsur penting dalam pementasan gaok. Ridwan juga mengeluhkan hal yang sama, ia berharap bahwa siapapun yang pernah meminjam, memiliki itikad baik segera mengembalikannya.

"Pengumuman untuk Anda yang sudah membawa naskah gaok dan belum dikembalikan ke Abah Rukmin di Majalengka, dengan kerendahan hati kami, kami sangat menunggu itikad Anda untuk mengembalikannya!" ujar Ridwan.

Bah Rukmin.Salah satu naskah wawacan Gaok. (Foto: Koleksi pribadi)

Apa Kabar Gaok di Majalengka?

Saat ini, eksistensi gaok di Majalengka sangat menurun, bahkan dapat dikatakan hampir punah. Bah Rukmin menyampaikan, bahwa terakhir dipanggil untuk pentas gaok sekitar tiga bulan lalu, itu pun untuk acara keluarga dekatnya. Ridwan menambahkan salah satu penyebab lunturnya seni gaok adalah akibat dari kemajuan zaman.

"Sekarang kita kerja sudah serba mesin, bahkan di sawah saja sudah pakai traktor. Padahal dalam gaok itu ada satu pupuh namanya Wirangrong, yang dikhususkan untuk mengemudi kerbau. Kalau budaya membajak sawah masih menggunakan kerbau, pasti hariring haleuang pupuh tersebut masih lestari. Sekarang kan sudah zaman modern, petani pakai traktor, lagunya juga pasti yang kekinian," tutur Ridwan.

Hingga kini, belum ada penerus yang secara konsisten dapat melanjutkan kesenian gaok. Ridwan pun mengaku dirinya belum bisa konsisten dalam mempelajari seni gaok karena kesibukannya dalam aktivitas lain. "Anak muda jaman sekarang tidak ada yang tertarik ke gaok. Mereka lebih tertarik pada musik musik band," begitu ucap Bah Rukmin.

Pernyataan tersebut didukung oleh Ridwan. "Gaok ini memang kurang peminat, salah satu alasannya karena teknik vokal yang digunakan terbilang unik, jadi tidak sembarang orang bisa menjadi juru gaok. Harus laki-laki yang memiliki karakter suara tenor atau bernada tinggi."

"Saking uniknnya, seni ini jadi nggak punya pasar. Kalau ibarat dagangan, ini langka banget, harganya mahal dan pembelinya jarang. Kalau dibandingkan kesenian lain dan berkaitan dengan pasar, gaok cukup mengkhawatirkan, karena kebutuhan masyarakat terhadap gaok ini sudah bisa dikatakan tidak ada, kecuali daerah Bah Rukmin, itupun lingkup keluarganya saja," kata Ridwan.

Selanjutnya, bagaimana dengan peran pemerintah daerah? Ridwan merasa pemerintah masih kurang memberikan atensi terhadap seni gaok. "Mohon maaf ini hanya pandangan saya saja, saya rasa pemerintah masih kurang. Kalaupun ada, sifatnya sangat temporer. Jika ada program pemantik, misalnya dari kementerian, baru gaok dilibatkan. Kalau biasa-biasa seperti ini, ya tidak ada langkah pelestarian sama sekali," ujar Ridwan.

Ridwan menyebut akan cukup sulit untuk melestarikan seni gaok, "Saya juga bingung ini harus dibagaimanakan, apakah gaok memang harus benar benar punah setelah tidak adanya Abah atau ada langkah konkret dari pemangku kebijakan untuk menarik para seniman/masyarakat dalam melestarikan seni gaok."

Meski pesimis, Ridwan menyimpan secercah optimisme dalam dirinya. Ia merasa yakin terhadap keberadaan masyarakat atau seniman yang berpotensi untuk menjadi penerus gaok.

"Saya yakin pasti ada orangnya. Harapannya minimal ada keinginan untuk belajar saja dulu, baik itu dari akademisi, seperti rekan-rekan mahasiswa ISBI atau UPI yang punya bakat di bidang vokal, ataupun masyarakat. Kita tunjukkan kepedulian kita yang sesungguhnya untuk seni gaok. Jadi yuk kita belajar gaok, selagi abah masih ada," tutur Ridwan.

Sebab gaok adalah harta karun yang harus dijaga kelestariannya. Karena di balik berkembangnya gaok, terdapat upaya Bah Rukmin dan pelaku seni lainnya yang patut dihargai.

Naskah gaok banyak memberikan pelajaran hidup yang bisa kita implementasikan. Bahkan istimewanya, meskipun naskah tersebut dibuat sejak puluhan tahun lalu, pesannya masih tetap bermakna baik untuk kehidupan saat ini. Pesan moral dalam naskah gaok, hanya akan sampai di telinga kita ketika gaok masih ada.

Pada kondisi gaok yang kritis ini, perlu gerakan dari hati nurani masyarakat, begitu pun pemerintah untuk sama-sama melestarikannya. Mari kita hidupkan kembali budaya Jawa Barat yang hampir punah!

Referensi:

  1. Fakhrurozi, J. (2016). Pemertahanan Tradisi Lisan Gaok di Desa Kulur Majalengka. Teknosastik, 14(2), 28-38. https://ejurnal.teknokrat.ac.id/index.php/teknosastik/article/view/59
  2. Masitoh, I. S., & Sudrajat, A. (2022). Nilai-Nilai Kearifan Lokal Kesenian Gaok Sebagai Sumber Pembelajaran Sejarah. Diakronika, 22(1), 96-115. http://diakronika.ppj.unp.ac.id/index.php/diakronika/article/view/240
  3. Merlina, N. (2021, Desember 23). Seni Gaok. https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbjabar/seni-gaok.
  4. 4. Admin, P. (2022, September 14). Gaok Sebagai Kesenian Khas Majalengka. https://disparbud.majalengkakab.go.id/gaok-sebagai-kesenian-khas-majalengka


*Artikel ini ditulis oleh Wilda Riva Fadhilah (mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Pendidikan Indonesia). Isi dan bahasan konten sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.

Bagi Anda yang ingin berpartisipasi dalam rubrik Jurnalisme Warga, bisa mengirimkan tulisan, foto pelengkap tulisan, dan foto identitas (KTP, Kartu Pelajar, Kartu Mahasiswa, dan semacamnya) ke email redaksijabar@detikjabar.com.

Halaman 2 dari 2
(orb/orb)


Hide Ads