Mengenal Tradisi Kuramas, Cara Orang Sunda Zaman Dahulu Sambut Ramadan

Mengenal Tradisi Kuramas, Cara Orang Sunda Zaman Dahulu Sambut Ramadan

Rifat Alhamidi - detikJabar
Rabu, 20 Apr 2022 06:30 WIB
Fresh shower behind wet glass window with water drops splashing. Water running from shower head and faucet in modern bathroom.
Ilustrasi (Foto: Getty Images/iStockphoto/ben-bryant).
Bandung -

Orang Sunda yang tinggal di Jawa Barat dan wilayah lainnya, selalu memiliki tradisi khas untuk menyambut bulan Suci Ramadan. Dari mulai tradisi munggahan yang diisi kegiatan botram atau makan bersama hingga nadran atau ziarah kubur ke makam sanak keluarga yang sudah meninggal dunia.

Tapi tahu kah, ada tradisi khas lain yang saat ini sudah mulai terlupakan oleh zaman. Tradisi itu bernama Kuramas yang dalam dialek Sunda berarti keramas. Kegiatannya berupa mandi massal orang-orang dulu yang dipercaya sebagai sarana membersihkan diri untuk menyambut bulan suci Ramadan.

Tradisi Kuramas ini diyakini sudah ada pada abad ke 17-18 Masehi. Penulis sekaligus peneliti sejarah Sunda, Atep Kurnia menyebut tradisi ini muncul oleh proses asimilasi saat Islam masuk ke Tanah Pasundan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ini sebetulnya adat kebiasaan orang Sunda secara umum ketika menjelang bulan puasa itu ya bersih-bersih. Bukan saja hanya (bersih-bersih) lingkungan sekitar termasuk makam, tapi dengan dirinya pribadi melalui Kuramas," kata Atep saat berbincang dengan detikJabar via telepon.

Sebetulnya, kata Atep, tradisi Kuramas masih menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi munggahan yang kerap dilakukan orang Sunda menjelang Ramadan. Namun bedanya, Kuramas kini mulai dilupakan, sementara munggahan tetap dilakukan orang-orang hingga sekarang.

ADVERTISEMENT

"Karena sebetulnya, filosofi yang disebut dengan munggahan itu kan naik posisinya, naik dari bulan yang biasa-biasa aja ke bulan yang suci. Tradisi Kuramas itu ada berbarengan dengan kegiatan lain misalkan botram atau istilah lainnya papajar," ujarnya.

Nah untuk tradisi Kuramas ini, Atep menemukan literasinya lewat buku yang ditulis oleh penghulu besar bernama Hasan Mustopa. Ia pun mengingat betul tradisi ini karena pernah mengkutinya sewaktu kecil di kampung halamannya di Cicalengka, Bandung, Jawa Barat.

"Di tempat saya, dulu, saat sungainya masih belum tercemar, tradisi ini masih suka dilakukan. Tapi sekarang sudah enggak bisa karena sungai sudah enggak ada, kalaupun ada sudah tercemar oleh limbah sungainya," terang Atep.

Menurut Atep, dalam bukunya, Hasan Mustopa menuliskan jika tradisi Kuramas berbeda dengan istilah keramas kekinian. Sebab pada zaman dulu, tradisi Kuramas dilakukan menggunakan bahan yang berasal dari tanaman padi yang dililit hingga membentuk seperti sapu.

Padi ini kemudian dibakar untuk selanjutnya debu dari padi tersebut disaring dan digunakan sebagai bahan pengganti sampo untuk keramas. Atau, orang zaman dulu menggunakan bahan dari tanah khusus untuk berkeramas dan mandi membersihkan badannya di tempat mata air hingga sungai untuk menyambut Ramadan.

Untuk memulai tradisi ini pun tak sembarangan. Kata Atep, tradisi itu akan diawali oleh tabuhan bedug atau beduk dalam dialek Sunda yang akhirnya disebut dengan Beduk Kuramas.

"Misalkan magribnya puasa, siangnya itu ada tabuhan beduk yang memberi tanda untuk memulai berkeramas karena mau masuk bulan puasa. Orang Sunda dulu itu akan mandi secara bersama-sama di beberapa tempat yang disebut sama Penghulu Hasan Mustopa sebagai tampian (tempat mandi di sungai yang ada pancuran air), seke (mata air) atau cinyusu (sumber mata air)," katanya.

Tersisih Zaman

Namun sayang, kata Atep tradisi itu kini sudah ditinggalkan oleh masyarakat Sunda. Selain karena faktor alam dan sudah tak ada lagi sungai-sungai yang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari warga, tradisi ini juga ditinggalkan karena orang Sunda yang mulai bersikap apatis dan individualis.

"Satu sisi ini patut disesalkan, tapi di sisi lain saya kira ini juga tidak dapat dihindarkan yah kondisinya. Ini terjadi karena individualitas di antara kita. Banyak faktor sebetulnya penyebabnya, banyak hal yah yang kaitannya dengan privatisasi itu sendiri," tutur Atep.

"Tapi di beberapa daerah sepertinya masih ada yang mempertahankan tradisi ini, tapi itu dilakukan masing-masing. Enggak seperti dulu yang dilakukan secara komunal dan dilakukan oleh banyak orang di satu tempat," kata Atep menambahkan.

Padahal sejatinya, tradisi Kuramas memiliki banyak filosofi yang bisa pesan yang terkandung di dalamnya. Salah satunya, mengajarkan kita tentang kebersamaan di antara sesama manusia hingga budaya gotong rayong di lingkungan warga.

"Karena alangkah baiknya sikap-sikap yang baik itu tetap dilanjutkan, terutama dari sisi kebersamaan dan gotong royongnya. Saya pikir dengan jalan literasi, itu jadi salah satu jalan agar kita selalu diingatkan kepada pentingnya nilai sejarah para pendahulu kita," pungkasnya.

(ral/mso)


Hide Ads