Guru Ngaji Cabul di Bandung, Pakar Kejiwaan: Itu Perilaku Pedofil!

Guru Ngaji Cabul di Bandung, Pakar Kejiwaan: Itu Perilaku Pedofil!

Rifat Alhamidi - detikJabar
Rabu, 20 Apr 2022 05:00 WIB
Little girl suffering bullying raises her palm asking to stop the violence
Ilustrasi kekerasan seksual pada anak (Foto: iStock)
Bandung -

Aksi keji yang dilakukan guru ngaji berinisial S atau Ustaz SS di Pangalengan, Bandung disebut sebagai perilaku pedofilia. Pasalnya, pelaku menyasar korban yang merupakan anak-anak.

"Ya, itu sudah menyasar ke perilaku pedofil. Karena mayoritas korbannya ini anak-anak yang merupakan murid ngajinya pelaku," kata dokter spesialis jiwa dan konsultan di RS Melinda 2 Bandung Teddy Hidayat saat berbincang dengan detikJabar via pesan singkat, Selasa (19/4/2022).

Dalam keterangannya, Teddy menjelaskan pedofil merupakan gangguan jiwa atau penyimpangan seksual yang ditandai dengan dorongan seksual yang kuat terhadap anak yang berusia lebih muda dari pelakunya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sementara pada kasus ini, pelaku memiliki istri dan tiga anak. Sehingga berdasarkan analisisnya, pelaku tergolong memiliki perilaku yang disebut non exclusive pedophilia.

"Penyebab pedophilia menurut Sigmund Freud dalam bukunya berjudul 'Three Essays on the Theory of Sexuality', biasanya menggunakan orang yang lemah sebagai pengganti objek seksual. Demikian pula jika insting seksual tidak bisa ditunda, maka akan mencari objek pemuas segera jika tidak ditemukan objek yang sesuai," terangnya.

ADVERTISEMENT

Menurut Teddy, pelaku kekerasan seksual pada anak sebagian besar adalah orang-orang yang dikenal dekat dan sangat dipercaya. Sehingga, dia bisa dengan mudah mendekati anak dan berada dalam posisi yang memiliki kuasa atas korbannya.

"Banyak kasus kekerasan seksual sering tidak terungkap karena malu, ketakutan atau ketidaktahuan. Banyak laporan kejadian kekerasan seksual pada anak di sekolah, di penitipan anak atau di lembaga pendidikan tertentu yang pengasuh dewasa menjadi pelakunya," tuturnya.

Kekerasan seksual terhadap anak pun bukan hanya dialami oleh perempuan. Di beberapa kasus, kata Teddy, anak laki-laki juga rentan mengalami pelecehan seksual serupa yang bisa berpengaruh buruk pada masa depannya kelak.

"Kekerasan seksual pada anak dapat terjadi baik pada laki-laki maupun perempuan. Kasus ini membuktikan bahwa anak laki-laki tidak kalah pentingnya melindungi diri terhadap kekerasan seksual yang dapat menimpa dirinya," ungkapnya.

Lantas, apa yang menyebabkan seseorang mengalami penyimpangan seksual bahkan mengarah ke perilaku pedofilia? Menurut Teddy hal itu bisa terjadi karena pelaku dulunya merupakan korban yang juga pernah mengalami kekerasan seksual.

"Dari pengalaman klinis, sering dijumpai bahwa pengalaman seksual di usia dini dapat menjadi predisposisi (kecenderungan khusus ke arah suatu keadaan atau perkembangan tertentu) seseorang malakukan perilaku seksual sejenis (stimulus seksual terfiksasi)," ucapnya.

"Atau dengan perkataan lain, anak yang menjadi korban kekerasan seksual, setelah dewasa dapat menjadi pelaku kekerasan seksual," tambahnya.

Orang tua pun dituntut bisa memiliki pengetahuan untuk mencegah anak-anaknya menjadi korban kekerasan seksual atau menjadi mangsa pedofil. Salah satunya, dengan mengenali tanda-tanda yang dialami anak jika sudah menjadi korban kekerasan seksual itu.

"Indikator adanya kekerasan seksual pada anak antara lain ditemukan memar, rasa sakit, gatal di daerah genital dan anal, pendarahan genital dan rektal (dubur), infeksi penyakit menular seksual, kesulitan berjalan atau duduk," terangnya.

Menurut Teddy, anak sebagai korban kekerasan seksual cenderung akan bercerita sekalipun tidak konsisten. Hal itu yang memicu anak tak bisa mengungkapkan seluruh kejadian yang ia alami jika menjadi korban kekerasan seksual.

"Akan terjadi retraksi, kontradiksi dan kecemasan yang dapat menghalangi pengungkapan," katanya.

Dampak buruk kekerasan seksual terhadap anak ini pun berimbas kepada kesehatan mental anak tersebut. Anak bisa mengalami beberapa gangguan mental mulai dari stres pascatrauma, gangguan disosiatif, perilaku seksual yang tidak sesuai dengan usia, masalah perilaku, gangguan kelekatan hingga gangguan kualitas interaksi dengan orang tua.

"Selama ini penanggulangan kekerasan seksual pada anak masih dilakukan secara konvensional, jangkauan kasus terbatas, belum mengedepankan promosi dan prevensi. (Penangannya) masih diperlakukan seperti umumnya penyakit lain. Padahal kekerasan seksual pada anak selain mempunyai magnitude yang besar, juga menyebabkan gangguan yang bersifat spesifik, sehingga perlu mendapat perhatian dan prioritas," tuturnya.

"Saran WHO penting memberi pemahaman dan pengetahuan kekerasan seksual anak pada masyarakat, termasuk petugas kesehatan dan relawan sebagai lini terdepan dari layanan publik sering kali menjadi orang pertama yang berhubungan dengan korban. Pemahaman dan kepekaan petugas kesehatan dan relawan sangat diperlukan untuk dapat mengidentifikasi kasus-kasus seperti ini," pungkasnya.




(ral/tey)


Hide Ads