Eks Hakim MK Sesalkan Proses Tertutup Revisi UU TNI

Eks Hakim MK Sesalkan Proses Tertutup Revisi UU TNI

Sui Suadnyana, Fabiola Dianira - detikBali
Rabu, 26 Mar 2025 07:41 WIB
Mantan Hakim MK, I Dewa Gede Palguna, saat ditemui dalam diskusi Teras FISIP Vol. 1 β€˜Pengesahan RUU TNI: Apa yang Perlu Diketahui Masyarakat’ di Kampus Unud Sudirman, Denpasar, Selasa (25/3/2025) malam. (Fabiola Dianira/detikBali)
Foto: Mantan Hakim MK, I Dewa Gede Palguna, saat ditemui dalam diskusi Teras FISIP Vol. 1 'Pengesahan RUU TNI: Apa yang Perlu Diketahui Masyarakat' di Kampus Unud Sudirman, Denpasar, Selasa (25/3/2025) malam. (Fabiola Dianira/detikBali)
Denpasar -

Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), I Dewa Gede Palguna, menyesalkan proses Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI). Sebab, proses revisi UU tersebut sangat tertutup dan minim partisipasi publik.

Dewa Palguna menilai proses revisi UU TNI yang tertutup dan minim partisipasi publik menimbulkan kecurigaan terhadap agenda di balik pengesahan aturan tersebut. Terlebih, revisi UU ini tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).

"Saya kecewa dengan prosesnya. RUU ini tidak masuk Prolegnas, saya tidak tahu apakah ada naskah akademiknya dan tiba-tiba Presiden mengirim surpres pada 18 Februari. Semua berlangsung begitu tertutup," kata Palguna dalam diskusi Teras FISIP Vol. 1 'Pengesahan RUU TNI: Apa yang Perlu Diketahui Masyarakat' di Kampus Unud Sudirman, Denpasar, Selasa (25/3/2025) malam.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) itu menilai cara-cara seperti ini berisiko memperlebar jurang antara TNI dan masyarakat. Sebab, UU dibuat tanpa melibatkan mereka yang akan terkena dampaknya.

"Dalam tanda petik, siapa yang sebenarnya diadu oleh UU ini? Ya, rakyat dan TNI. Prosesnya yang sangat saya sesalkan karena ini seharusnya tidak boleh terjadi dalam proses berdemokrasi kita yang sudah lebih dari seperempat abad ini," tegas Dewa Palguna.

ADVERTISEMENT

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Udayana (FH Unud) itu juga menyoroti ketidakjelasan terkait pasal-pasal yang telah disahkan dalam UU TNI. Terlebih, ia belum menemukan teks final dari pasal-pasal yang telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

"Saya tak mau membahas tentang pasal-pasal perubahan. Itu salah satu bentuk protes saya juga karena hingga saat ini saya tidak menemukan apa bunyi pasal yang disahkan oleh DPR. Bahkan, ketika saya bertanya kepada teman-teman anggota DPR, mereka tidak bisa memberikannya kepada saya," ujar Dewa Palguna.

Situasi ini, jelas Dewa Palguna, makin memperlihatkan proses politik yang melahirkan UU TNI tidak berjalan dengan baik dan bertentangan dengan prinsip transparansi serta akuntabilitas dalam demokrasi.

"Oleh karena itu, sayangnya kita cuma bisa berdoa semoga pernyataan pemerintah benar adanya. Masalahnya di Republik ini demokrasi tidak bisa hanya dengan berdoa saja. Kita harus ada kontrol yang bisa dipertanggungjawabkan akuntabilitasnya," ujarnya.

Akademisi FH Unud itu juga merespons pernyataan pemerintah yang mengatakan revisi UU TNI tidak akan membawa Indonesia kembali ke era Orde Baru dan menyebut aturan untuk membatasi peran militer di ranah sipil. Menurut Dewa Palguna, tanpa adanya keterbukaan dan partisipasi publik, klaim pemerintah tersebut sulit dipercaya.

"Bagaimana kita bisa memercayai itu kalau sampai sekarang naskahnya saja tidak kita dapatkan? Bagaimana kita bisa merasa diwakili oleh pernyataan itu kalau pembahasan dilakukan secara tertutup, melanggar prinsip transparansi, dan tidak ada partisipasi publik yang bermakna?," ungkapnya.

Menurut Dewa Palguna, proses penyusunan UU TNI tidak hanya tertutup, tetapi juga menyalahi prosedur legislasi yang ideal. Terlebih, revisi UU TNI tidak masuk dalam Prolegnas dan tidak diketahui memiliki naskah akademik atau tidak karena tak dapat diakses publik.

"Harus ada kontrol yang bisa dipertanggungjawabkan akuntabilitasnya itu yang jadi soal buat saya," tambah Dewa Palguna.

DPR Klaim Undang-Undang TNI Tidak Hidupkan Dwifungsi TNI

Anggota Komisi I DPR Rachmat Hidayat menyebut pengesahan revisi Undang-Undang (UU) TNI tidak akan menghidupkan kembali dwifungsi ABRI. Politikus PDIP itu mengeklaim revisi tersebut justru memperkuat supremasi sipil dan menjadikan TNI lebih baik.

Rachmat mengungkapkan dirinya merupakan salah satu korban dwifungsi ABRI di era Orde Baru. Ia akan menentang revisi UU TNI jika dijadikan alat untuk mengembalikan kebijakan Orde Baru tersebut.

"Saya tahu betul bagaimana rasanya hidup di bawah dwifungsi ABRI. Sebagai korban langsung dwifungsi ABRI, saya yang pertama akan berdiri menentang revisi UU TNI jika itu membuka jalan bagi kembalinya militerisme di ranah sipil," ujar Rachmat kepada detikBali melalui WhatsApp, Selasa (25/3/2025).




(hsa/hsa)

Hide Ads