Suasana Udjo Ecoland nampak sejuk dan rindang dengan rimbunnya pohon bambu di sore itu. Dari kejauhan, di sebuah rumah bambu nampak seorang pria sedang sibuk membuat angklung.
Dengan cekatan, satu persatu bilah bambu dipotong-potong dengan menggunakan pisau raut yang ada di tangan kanannya. Setelah berhasil dipotong, ujung bambu itu diraut hingga berbentuk tabung bambu.
Pria yang kini berumur 53 tahun ini bernama Eri Yayat atau karib disapa Abah Yayat. Puluhan tahun sudah, Abah Yayat menjadi perajin angklung dan mengabdi di Saung Angklung Udjo.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
detikJabar berkesempatan berbincang dengan Abah Yayat. Dia mengatakan, keahlian membuat angklung didapat setelah belajar dari Ujo Nalagena atau Pak Udjo yang merupakan pendiri Saung Angklung Udjo.
Sebelum lihai dalam membuat alat musik tradisional, Abah Yayat mengaku dulunya di Saung Angklung Udjo dia hanya bantu-bantu atau yang kini dikenal dengan istilah office boy.
"Sejak 1987, bisanya dari Saung Angklung Udjo, dulu setengah hari kerja umum, setengah hari kerja produksi. Dulu sama Pak Udjo diarahin ke produksi supaya bisa bikin angklung," kata Abah Yayat kepada detikJabar belum lama ini.
Abah Yayat mengaku sempat berhenti bekerja dengan Saung Angklung Udjo dan menganggur. Karena tak ada pekerjaan lain, akhirnya Abah Yayat kembali lagi ke Saung Angklung Udjo. "Lama nganggur, ditarik Pak Taufik ke Ecoland," ujarnya.
Abah Yayat menyebut dalam sehari dia dapat membuat satu oktaf angklung atau satu set angklung siap pakai. "Dari 0 sampai jadi paling satu oktaf atau 8 angklung. Dari bikin rangka, tabung suara dan diikat satu set," sebutnya.
Di Ecoland sendiri, Abah Yayat ditemani sang istri bernama Aan (42) dan beberapa perajin angklung angklung lainnya binaan Saung Angklung Udjo.
Abah Yayat mengaku, angklung buatannya di Udjo Ecoland nantinya akan dibawa ke Saung Angklung Udjo untuk dilakukan penyempurnaan suara.
Angklung-angklung itu akan di pajang di store yang ada di saung angklung dan dipasarkan ke luar negeri. "Dibawa ke saung angklung dari sana biasanya ke luar negeri," ujarnya.
"Masuk ke galeri dulu buat perawatan dan suaranya sudah benar-benar sempurna, baru dijual," tambahnya.
Abah Yayat mengakui, regenerasi pembuat atau perajin angklung cukup sulit beda dengan yang memainkannya.
"Sangat susah kalau dilihat, anak sekarang gak kaya dulu. Di Ecoland juga ada empat orang yang dibina, anggap aja belajar sambil dibayar. Generasinya sangat sulit, enggak bisa istilahnya satu bulan, dua bulan," jelas Abah Yayat.
Abah Yayat mengaku, jika dulu Pak Udjo mengajarkan kepada anak buahnya membuat angklung itu dari tahapan satu sampai tahapan akhir. Untuk saat ini, kondisinya beda dan tidak seperti dulu.
"Karena tahapannya ada tukang rangka yang bikin rangka, tukang suara yang bikin suara, kalau ajaran Pak Udjo dulu ada dari rangka sampai bikin suara. Kalau sekarang terpecah-pecah. Perempuan ikat rotannya, kalau lelaki gak mau, lelet ngiket tuh," tuturnya.
(wip/iqk)