Dampak perdagangan elektronik atau e-commerce semakin nyata dirasakan oleh para pedagang di pasar tradisional. Ratusan pedagang di Pasar Induk Cikurubuk Kota Tasikmalaya gulung tikar. Mereka kehilangan omzet akibat gagal bersaing. Dampak paling keras dirasakan oleh pedagang pakaian atau fesyen.
Kondisi ini ditandai dengan banyaknya kios yang akan dijual atau dikontrakan, terutama di blok A3, B2 dan C2 Pasar Cikurubuk. Tiga blok itu merupakan lokasi para penjual pakaian, sepatu, tas dan kebutuhan sandang lainnya.
Budiman, salah seorang pedagang sekaligus ketua pedagang blok B2 mengatakan sekitar 50 persen pedagang sudah gulung tikar. "Banyak yang sudah tutup, hampir 50 persen. Silahkan saja dilihat, banyak kios yang akan dijual atau dikontrakan," kata Budiman, Kamis (18/7/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia mengatakan kondisi ini merupakan dampak dari perubahan perilaku belanja masyarakat yang lebih gemar berbelanja secara online. "Kalah sama toko online, masyarakat sudah berubah cara belanjanya. Lebih mudah, walau pun kadang mereka gagal karena tak cocok ukuran atau tak sesuai foto," kata Budiman.
Selain itu dia mengaku kalah bersaing dalam harga jual. Menurut Budiman, para pedagang pasar atau pedagang eceran sudah tergilas oleh model penjualan daring. Perdagangan online menurut dia membuat konsumen bisa langsung membeli ke produsen.
"Bagaimana mau bersaing, para pemain toko online itu kan produsen langsung menjual ke konsumen. Jadi tangan kedua, atau tangan ketiga seperti kami tergilas," kata pedagang sepatu dan tas itu.
Dia mencontohkan sepatu sekolah anak yang dia banderol Rp 125 ribu, di toko online ditawarkan dengan harga Rp 90 ribu. "Padahal saya beli dari grosirnya saja Rp 100 ribu. Jadi bagaimana bisa saya harus menyaingi harga Rp 90 ribu," kata Budiman.
Situasi ini juga diperparah oleh langkah para pedagang besar atau pedagang grosir yang ikut melayani konsumen eceran. Selisih harga yang tipis antara penjualan partai besar dan eceran menurut Budiman membuat persaingan usaha semakin tak sehat.
"Banyak pedagang di sini yang belanja ke grosir itu, eh grosirnya melayani juga eceran dengan harga yang lebih rendah dari kami. Ya semakin kacau jadinya," kata Budiman.
Budiman yang sudah berjualan di Pasar Cikurubuk sejak tahun 1995 ini, menegaskan situasi yang dihadapinya sekarang sudah dalam kondisi kritis. Sangat kontras jika dibandingkan dengan omzetnya belasan tahun lalu. Tak mendapatkan konsumen dalam rentang seminggu, menurut dia saat ini sudah bukan hal yang baru.
"Kalau satu atau dua hari "diherang" (tak ada yang beli) itu bagi kami tak seberapa, tapi sekarang ada kalanya satu minggu tak ada penjualan sama sekali," kata Budiman. Dia sendiri mengaku bisa bertahan karena tak memiliki cicilan atau pinjaman ke bank, sehingga walau pun morat-marit, kondisinya masih stabil.
Atas kondisi tersebut Budiman mengutarakan harapan agar pemerintah memberikan bantuan atau mengatur agar kemajuan zaman tak mematikan usaha pedagang pasar tradisional. "Ya inginnya ada aturan yang melindungi kami, misalnya menerapkan pajak yang besar untuk perdagangan online, sehingga harga bisa bersaing. Tapi ya ini mah hanya keinginan, silahkanlah pemerintah mungkin ada solusi yang lebih baik," kata Budiman.
Dia menambahkan saat ini tengah menantikan program pelatihan digital marketing yang kabarnya akan diselenggarakan oleh UPT Pasar Cikurubuk. "Bukannya tak ingin mencoba masuk ke pasar online, tapi kan tidak mudah, belum tahu ilmunya. Katanya UPT mau adalah pelatihan, tapi sampai sekarang belum ada kabar lagi," kata Budiman.
Kepala UPT Pasar Cikurubuk Deri Herlisana membenarkan keluhan para pedagang kebutuhan sandang tersebut. Dia mengaku hampir setiap hari menerima keluhan dari para pedagang tersebut. "Bukan sering lagi menerima keluhan pedagang, hampir setiap hari," kata Deri.
Deri membenarkan bahwa perdagangan elektronik membuat omzet pedagang sandang di Pasar Cikurubuk turun drastis. Ironisnya ceruk pasar offline atau konsumen pasar yang masih tersisa tersedot pula oleh toko besar atau grosir yang ikut berdagang eceran.
"Ya memang e-commerce sangat berpengaruh, kemudian diperparah pula oleh adanya toko grosir besar yang ada di dekat pasar yang ikut-ikutan main eceran, padahal banyak pedagang pasar yang beli dari sana," kata Deri.
Menurut dia dari 2.700 kios sudah sekitar 30 persen dalam kondisi tutup atau ditinggalkan pedagangnya. Namun terkait kios yang dilabeli dijual atau dikontrakan, menurut Deri secara aturan hal itu tidak diperbolehkan.
"Dari total 2.700 kios sudah sekitar 30 persen tutup. Nah terkait dijual atau disewakan itu sebenarnya tidak boleh karena kios itu milik pemerintah. Tapi memang di kalangan pedagang hal itu sering terjadi, dalihnya yang mereka jual adalah lapaknya," kata Deri.
(iqk/iqk)