Hikayat Sungai Cikapundung: Dulu Bersahabat, Kini Bersekat

Hikayat Sungai Cikapundung: Dulu Bersahabat, Kini Bersekat

Anindyadevi Aurellia - detikJabar
Minggu, 26 Mei 2024 12:30 WIB
Sungai Cikapundung dan Taman Cikapundung. Foto: Anindyadevi
Sungai Cikapundung dan Taman Cikapundung. Foto: AnindyadeviFoto: Anindyadevi Aurellia/detikJabar
Bandung -

Masih melekat di ingatan Wiwin (51), memori indahnya sejak lahir hingga bertumbuh dewasa di bantaran Sungai Cikapundung. Wiwin merupakan warga RW 08, Hegarmanah, Cidadap, Kota Bandung tepatnya di lingkungan padat penduduk bantaran Sungai Cikapundung.

Sungai itu memiliki panjang 28 kilometer, dan 15,5 kilometernya membelah Kota Bandung. Cikapundung menjadi sumber penghidupan warganya sejak dulu. Wiwin kecil biasa berenang di sungai bersama teman-temannya di pagi hari.

Air sungai yang dingin, bening, dan tenang, begitu bersahabat dengan mereka. Sementara di samping Wiwin berenang, ibu Wiwin biasa menggunakan air sungai tersebut untuk kegiatan cuci-mencuci.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Saya dari bayi di sini. Dulu waktu kita kecil bisa berenang, di 30 meter juga berani, lawan arus pun berani. Dulu airnya bersih, bening. Bisa dipakai nyuci, biasanya nyuci piring, nyuci baju, terus kalau malam itu biasa pada nyuci beras juga, dulu masih berani," kenangnya saat bertemu detikJabar belum lama ini.

Hingga akhirnya lambat laun penduduk yang tinggal di wilayah sekitar sungai semakin banyak. Warga juga belum paham ke mana harus membuang sampah, sehingga pada tahun 90-an akhir, dikatakan Wiwin, sungai itu tak lagi berwajah cantik.

ADVERTISEMENT

"Ke sini-sini lama-lama kotor. Warga itu dulu memang buang sampah ke sungai. Ketika itu belum dideklarasikan sungai bebas sampah. Dampaknya sebetulnya di sini nggak pernah banjir, cuma warnanya berubah, kotor banyak sampah, terus yang banjir itu daerah bawah lagi di Bojongsoang itu dari dulu banjir," cerita Wiwin.

"Nah karena itu ditelisik ternyata dari sampah-sampah ada yang dari atas, dari kami juga, sampai ke bawah. Karena kami dulu bingung, TPS nggak ada nih. Sampai akhirnya mulai dari situ terus ada TPS yang Baksil (Babakan Siliwangi) itu," lanjut dia.

Wajah Cikapundung pun jadi muram. Wiwin di usia sekitar 25 tahun saat itu, tak lagi melihat keceriaan anak-anak bermain di sungai seperti memori masa kecilnya.

Memori indah yang berubah jadi suram itu juga terpatri dalam ingatan Badig (47), Warga Gang Bukit Jarian, RT 6 RW 11 Hegarmanah. Ia dibuat ngeri jika membayangkan kondisi sungai yang berubah drastis.

"Saya tahu betul perubahannya, dulu debit airnya masih tinggi, airnya bersih, sejuk. Sampai akhirnya mulai jadi tempat sampah. Saya pernah main ke daerah Bojongsoang, mereka yang paling terdampak. Itu sampah bisa tiga meter sendiri, sudah kondisinya padat bahkan kita bisa main voli di atasnya," cerita Badig.

Sejak itu Badig kemudian tergabung dalam Komunitas Cikapundung, sementara Wiwin menggerakkan Komunitas Bugasil atau Ibu-ibu Gang Siliwangi. Sekitar tahun 2002, edukasi untuk tidak membuang sampah sembarangan mulai digalakkan.

Dokumentasi warga saat bebersih Sungai Cikapundung di tahun 2013. Foto: dokumentasi wargaDokumentasi warga saat bebersih Sungai Cikapundung di tahun 2013. Foto: dokumentasi warga

Sungai Cikapundung yang Mulai Terabaikan

Sekitar tahun 2010-2013, Badig menceritakan betapa warga Cikapundung dekat dengan Wakil Wali Kota Bandung saat itu, Ayi Vivananda. Bebersih sungai kerap dilakukan oleh orang nomor dua di Bandung itu bersama warga, yang menurutnya hal itu jadi sosialisasi paling efektif.

"Warga kan jadi turun, main ke situ. Dulu itu kita biasa kukuyaan atau tubing, jadi pakai dua ban satunya untuk di badan satunya untuk karung sampah, kita ngarung sungai sambil ambil sampah. Jadi kita edukasinya pakai cara rafting, arung jeram, jadi warga juga sungkan buang sampah karena sungai itu aktif mereka juga ikut nyebur," kenang dia.

Saat Kota Bandung berganti kepemimpinan, di era Ridwan Kamil perawatan Sungai Cikapundung kemudian diambil alih sepenuhnya oleh Pemkot Bandung. Pada tahun 2015, sebagian warga bantaran sungai kemudian direlokasi dan petugas kebersihan mulai diturunkan.

Kurang lebih selama 10 tahun terakhir, Badig dan Wiwin merasa Komunitas Cikapundung mulai sepi kegiatan. Jurig Cai dan petugas Gober diturunkan untuk rutin bebersih di Sungai Cikapundung. Warga pun tak lagi 'dekat' dengan Sungai Cikapundung.

"Kita jadi bukan sudah tidak peduli ya, tapi sudah diambil alih pemerintah ya sudah saya serahkan. Sekarang aktivitas di Sungai Cikapundung sudah minim, warga juga tidak bergantung dengan sungai karena airnya sudah tidak seperti dulu. Aliran air pakai PDAM, masih suka bebersih hanya kalau kita lihat sungai sudah mulai kotor," kata Wiwin.

"Saat Teras Cikapundung dibangun, itu jadi ruang terbuka yang bebas PKL. Jadi hanya beberap orang sini yang berdagang di situ. Mayoritas warga sini kerjanya serabutan, karyawan di ITB, atau berdagang, tapi semuanya tidak bergantung dengan Cikapundung lagi," imbuh dia.

Tapi Badig melihat, Sungai Cikapundung tak benar-benar diurus. Sungai ini pun tak betul-betul sudah bersih dari sampah.

Ribuan warga yang menempati rumah di bibir Cikapundung, tak semuanya peduli dengan kebersihan sungai itu. Belum lagi dengan pencemaran lainnya, bisa dari objek wisata hingga limbah pabrik di sungai yang mengaliri Kota dan Kabupaten Bandung itu.

"Sungai Cikapundung itu sungai yang paling baik ke manusia menurut saya. Karena tidak pernah banjir di sekitar saya juga. Makanya kemarin Braga kena banjir dan itu dari Cikapundung, ya mungkin itu tanda bahwa dia sudah tidak diperhatikan lagi," kata Badig.

"Sekarang aktivitas di Sungai Cikapundung baik pagi, siang, malam sudah tidak ada lagi. Warga sampai saat ini masih ada juga yang kucing-kucingan buang sampah di situ, misalnya rumahnya di bantaran bawah sementara truk sampah itu di atas gang, dia nggak mau ke atas jadi dia buang ke sungai, belum lagi limbah pabrik. Debit air juga sudah menurun karena ada pipa PDAM yang ambilnya dari Cikapundung. Jadi buat kukuyaan pun itu sudah nggak bisa," ceritanya.

Mengais Rejeki dari Bantaran Sungai Cikapundung

Ugi (34) mungkin jadi salah satu dari sedikit warga yang memanfaatkan bantaran Sungai Cikapundung sebagai tempatnya mencari nafkah. Perempuan yang juga tinggal di bantaran sungai itu, setiap hari berjualan gorengan dan mie instan di Taman Cikapundung.

"Kalau dulu pagi itu saya biasa ikut nyuci di sungai, sekarang saya pagi masih di sekitar sungai tapi buat jualan. Saya subuh ke pasar, siap-siap mau dagang, buka warung jam 07.00-17.00 WIB," cerita Ugi.

Jika dulu Sungai Cikapundung pagi hari ramai dengan aktivitas warga yang bermain dan berenang, kemudian berganti menjadi warga yang ramai-ramai bebersih sungai, kini aktivitas Sungai Cikapundung terlihat sepi.

Hanya segelintir orang yang nongkrong, olahraga, dan berswafoto di Taman Cikapundung, salah satu spot bantaran sungai itu. Sembari bercerita dengan detikJabar, Ugi di pagi hari sibuk menyiapkan kopi panas untuk para pelanggannya.

Pelanggannya hari itu memang tak banyak, pemasukannya cenderung menurun setelah pandemi. Terlebih ia sependapat dengan Wiwin dan Badig, Ugi merasa Cikapundung mulai kehilangan perhatian. Sehingga kini ia mati-matian berusaha bertahan hidup dari objek wisata Taman Cikapundung.

"Dulu waktu awal dibuka tahun 2018 saya jualan, rame banget. Sehari bisa dapat Rp1-3 juta, sekarang itu aktivitas sudah nggak ada, pandemi semuanya sepi, ini juga sempat kumuh dulu nggak terurus," kenang Ugi.

"Sekarang itu paling rame Rp200-300 ribu. Kalau harian mungkin Rp100 ribu, dulu pernah sepi banget cuma dapet sehari Rp30 ribu atau malah nggak ada. Jatuh jauh banget pemasukan," lanjutnya.

Meskipun begitu, ia tetap berjuang mengandalkan penghidupan dari bantaran sungai. Ugi mendengar Pemkot Bandung bakal melakukan revitalisasi dan optimalisasi objek wisata di Teras Cikapundung. Ia pun menggantungkan harapan di dalamnya.

"Ya semoga aktivitas di sungai ini bisa rame lagi, lebih bersih dan diperhatikan pemerintah lagi. Mungkin nanti ada yang wisata, ada yang bebersih, ada yang olahraga, terus tempat ini jadi rame lagi, jadi saya juga ada pemasukan yang lebih banyak. Soalnya tanggungan saya juga banyak, bisa dibilang saya hidup kalau banyak orang yang main ke sungai," doa Ugi.

(aau/sud)


Hide Ads