Di tengah era digitalisasi bahan bacaan, para penulis dan penerbit buku di Tasikmalaya tetap menyimpan optimisme. Mereka meyakini buku akan tetap memiliki tempat di masyarakat, kendati digitalisasi bahan bacaan atau buku kian berkembang.
"Kita masih optimis dan tetap bertahan, ketika penulis semakin banyak bermunculan maka usaha penerbitan pun akan tetap bertahan," kata Mufiz Atthoriq salah seorang pengusaha penerbitan buku, Minggu (2/7/2023).
Mufiz bersama sejumlah penulis dan pegiat literasi menggelar diskusi di Gedung Creative Center (GCC) komplek Dadaha Tasikmalaya. Selain itu mereka juga menggelar peluncuran buku "Hiburan di Tasikmalaya Kemarin Dulu" karya Nunu Nazarudin Azhar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Optimisme para penerbit buku ini muncul karena belakangan ini banyak penulis-penulis yang ingin mewujudkan karyanya dalam bentuk buku. "Penulis-penulis muda di Tasikmalaya mulai bermunculan, namun karena tidak bergabung di komunitas, biasanya mereka malu-malu. Mungkin itu tugas kami sebagai penerbit untuk menyokong mereka," kata Mufiz.
Meski demikian dia tak menampik bahwa penulis dan penerbit buku saat ini dihadapkan pada persoalan besar, yakni minimnya minat untuk membeli buku.
"Kalau minat baca bagus, masyarakat senang membaca. Yang jadi masalah itu daya beli, tentu ini berdampak besar bagi kelangsungan para penulis dan penerbit," kata Mufiz.
Sementara itu Nunu Nazarudin Azhar mengatakan peluncuran buku "Hiburan di Tasikmalaya Kemarin Dulu" merupakan upaya dirinya untuk mencatatkan kegiatan-kegiatan hiburan masyarakat Tasikmalaya di masa lampau. "Hanya sebuah catatan ringan saja, bukan buku sejarah. Tentang bioskop, seni tradisional, sepak bola, pacuan kuda dan lainnya," kata Nunu.
Bode Riswandi, sastrawan sekaligus akademisi mengaku mengapresiasi buku tersebut. "Memang belum banyak buku yang mengulas Tasikmalaya masa lalu, nah buku ini menampilkan masa lalu Tasikmalaya dari sudut pandang yang berbeda," kata Bode.
Dia menambahkan banyak data yang mengungkap tentang bagaimana kota Tasikmalaya mewujud jadi kota yang modern bahkan sejak era kolonial.
"Misalnya kehadiran bioskop sejak tahun 1920-an. Kemudian tergambar juga suasana kota Tasik saat masih rutin digelar pacuan kuda, event Tasik Festival, hingga keberadaan tim sepakbola Persitas yang dulu sempat sangat berjaya," kata Bode.
Duddy RS pegiat literasi dan juga budayawan Tasikmalaya menilai "Hiburan di Tasikmalaya Kemarin Dulu" seperti museum yang memiliki banyak pintu.
"Kita bisa masuk dari pintu mana saja, untuk melihat keadaan kota Tasikmalaya zaman dahulu. Bukan sekadar hiburannya, tapi juga dari sisi sosial budaya, kemudian bagaimana dahulu pengusaha di Tasikmalaya punya jejaring yang sangat luas bahkan secara internasional. Seperti pengusaha bioskop yang bisa memesan langsung film terbaru dari India," kata Duddy.
(yum/yum)