Perbedaan penentuan hari dan tanggal Lebaran di Indonesia ternyata sudah berlangsung sejak zaman dulu. Khilafiyah atau perbedaan pendapat di kalangan warga Ormas Islam beberapa kali terjadi dalam penentuan hari Lebaran dan awal Ramadan.
Di wilayah Tasikmalaya perbedaan waktu Lebaran itu sempat berubah menjadi ketegangan di kalangan masyarakat. Insiden itu terjadi pada Idul Fitri tahun 1935.
Dikutip dari berbagai pemberitaan koran Belanda pada masa itu, perselisihan akibat perbedaan hari Lebaran itu rupanya dipicu oleh sikap Bupati yang dianggap memihak salah satu kelompok dan melarang kelompok lain untuk menggunakan masjid.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Akhirnya timbul ketegangan sehingga Bupati Tasikmalaya meminta bantuan polisi dari Bandung untuk dikerahkan ke Tasikmalaya, guna mengantisipasi konflik. Dalam sebuah artikel berjudul 'Perselisihan di Tasimalaja', kantor berita Aneta kala itu memaparkan 20 orang personil kepolisian dikirim dari Bandung ke Tasikmalaya.
"Perayaan Lebaran berlangsung sangat damai, kecuali di Tasikmalaja yang terjadi perselisihan pendapat mengenai penentuan tanggal yang tepat. Perbedaan pendapat antara asosiasi politik Islam yang konservatif dan liberal ini begitu kuat sehingga, menurut Aneta, 20 orang polisi harus dikirim dari Bandung ke Tasikmalaja sebagai tindakan pencegahan," demikian tulis artikel koran berbahasa Belanda.
Pasukan yang dipimpin oleh Komisaris WK Soeters bertolak dari Bandung ke Tasikmalaya pada 26 Desember 1934. Ini merupakan respons dari adanya potensi konflik horizontal di Tasikmalaya.
"Ada dua pergerakan masyarakat di sana yang masing-masing ingin merayakan Lebaran di hari berbeda , yakni satu kelompok pada Minggu, 6 Januari 1935, dan satu lagi pada Senin pagi, 7 Januari 1935. Pandangan-pandangan ini sangat bertentangan satu sama lain sehingga tidak menutup kemungkinan akan terjadi perkelahian," tulis artikel tersebut.
Namun demikian pada akhirnya konflik yang dikhawatirkan nyatanya tidak terjadi, pada Senin 7 Januari 1935 sore, pasukan polisi itu ditarik lagi ke Bandung karena suasana kondusif.
"Namun kondisinya masih sepi. Rombongan polisi ini kembali lagi ke Bandung pada Senin sore," tulis artikel di koran de Locomotive itu.
Tapi karena kadung menjadi isu yang besar, pemerintah kolonial pada saat itu langsung melakukan investigasi. Apalagi ada desakan dari kalangan anggota dewan yang menyesalkan sikap Bupati.
Akhirnya pada tanggal 25 Januari 1935, pemerintah kolonial memberikan penjelasan resmi dan dirilis oleh kantor berita Aneta.
"Bupati mengeluarkan larangan mengunjungi masjid pada hari lain selain hari resmi Lebaran. Hal ini akan menimbulkan ketidakpuasan yang serius di antara mereka yang terlibat, yang akan menimbulkan ketegangan tertentu. Pemerintah kini telah menjawab pertanyaan terkait," demikian laporan Aneta dikutip oleh berbagai koran.
Dalam keterangan itu pemerintah kolonial memaparkan duduk perkaranya. Bahwa Bupati Tasik melalui Dewan Agama menentukan bahwa Lebaran jatuh pada hari Minggu 6 Januari 1935. Bupati disebut mengeluarkan surat yang isinya mewajibkan semua umat Islam, Lebaran di hari itu. Padahal ada kelompok lain yang berpendapat Lebaran jatuh pada Senin 7 Januari.
"Larangan sebagaimana atas belum dikeluarkan oleh Bupati Tasikmalaja . Namun pada tanggal 14 Desember 1934, Bupati Penghulu Kabupaten tersebut, yang pada mulanya berpendapat bahwa perayaan Lebaran pada hari yang ditentukan oleh Dewan Agama, adalah wajib bagi setiap umat Islam di wilayah hukumnya, mengirimkan surat kepada staf kaoem di meninggalkan yurisdiksinya. Namun pemberitahuan tersebut dicabut pada tanggal 30 bulan tersebut, sehingga setiap orang mempunyai kebebasan penuh untuk menghadiri ibadah hari raya di masjid-masjid pada hari Senin, 7 Januari, sehari setelah perayaan resmi," tulis Aneta.
(dir/dir)