Pelopor jam tangan kayu pertama di Indonesia yang berasal dari Kota Bandung menyatakan undur diri setelah berkiprah sejak tahun 2012 lalu. Informasi ini disampaikan langsung di media sosial (medsos) resminya melalui Instagram @matoa_id.
Informasi itu menggemparkan publik, karena UMKM jam tangan kayu ini sudah memiliki banyak pelanggan.
detikJabar mengonfirmasi langsung informasi tersebut kepada Founder Matoa Lucky Danna Arya. Lucky membenarkan informasi tersebut. Menurut Lucky, setelah menutup Matoa, saat ini dia fokus di usaha FnB.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Secara operasional sudah berhenti, karyawannya ada yang saya bawa untuk membantu restoran," kata Lucky dijumpai detikJabar di kantornya yang berada di Jalan Pagar Gunung, Bandung, Sabtu (25/1/2025).
Sebelum dinyatakan undur diri di awal tahun 2025 ini, Lucky mengungkapkan perjalanan usaha jam tangan kayunya sudah menemukan banyak tantangan berat sejak tahun 2019 silam.
"Secara jualannya sudah berhenti sejak 2022, maksudnya 2022 itu hiatus (jeda) atau vakum, karena nggak tega saya dirikan usaha ini sejak 2012, siapa tahu kondisinya berubah kita jalan lagi. Ternyata sampai sekarang kita lihat belum ada perubahan, kita sekarang fokus di FnB aja, makannya kemarin ada statement sudah kita (ganti usaha) aja, supaya kita bisa fokus dan secara operasional (Matoa) berhenti total," ungkap Lucky.
Banyak faktor yang memengaruhi sehingga Matoa ditutup. "Nah faktornya secara umum ada dua, pertama faktor barang-barang impor. Impor itu sudah terasa sejak 2019, walaupun kita bahan baku dari China seperti bahan-bahan terbuat dari logam, kaca dan mesin tidak diproduksi di Indonesia," jelasnya.
Selain itu, adanya free trade atau perdagangan bebas sehingga barang dari China mudah masuk dan COVID-19 melanda membuat Matoa babak belur.
"Sejak ada free trade yang masuk itu bukan material lagi, tapi barang jadi, 2019 sudah terasa, ada penurunan penjualan, ditambah COVID-19 2020, hal itu buat ekspor kita berhenti," ujarnya.
Dampak dari COVID-19 juga, Matoa yang biasa melakukan ekspor juga harus terhenti karena ada pembatasan. Menurut Lucky, meski ekspor terhenti, penjualan online lokal naik. Tapi lagi-lagi produk jam tangan kayunya dikalahkan dengan produk China yang lebih murah.
"Kita ekspor ke Eropa, Amerika, Arab, Jepang, Malaysia dan lainnya. Ngebantu, berhenti karena COVID-19, tapi online lokal naik. Cuman pada saat COVID-19 produk China masuk," tuturnya.
"Tadinya kita beli bahan baku ke China, sekarang pabrik China bikin jam tangan jadi dan masuk ke Indonesia atau pasar lokal, bahkan pabrik jualan langsung," tambahnya.
Menurut Lucky, persaingan harga antara jam kayu miliknya dan jam kayu asal China sungguh jauh berbeda. Hal tersebut membuat Matoa seperti ditampar habis-habisan.
"Saya dulu jualan Matoa dari Rp1,2-1,5 juta, diskon paling murah Rp900 ribu, di marketplace itu jam kayu serupa walau kualitas berbeda harganya Rp100 ribu, ketemu sama konsumen lokal yang penting harganya murah ya sudah selesai, makin turun, jadi saat itu kita hanya survive," tuturnya.
Berjualan di marketplace juga tidak membuat untung, meski penjualan tetap bisa dilakukan. Pasalnya dia harus mengandalkan event-event tertentu yang dilakukan marketplace.
"Kita andalkan event 11.11, 12,12. Itu juga untungnya tipis, kita jual Rp1 juta, HPP Rp300-400 ribuan dengan biaya operasional Matoa yang tinggi," tuturnya.
Lucky jelaskan, mengapa produk miliknya dijual dengan harga mahal karena dengan harga jual seperti itu, dia perlu biaya promosi dan marketing yang tinggi juga. Selain itu, event yang dilakukan marketplace saat ini dilakukan setiap bulan dan dia harus memasang harga diskon di produknya, sehingga membuat rugi.
"Makin ke sini campign setiap bulan, kita makin susah karena kita harus jual dengan harga diskon," pungkasnya.
(wip/sud)