Selain memeluk monoteisme, masyarakat Sunda pada zaman dahulu diatur oleh pemerintahan dengan pola Tritangtu. Di dalam naskah-naskah Sunda kuna disebutkan ungkapan 'Tritangtu di Buana'. Yaitu, Tritangtu di bumi ini.
Menurut sejumlah ahli, Tritangtu ini berlangsung dengan memadukan kebijakan dari tiga lembaga yang punya posisi dan kewenangan sejajar. Dengan demikian, tercipta kesejahteraan bagi masyarakatnya. Sejahtera dalam arti yang luas, di samping ketersediaan pangan yang terjamin, juga lingkungan hidup yang juga terjaga.
Pola Tritangtu memang sudah tidak dipakai dalam pemerintahan di Sunda saat ini, namun Tritangtu tetap melekat di dalam alam pikir orang Sunda, bahkan hingga saat ini. Orang Sunda, disadari atau tidak, bertindak sehari-hari dengan pola ini. Apa itu Tritangtu? Simak yuk artikel ini sampai tuntas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengertian Tritangtu
Tritangtu disusun atas dua kata. 'Tri' berarti tiga, sementara 'Tangtu' berarti tali yang mengikat. Tritangtu dengan demikian 'tiga buhul yang mengikat keberadaan manusia'. Demikian menurut penelusuran akademisi dan budayawan Hawe Setiawan dalam buku 'Sunda Sambil Lalu' (2025). Rincian Tritangtu adalah Rama, Resi, Ratu.
Rama, menurut Hawe adalah semacam pihak yang bisa menyampaikan aspirasi rakyat kepada Prabu atau Raja. Dalam zaman kiwari, mungkin ini fungsi yang diemban oleh anggota dewan perwakilan rakyat.
Selanjutnya adalah Resi, yaitu orang yang memutuskan segala sesuatu bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat dengan pertimbangan agama. Resi, menurut Kamus Sundadigi berarti pendeta atau orang suci.
Yang juga menentukan dalam pola Tritangtu ini adalah Ratu. Yaitu, yang memegang tampuk kepemimpinan dalam sebuah pemerintahan atau eksekutif. Biasanya disebut Sang Prabu atau Tohaan, yang berarti raja atau yang dipertuan.
Kedudukan yang Sejajar
Hawe Setiawan mengutip ucapan Suradipati, Pj. Raja Sunda pasca-peristiwa Bubat. Dalam cerita berlatar abad ke-14 M yang dikutipnya, ketika Bunisora Suradipati akan menyerahkan kekuasaan kepada turunan Prabu Wangi, yakni Wangisutah atau Wastukancana, dia berpesan tentang Tritangtu. Dalam deskripsinya, dijelaskan bahwa Tritangtu adalah 'tiga naungan negeri yang sejajar, tapi tugasnya berbeda-beda'.
Tritangtu (kadang-kadang ditulis dengan spasi Tri Tangtu) disebut-sebut bukan hanya tentang urusan politik-pemerintahan. Tritangtu juga meresap ke dalam aspek-aspek lain, seperti arsitektur rumah, hingga kedirian manusia Sunda.
Tritangtu di Luar Pola Pemerintahan
Sebagaimana diungkapkan di atas, pola Tritangtu bukan hanya bertalian dengan urusan politik dan pemerintahan. Namun juga telah mengakar dalam kesadaran kolektif masyarakat Sunda, ketika itu. Hal ini lalu berdampak pada berbagai aspek termasuk pola kampung, pola rumah, hingga pola diri.
Dalam arsitektur rumah orang Sunda, kita bisa membaca penelitian Prof. Jakob Sumardjo, di antaranya jurnal berjudul 'Kosmologi dan Pola Tiga Sunda'. Digambarkan misalnya, rumah orang Sunda yang merupakan rumah panggung punya tiga bagian: Atap, ruangan rumah, dan kolong.
Atap adalah langit, ruangan rumah adalah manusia, dan kolong rumah adalah bumi. Polanya tiga. Demikian juga jika rumah dibaca secara horizontal. Di depan ada tepas atau ruang tamu, di tengah ada ruang keluarga, dan di paling belakang ada dapur dan kamar mandi. Pola rumah-rumah orang Sunda sampai sekarang pun seperti ini: Ruang tamu- ruang keluarga- dapur/kamar mandi.
Dalam hal lain, misalnya pada senjata Kujang. Kujang, dalam penjelasan Prof. Jakob Sumardjo dapat dibaca dengan pola tiga. Yaitu, bagian tajam paling ujung untuk menusuk, bagian tengah untuk memotong, bagian dekat gagang untuk memukul.
Di dalam kedirian orang Sunda, Tritangtu juga menjelma sebagai sebuah integritas. Tritangtu diejawantahkan dalam tékad (maksud), ucap (perkataan), lampah (tindakan) yang harus selalu seirama.
(iqk/iqk)