Sebuah green house (GH) berdiri di lahan kosong yang berada di Desa Cileles, Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang. GH itu digunakan untuk membudidayakan sayuran jenis selada dengan cara hidroponik.
detikJabar berkesempatan mengunjungi GH tersebut. Tampak seorang pria yang merupakan petani muda, mengenakan kaus dan topi hitam sibuk dengan aktivitasnya. Sesekali pria itu mengutak-atik instalasi hidroponik agar aliran air menjadi lancar sehingga air yang keluar dapat menyiram selada yang ditanamnya secara sempurna.
Saat dikunjungi, tidak semua instalasi hidroponik di GH tersebut ditanami. Ada instalasi yang kosong, ada juga selada yang tumbuh baru beberapa hari saja. Hal itu memang sengaja dilakukan petani tersebut karena proses penyemaian, penanaman hingga panen harus dilakukan setiap hari.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Misal yang ini (instalasi) nanam, yang itu panen," kata petani muda bernama Aap Abdul Fatah itu.
Aap mengungkapkan, pola pertanian hidroponik berbeda dengan pertanian konvensional yang dimana proses panen bisa berlangsung setiap hari dan tidak serentak seperti pola pertanian konvensional.
"Beda sama konvensional, kalau misalkan konvensional kan nanam sekali udah, panenya sekali kan. Nah kalau misalkan si hidroponik, contoh kayak ini, kan ada yang gede ada yang kecil, ada yang masih baru ditanam juga," ungkapnya.
"Kita tiap hari itu kayak petik, terus tanam terus, nyemai juga gitu terus. Kalau misalkan dari awal sampai panen 45 harian. Kan sekarang baru awal nih. Tapi kalau udah ketemu polanya, ya tiap hari panen," tambahnya.
Aap menyebutkan, ada dua komoditas pertanian yang ditanam di GH miliknya. Selain selada, dia juga tanam melon, namun karena sudah dipanen saat ini dia baru menanam melon kembali. Setiap harinya dia bisa panen selada sekitar 15-20 kg per hari dan sebulan bisa 400-500 kg.
"Pasarnya, kalau misalkan hidroponik yang kita alamin tergantung kita yang nyari pasarnya. Kalau misalkan kita pinter-pinter nyari pasarnya emang bagus. Apalagi kan keunggulan si hidroponik ini bisa di pola. Kalau selada kita jual sekitaran Jatinangor, ke penjual ayam bakar," ujar Aap.
![]() |
Bangkit dari Kegagalan Program Petani Milenial
Sebelum bertani hidroponik selada dan melon, Aap sempat mengikuti Program Petani Milenial yang digulirkan Pemprov Jabar. Komoditas pertaniannya yakni tanaman hias.
"Karena sebenarnya kalau misalkan cerita sedikit karena kita bingung juga ya memanfaatkan GH jadi ditanam selada dan melon. Dulu budidaya tanaman hias yang dulu program gubernur itu karena memang dulu pasarnya di-cut karena jelek lah pasarnya, kan buat ekspor ke Eropa, sedangkan di Eropa dulu kenapa di-cut karena terkendala perang Ukraina sama Rusia dulu tahun 2022, jalan 2023 berarti di sana kita punya aset satu GH di Balai Benih," jelasnya.
"Nah, kita putar otak gimana caranya si GH itu bisa jalan lagi gitu tanpa harus tanaman hias lagi karena emang tanaman hias pasarnya jelek," tambahnya.
Pada saat itu, Aap sebut tanaman philodendron yang dibudidayakan bersama temannya laris-manis hingga tembus pasar Eropa. Bahkan pinjaman ke bank Rp1,2 miliar bisa dibayarkan.
"Kalau misalkan cerita modal awal mah gede banget, kita modal awal bikin GH hampir Rp130 kita modalnya dari bjb. Kalau misalkan sama bibit-bibitan yang tanaman hias kita minjem itu Rp1,2 miliar," tutur Aap.
Meski memakan modal yang cukup besar, karena pasar tanaman hias ke Eropa cukup cerah, pinjaman itu bisa dilunasi hanya dalam waktu satu tahun.
"Alhamdulillah selama satu tahun kita ketutup. Bahkan ada lebihnya sekitar Rp250 jutaan. Dalam waktu satu tahun dengan lahan 400 meter persegi kita bisa ngelunasin ke bank Rp1,2 miliar," tuturnya.
Awalnya Aap mengetahui pasar tanaman hias rusak karena perang Rusia dan Eropa. Namun setelah dikaji, pasar tanaman hias rusak karena pencinta taman hias itu musiman.
"Tapi yang setelah kita pelajari ternyata si tanaman hias emang trennya kayak gitu sih. Kadang rame. Kan dulu kenapa tanaman hiasnya kan pas ke COVID-19 nih. Nah si tanaman hias di luar negeri lagi hype-hype-nya lah. Lagi tinggi-tingginya gitu. Makanya dipilihin komoditi tanaman hias dulu tuh," terang Aap.
![]() |
Ingin Buat Wisata Pertanian
Bertani hidroponik belum tentu menguntungkan jika tidak bisa membuka peluang pasar. Seperti melon, Aap tak jual langsung ke tengkulak, melainkan membuat sistem petik sendiri, hal itu dilakukan agar keuntungan yang didapat cukup banyak.
"Kayak melon. Kalau misalkan kita bergantung ke pengepul ya, bergantung ke pengepul si melon ini sekarang lagi tren-trenan, lagi bagus-bagusnya melon, jadi banyak orang-orang yang belajar dan mau budidaya melon karena sebegitu menjanjikannya si melon, apalagi melon-melon hidroponik premium ya, karena kita budidaya melon premium hidroponik jadi kita dulu mah harganya kan nggak kurang dari Rp 25 ribu ngejual per kilo. Sekarang mah bisa sampai belasan ribu. Cuman karena emang kitanya nggak tergantung ke pengepul. Jadi kita mah sistemnya petik sendiri. Jadi si konsumen datang sendiri buat petik sendiri. Karena menurut kita si orang-orang sekarang kayak pengen ada experience lah," terangnya.
Aap mengisahkan, dia merupakan warga Tasikmalaya dan mengikuti Program Petani Milenial dengan ditempatkan di wilayah Sumedang. Aap menyebut, dalam bertani dia tak memiliki latar belakang apapun, bahkan selepas lulus di SMK farmasi Aap melanjutkan pendidikan penerbangan. Namun kala itu COVID-19 menerpa, akhinya dia mencoba peruntungan di program tersbeut.
"Sebenernya mah kalau misalkan ditanya motivasi awalnya mah dulu karena memang dulu COVID-19 kebetulan background nggak ada sama sekali tentang pertanian. Cuman karena emang dulu nyari kerja susah kemudian saya ikut lah karena dulu ya dijanjikannya diam di desa gaji seperti di kota," tuturnya.
"Jadi si konsep pertanian ini sebenarnya bagus. Jadi gimana caranya narik anak muda buat terjun di dunia pertanian dengan menghasilkan. Saat ini karena saya orangnya kayak tanggung basah gitu, udah turun, udah 2 tahun di pertanian, jadi kalau misalkan mau berhenti sayang perjuangan yang 2 tahun," tambahnya.
Pahit-manis jadi petani muda sudah dirasakannya. Misi Aap ke depan ingin menjadikan GH miliknya menjadi wisata pertanian yang dapat dikunjungi anak-anak sekolah yang tujuannya semakin banyak petani-petani muda lainnya.
"Kalau misalkan misi kita ke depannya, mimpi besar mau bikin satu wadah kayak wisata edukasi. Edukasi tentang pertanian. Jadi ke depannya punya mimpi besar itu kayak agro eduwisata lah," pungkasnya.
(wip/orb)