Aksi Firman dari 'Parlemen' Jalanan Menjadi Penjaga Tradisi Leluhur

Serba-serbi Warga

Aksi Firman dari 'Parlemen' Jalanan Menjadi Penjaga Tradisi Leluhur

Syahdan Alamsyah - detikJabar
Minggu, 02 Jul 2023 07:31 WIB
Firman Hidayat.
Firman Hidayat (Foto: Syahdan Alamsyah/detikJabar).
Sukabumi -

Nama Firman Hidayat dulu dikenal sebagai mahasiswa yang rajin melakukan pergerakan. Berbagai aksi unjuk rasa dengan cara tak biasa dan menarik perhatian publik banyak dilakukan Firman.

Sebut saja aksi menyiram tubuh dengan cairan air keras, aksi debus menggunakan golok dilakukan Firman di Kantor Kejaksaan Negeri Cibadak (Kini Kejaksaan Negeri Kabupaten Sukabumi). Namanya saat itu menghiasi pemberitaan sejumlah media.

Seiring berjalannya waktu, Firman memilih menepi. Kini ia lebih senang nama belakangnya diganti menjadi Firman Nirwana Boestoemi, nama belakang sang ayah almarhum Asep Wahyu Nirwana Boestoemi yang juga seorang tokoh politik dan juga kalangan pergerakan di Kabupaten Sukabumi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Itu dulu, tahun 2015 sampai 2018, waktu masih bergerak untuk kepentingan masyarakat di Palabuhanratu. Masih senang-senangnya aksi demonstrasi setiap ada kebijakan yang dirasa kurang pas. Kalau saat ini lebih banyak memegang teguh adat dan tradisi Sunda khususnya di Palabuhanratu," kata Firman kepada detikJabar, Sabtu (1/7/2026).

Firman membangun sebuah pondokan kecil yang berjarak hanya sekitar beberapa meter dari tempat tinggalnya di Jalan Siliwangi, Palabuhanratu. Tepat di depan pondok kayu itu tertulis 'Paguyuban Lingkung Seni Padjajaran Anyar' di bagian bawahnya juga terdapat tulisan 'Palabuhanratu-Banten Kidul'.

ADVERTISEMENT

"Intinya kaitan kami dengan Banten Kidul sama-sama mempertahankan adat dan tradisi, kasepuhan di Banten Kidul sudah tahu (keberadaan paguyuban), bahkan memang ada kaitan sejarah bahwa leluhurnya dulu suka ke sini datang. Ada kaitan dengan ketradisian kita ada kaitan," ujar Firman.

Menurut Firman, Kasepuhan Banten Kidul hingga kini menjalankan tradisi turun temurun 'Seren Taun'. Sementara Firman menjalankan tradisi turun temurun dalam kegiatan Hari Nelayan.

"Bedanya kalau di tradisi lain itu ada Seren Taun, sementara kami di sini Hari Nelayan, di kasepuhan adat padi sementara di kami laut dengan ikannya mensyukuri hasil ikan yang diberikan kepada nelayan," jelas Firman.

Firman membeberkan sejarah riwayat kakek moyangnya secara turun temurun yang dulunya dianggap sebagai tokoh nelayan. Menjalankan tradisi hari nelayan secara sakral, menganut tradisi yang dilakukan secara turun temurun.

"Dulu kakek saya tokoh, tokoh asli nelayan, Raden Haji Utom Bustomi, tokoh nelayan bahkan sebelum dermaga Palabuhanratu itu ada. Kalau bicara ke atas lagi ada Uyut Kumetir, jadi sebagai putra daerah asli Palabuhanratu wajar ketika punya keinginan untuk membentengi tradisi Kesundaan di Palabuhanratu," ungkap Firman.

Firman mengatakan, kini sejumlah tradisi sakral yang sudah turun temurun dipertahankan satu persatu mulai hilang. Ia mencontohkan soal tradisi melarung kepala kerbau, yang dipelintir sebagai bentuk kemusyrikan.

"Yang sakral yang hilang itu salah satunya melarung kepala kerbau ya, padahal sudah ada secara adat sejak jaman nenek moyang turun temurun. Pemaknaannya sebenarnya simbol saja, karena tidak bicara kemusyrikan, kerbau dipotong, lalu dibagikan kepada yang membutuhkan jompo, orang kurang mampu itu kemudian dilarung (dihanyutkan) bentuk rada syukur bukan kepada Nyi Roro Kidul, rasa syukur kepada yang maha kuasa, yang telah melimpahkan hasil laut kepada nelayan," jelas Firman.

Menurut Firman, simbol lainnya, yakni ibarat memberikan makan kepada ikan di laut, begitu juga bentuk larung saji yang lain. Makanya disebut Firman, dahulu setiap selesai hari nelayan, ikan kerap melimpah.

"Tradisi lainnya yang mulai hilang misalnya, ada dulu Jaipong pentas, setiap hari nelayan lalu Kecapi dulu ada. Setiap perayaan nelayan bahkan sebelum ada dermaga tradisinya seperti itu," tuturnya.

Soal tradisi Firman memastikan, ia dan teman-temannya akan terus memegang teguh dan menjalankannya sekuat mungkin.

"Intinya jangan kita berhenti berjuang, supaya tradisi tidak hilang, mempertahankan karena ini amanah leluhur. Dulu ada adab bagaimana melaut, ada etika ada istilah pamali. Aktivitas kami juga mendapat dukungan dati Kasepuhan Cisitu, Ciptamulya, Ciptarasa. Semua support di Palabuhanratu ada babakan itu kan ada keturunan yang menjaga tradisi memperjuangkan jangan sampai hilang," beber Firman.

"Sementara istilah Paguyuban Pajajaran Anyar, sebetulnya bukan anyar artinya baru, tapi generasi yang mempertahankan ajaran kolot tapi yang diangkat generasi kini untuk mempertahankan adat tradisi dan budaya," pungkasnya menambahkan.

(sya/mso)


Hide Ads