Pengesahan Undang-undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) baru-baru ini menuai kritik dari berbagai kalangan, termasuk dari akademisi. Guru Besar Studi Keamanan FISIP Universitas Padjadjaran (Unpad) Arry Bainus menilai pemerintah terlalu terburu-buru dalam proses pengesahan tersebut.
Arry mengkritik langkah ini sebagai kebijakan yang 'grasak-grusuk' tanpa pertimbangan matang, terutama dalam aspek transparansi dan keterlibatan publik. Dia juga menyebut pengesahan UU TNI mirip dengan pola yang digunakan dalam pengesahan Omnibus Law sebelumnya.
"Kalau menurut saya ini masalahnya pemerintah terlalu terburu-buru. Jadi pola pemerintah untuk mengesahkan undang-undang itu seperti Omnibus Law, kenapa harus buru-buru. Kemarahan masyarakat di sana," katanya saat dihubungi, Jumat (21/3/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menambahkan bahwa pembahasan UU TNI di tingkat masyarakat tidak berjalan sempurna. Padahal, partisipasi masyarakat sangat penting, terutama untuk menciptakan partisipasi yang bermakna.
"Pemerintah itu kecil, sementara masyarakat itu besar, 270 juta orang, yang akan terkena dampak dari undang-undang ini. Pemerintah harus berpikir matang, tidak boleh grasak-grusuk," tegasnya.
Ia juga menyoroti kesalahpahaman yang muncul akibat kurangnya sosialisasi dari pemerintah. Menurutnya, isu revisi UU TNI sebenarnya sensitif dan menyesalkan sikap pemerintah yang dinilai tidak mau mendengarkan suara masyarakat.
"Isunya sensitif, tapi pemerintah buru-buru dan kurang sosialisasi. Padahal, perubahan dalam UU TNI ini sebenarnya sepele, tapi ada pihak-pihak yang menggaungkan isu seolah-olah perubahan ini akan mengembalikan dwifungsi TNI," jelasnya.
"Sayangnya, pemerintah tidak sadar bahwa isu ini sensitif dan masyarakat akan merasakan dampaknya. Suara mereka harus didengar. Ini kebiasaan pemerintah yang tidak mau mendengar orang lain, dalam hal ini pemerintah bersama DPR," sambungnya.
Ia juga mengkritik kurangnya ruang bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi dimana masyarakat tidak diberikan ruang untuk menyampaikan aspirasinya. Ia membandingkan proses pengesahan UU TNI tahun 2004 dengan revisi yang dilakukan sekarang.
"UU TNI dulu, meskipun disahkan di menit-menit terakhir di era Bu Megawati, proses deliberasinya luar biasa. Ada pertemuan antara masyarakat, partai politik, dan pemerintah yang menghasilkan undang-undang yang sangat krusial," terangnya.
"Sayangnya, sekarang revisi UU TNI dilakukan dengan cara yang terburu-buru dan kurang melibatkan masyarakat. Ini yang saya sayangkan," tutup Arry.
(bba/sud)