Sebanyak 30 naskah kuno berhasil diinventarisasi oleh Bidang Kebudayaan dari Dinas Pariwisatawa, Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga (Disparbudpora), Kabupaten Sumedang. Naskah kuno tersebut kebanyakan merekam peristiwa pada masa Kesultanan Sumedang Larang.
Hal itu diungkapkan oleh ahli filolog dari Bidang Kebudayaan, Disparbudpora Sumedang Anggi Endrawan saat diwawancarai detikJabar belum lama ini.
"Naskah kuno yang sudah ditemukan di masyarakat jumlahnya ada sekitar 52 naskah, itu belum 5 naskah yang baru ditemukan baru-baru ini dan yang berhasil diinventarisasi itu ada 30 naskah, naskah-naskah itu bukan dihibahkan dari masyarakat tapi boleh difoto atau didigitalisasi oleh bidang kebudayaan," kata Anggi yang kini masih berstatus sebagai tenaga sukarelawan (Sukwan) di Bidang Kebudayaan, Disparbudpora Sumedang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Pohon Tumbang Timpa Mobil Mercy di Bandung |
Anggi memaparkan naskah kuno yang berhasil ditemukan dan diinventarisasi rata-rata merupakan naskah kuno pada abad ke-17 atau masa kesultanan Sumedang Larang.
"Itu terlihat dari corak tulisannya menggunakan huruf abjad pegon Sunda, atau aksara arab yang dipakai untuk merekam peristiwa dengan menggunakan bahasa Sunda, tulisan Arab tapi bahasa Sunda," ungkapnya.
Naskah-naskah kuno itu, sambung pria lulusan Fakultas Ilmu Budaya Unpad ini, ada yang berbentuk wawacan atau mengacu pada 17 jenis pupuh (cara bacanya didendangkan), ada yang berbentuk prosa dan ada juga yang berbentuk narasi.
"Kalau naskah kuno berbentuk wawacan itu biasanya naskah kuno yang menggambarkan suasana hati semisal sedang kasmaran berarti pupuhnya asmarandana, kemudian kalau bentuk prosa itu biasanya terkait tentang ajaran atau hukum dan biasanya tulisannya tersusun. Kemudian kalau bentuk narasi itu seperti catatan-catatan serupa kronik, semisal tulisan tentang suatu tempat yang pernah dikunjungi berikut dengan keterangan tanggal dan lokasinya," terangnya.
Anggi melanjutkan, dari 30 naskah kuno yang ada, nahkah tersebut di antaranya berisikan tentang pengetahuan. Dalam hal ini dibagi ke dalam 3 bagian, seperti ilmu pengetahuan tentang tata cara bercocok tanam khususnya bertani padi, sistematika perhitungann waktu dan pengetahuan tentang obat-obatan tradisional.
"Kalau orang-orang dulu saat belum ada teknologi ponsel atau kalender, itu soal waktu itu menggunakan penalaran khusus yang mengacu pada penanggalan hijriah, dan di naskah kuno itu ada rumusannya dan sadar terhadap waktu," paparnya.
"Sekarang ada rumah sakit, kalau dulu itu kan pakai tradisional jadi acuannya saat itu pada naskah atau catat," ujarnya.
Kandungan lainnya, yakni berisikan tentang kesejarahan seperti babad (asal usul) atau riwayat dan berisikan ajaran atau hukum.
"Seperti kalau riwayat itu tentang sosok Ogin Amar Sakti, seorang pribumi yang memberontak terhadap Belanda, itu ada wawacannya, ada kisahnya," tuturnya.
"Sementara kalau tentang ajaran, seperti tentang tarikat Qadiriyah, tentang tarikat Naqsyabandiyah, lalu ada wawacannya Syekh Abdul Kadir Jaelani, nah itu soal ajaran," ujarnya.
Baca juga: Pohon Tumbang Timpa Mobil Mercy di Bandung |
Itu kenapa, kata Anggi, naskah-naskah kuno yang ada haruslah benar-benar dikelola, diperhatikan dan dikembangkan oleh pemerintah Kabupaten Sumedang. Terlebih Sumedang memiliki slogan sebagai puser budaya Sunda.
"Sumedang ini memiliki slogan puser budaya Sunda, slogan itu darimana asalnya jika tidak bersumber dari naskah-naskah kuno atau manuskrip-manuskrip yang ada maka sudsh selayaknya naskah kuno ini harus dikelola dan dikembangkan dengan baik," ucapnya.
(mso/mso)