Usia Maman sudah menginjak 65 tahun, lebih dari setengah abad. Namun, pria ini masih lincah dan cekatan mengangkat pasir dari dasar Sungai Cimandiri menggunakan serpong, sebutan untuk alat serok panjang tradisional yang dibuat dari bambu dan gayung besar. Setiap hari, ia berjuang di tengah derasnya arus, berdiri di atas perahu kayu atau yang biasa disebut geletrek.
"Bekerja begini udah sekitar 30 tahun, diambilnya masih pakai cara tradisional, di singkup di siuk pakai gayung," ujar Maman sembari memperlihatkan gayung dan bambu panjang yang ia sebut serepong kepada detikJabar belum lama ini.
Tanpa baju, kulit Maman yang sudah penuh kerutan berkilat terkena sinar matahari. Otot-ototnya yang masih kekar adalah bukti ketangguhan fisiknya, hasil dari puluhan tahun bekerja. Dengan gerakan yang sudah terlatih, Maman kembali menurunkan gayung bambunya, menyelami pasir, lalu mengangkatnya ke permukaan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bagi Maman, aliran Sungai Cimandiri bukan sekadar tempat bekerja, tetapi sumber kehidupan yang sudah membesarkan lima anaknya hingga bersekolah. "Dari usaha ngambil pasir ini anak sekolah, 5 orang anak, bisa sekolah dari perjuangan ini, cucu sekarang ada 10," katanya dengan bangga.
Sudah lebih dari 30 tahun ia menantang arus sungai ini sebagai pencari pasir. Di tengah kesunyian sungai yang hanya dipecah oleh riak air, Maman dengan peralatan tradisionalnya bertahan mencari nafkah.
Meski pekerjaan ini penuh risiko dan fisik yang kian menua, Maman tetap setia menjalankan aktivitasnya. Kini, ia tak lagi bekerja sendiri. "Sekarang punya perahu empat. Dulu, saya cuma cukup buat makan, tapi sekarang bisa punya perahu, nunggu setoran dari pekerja," ungkap Maman.
![]() |
Pekerjanya yang menantang arus setiap hari mengambil pasir menggunakan perahu. Setiap hari, rata-rata empat hingga lima rit pasir berhasil mereka kumpulkan. Namun, tantangan pekerjaan ini semakin berat, terutama di musim hujan. Maman harus memperhatikan arus sungai yang meluap. Jika air terlalu deras di malam hari, pekerjaannya harus menunggu pagi hari ketika kondisi lebih aman.
Dengan harga pasir yang mencapai Rp80 ribu per rit, Maman dan pekerjanya memperoleh pendapatan yang cukup untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. "Sekarang musim hujan juga masih beroperasi ngambil pasirnya, kalau air meluap malam, pagi diambil. Sekarang bersihnya dapat seratus ribu per hari," ujar Maman. Jumlah yang mungkin tak seberapa, namun cukup untuk kehidupan sederhana mereka.
Maman hanyalah satu dari sekian banyak warga di Kampung Mariuk yang menggantungkan hidup dari aliran Sungai Cimandiri. Di sana, sungai bukan sekadar arus air, tapi sebuah perjuangan panjang tempat Maman dan warga lainnya menantang arus demi masa depan keluarga mereka.
Sejak kecil, anak-anak kampung ini tumbuh dengan menyaksikan orang tua mereka bergelut dengan sungai untuk mencari nafkah. Maman pun salah satunya. Seperti kebanyakan warga lainnya, ia tidak memiliki lahan pertanian atau keterampilan lain, sehingga aliran sungai inilah yang menjadi sumber kehidupan utama bagi mereka.
"Sungai ini membawa rezeki, tetapi sekaligus menguji kita agar tetap bersyukur kepada yang maha kuasa," ujarnya sambil tersenyum lelah menutup perbincangan dengan detikJabar.
(sya/iqk)