Dua Kejadian Jelang Lebaran yang Gemparkan Tasikmalaya

Lorong waktu

Dua Kejadian Jelang Lebaran yang Gemparkan Tasikmalaya

Faizal Amiruddin - detikJabar
Senin, 31 Mar 2025 09:30 WIB
Bale Kota Tasikmalaya
Bale Kota Tasikmalaya. Foto: Dadang Hermansyah
Tasikmalaya -

Perayaan Idulfitri dalam dinamika sosial masyarakat tak selalu berjalan tentram tanpa masalah. Bahkan di Tasikmalaya yang dikenal sebagai Kota Santri, di mana sejak dulu kultur religius Islami sudah melekat di masyarakatnya, perayaan Idulfitri pernah diwarnai gejolak sosial yang cukup pelik.

Setidaknya ada 2 kejadian menjelang Lebaran di masa lampau yang membuat Tasikmalaya geger menjadi perhatian nasional. Yang pertama adalah insiden di malam takbiran Lebaran tahun 1936, yang membuat masyarakat Tasikmalaya murka, hingga menggelar aksi demonstrasi di sekitar pusat kota.

Hal itu akibat seorang warga Eropa yang memaki-maki dan mengusir warga Tasik yang sedang menabuh beduk di malam takbiran Idulfitri. Ironisnya istri pria Eropa itu ikut masuk ke masjid sambil membawa anjing.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jejak sejarah kejadian itu, bisa kita temukan dalam arsip artikel atau berita koran-koran berbahasa Belanda. Boleh jadi kejadian tersebut viral di masa itu, karena hampir semua koran dan majalah berbahasa Belanda memuat berita tersebut.

Sebut saja koran Bataviaasch nieuwsblad, Het Nieuws Van den dag voor Nederlandsch-Indië, De Telegraf, De Koerir, De Indische Courant dan media berbahasa Belanda lainnya.

Judul yang mereka rilis beragam, seperti "Keributan di Tasikmalaya", "Masalah Agama Gangguan dari Mereka yang Berpikir Berbeda" dan lain sebagainya. Pemberitaan insiden ini terjadi di rentang waktu tanggal 21 sampai 23 Desember 1936. Kemudian berita penyelesaian perkara ramai di rentang tanggal 14 sampai 18 Februari 1937.

ADVERTISEMENT

Dirangkum dari berbagai pemberitaan media massa itu, insiden yang memicu gejolak sosial hingga berminggu-minggu ini terjadi pada malam takbiran Idulfitri pada 14 Desember 1936 sekitar pukul 20.00 WIB.

TKP berada di sebuah masjid (sebagian keterangan menyebut tajuk/langgar) di Jalan Jajaway Kecamatan Tawang, Kota Tasikmalaya. Lokasi permukiman ini berada tak jauh dari stasiun KA Kota Tasikmalaya.

Kronologi kejadian itu diawali ketika keluarga besar seorang pedagang tembakau di daerah Jajaway itu menyambut datangnya malam takbiran. Pedagang berusia 60 tahun itu kedatangan beberapa saudaranya, selain itu 15 orang anaknya juga turut memeriahkan malam Lebaran.

Beberapa di antara mereka semangat menabuh beduk sambil mengumandangkan takbir di sebuah tajuk. Di sisi lain, sekitar 17 meter dari rumah keluarga muslim itu tinggal seorang warga Eropa bernama Jacobs. Di Tasikmalaya dia bekerja sebagai operator mesin angkutan dan tinggal bersama keluarganya. Diperkirakan dia tinggal di bangunan yang saat ini eks kantor Damri Tasikmalaya.

Dia rupanya merasa terganggu dengan suara tabuhan beduk dan kumandang takbir di masjid tersebut. Arogansi Londo ini muncul. Sambil membawa cambuk dia mendatangi masjid itu dan menghardik anak-anak yang sedang bersukacita 'ngadulag'.

Kata-kata cacian keluar dan mengancam agar aksi tabuh beduk itu dihentikan. Ironisnya saat Jacobs mengamuk itu, istrinya ikut masuk masjid sambil membawa anjing yang terikat tali.

"Disebutkan bahwa pada tanggal 14 malam sekitar pukul 08.30, operator angkutan J (Jacobs) memasuki rumah ibadah umat Islam di Tasikmalaja (Tasikmalaya), di mana sedang dilakukan salat Lebaran dan beduk tersebut dipukuli. J dikatakan membawa cambuk di tangannya dan juga ditemani oleh istrinya yang membawa seekor anjing besar, mengancam akan menganiaya mereka yang hadir jika mereka tidak berhenti. Selanjutnya, J dikatakan telah menambahkan hinaan kepada orang-orang seperti monyet, anjing, babi dan baal tidak pantas lainnya," tulis koran Algemen Handelsblad voor Nederlandsh-Indie, edisi 21 Desember 1936.

Tak diketahui bagaimana respons jemaah di masjid tersebut kala itu. Namun merujuk berbagai artikel pemberitaan, masalah itu kemudian menggelinding bak bola salju, terus membesar dan meluas seiring berjalan waktu.

Amarah warga Islam pribumi terpantik, betapa kaum penjajah itu membawa masuk binatang najis ke dalam masjid. Gejolak sosial ini telah menimbulkan keresahan yang serius, sehingga para tokoh dan masyarakat Tasikmalaya membentuk 'Komite Umat Islam'. Sementara beberapa koran lainnya menyebut telah dibentuk 'Komite Pembela Islam'.

Pergerakan aksi penolakan ini kemudian diekspresikan dalam sebuah aksi demonstrasi yang diikuti oleh ribuan masyarakat di Masjid Agung Tasikmalaya. "Tasikmalaja, 23 Desember 1936. Kemarin sore pertemuan protes diadakan di Masjid Besar di Tasikmalaja , yang dihadiri lebih dari lima ribu umat Islam. Dalam pertemuan ini diputuskan untuk meyakinkan pemerintah bahwa mereka ingin mencopot seorang JK Jacobs, yang pada malam sebelum Lebaran memasuki Masjid Djadjawai bersama istri dan anjingnya, menghina umat Islam yang hadir di sana dan selanjutnya melarang dari menabuh bedug," demikian laporan Aneta yang kemudian dikutip oleh berbagai koran di masa itu.

Masyarakat yang emosi mulai mendatangi kediaman Jacobs, tulisan tanda di depan rumah 'Awas Andjing' ditambah warga dengan tulisan 'Awas Golok'. Namun aksi anarkis bisa dicegah karena pemerintah melalui Kepala Penghulu bisa menampung aspirasi massa. Massa menuntut agar Jacobs angkat kaki dari bumi Tasikmalaya.

Jacobs yang semula angkuh akhirnya ciut nyali juga, dalam sebuah artikel disebutkan dia mengutus pegawainya yang bisa berbahasa Sunda untuk menemui pedagang tembakau pemilik masjid untuk meminta maaf. Dia bahkan menawarkan akan membangun ulang masjid itu untuk menebus kesalahannya. Tapi penawaran itu ditolak mentah-mentah.

Di dalam artikel itu juga dituliskan pembelaan atau alibi dari Jacobs. Dia beralasan tidak tahu jika yang didatanginya adalah masjid.

"Dalam hal ini, Pak J meyakinkan kami, tidak demikian. Rumah yang dimaksud adalah rumah kampung biasa, yang telah dinyatakan suci oleh pemiliknya yang dulu, seorang haji, dan di dalamnya digantungkan sebuah doa. Hanya dua hari kemudian Pak J mendengar bahwa dia telah memasuki sebuah tempat yang disebut langgar, dan dia disalahkan atas hal ini," tulis artikel yang memberi ruang pembelaan bagi Jacobs.

Meningkatnya eskalasi kemarahan warga Tasik atas perkara ini akhirnya membuat Pemerintah Kolonial Belanda turun tangan melakukan penyelidikan resmi. Hal itu juga dipengaruhi oleh adanya permintaan klarifikasi yang dilayangkan Wiwoho, salah seorang Volksraad atau anggota DPR saat itu, kepada pemerintah kolonial.

Proses pemeriksaan atau proses hukum terhadap kasus Jacobs ini berlangsung berlangsung beberapa pekan. Pemberitaan tentang penjelasan resmi pemerintah terhadap kasus ini ramai menghiasi berbagai media massa pada tanggal 15 Februari 1937.

Pengadilan Tasikmalaya akhirnya menjatuhkan vonis berupa denda 25 gulden subsider 25 hari penjara. Keluarga Jacobs juga akhirnya angkat kaki dari Tasikmalaya atas kemauannya sendiri.

Dari hasil investigasi resmi pemerintah, diketahui aksi Jacobs menggeruduk masjid di malam takbiran juga terjadi di tahun sebelumnya atau tahun 1935. Namun karena ketika itu anjingnya tidak dibawa masuk, warga masih bisa menahan emosi.

Tapi ketika anjing dibawa masuk ke masjid di malam takbiran 1936, amarah warga Tasikmalaya tak tertahankan.

Ribut Gegara Perbedaan Hari Lebaran

Dinamika sosial akibat perbedaan penentuan hari Lebaran ternyata sudah berlangsung sejak zaman dulu.

Di wilayah Tasikmalaya perbedaan waktu Lebaran di masa lampau sempat berubah menjadi ketegangan di kalangan masyarakat. Insiden itu terjadi pada Idul Fitri tahun 1935.

Dikutip dari berbagai pemberitaan koran Belanda pada masa itu, perselisihan akibat perbedaan hari Lebaran itu, rupanya dipicu oleh sikap Bupati yang dianggap memihak salah satu kelompok dan melarang kelompok lain untuk menggunakan masjid.

Akhirnya timbul ketegangan sehingga Bupati Tasikmalaya meminta bantuan polisi dari Bandung untuk dikerahkan ke Tasikmalaya, guna mengantisipasi konflik.

Dalam sebuah artikel berjudul "Perselisihan di Tasimalaja", kantor berita Aneta kala itu memaparkan 20 orang personil kepolisian dikirim dari Bandung ke Tasikmalaya.

"Perayaan Lebaran berlangsung sangat damai, kecuali di Tasikmalaja yang terjadi perselisihan pendapat mengenai penentuan tanggal yang tepat. Perbedaan pendapat antara asosiasi politik Islam yang konservatif dan liberal ini begitu kuat sehingga, menurut Aneta, 20 orang polisi harus dikirim dari Bandung ke Tasikmalaja sebagai tindakan pencegahan," demikian tulis artikel koran berbahasa Belanda.

Pasukan yang dipimpin oleh Komisaris WK Soeters bertolak dari Bandung ke Tasikmalaya pada 26 Desember 1934. Ini merupakan respons dari adanya potensi konflik horizontal di Tasikmalaya.

"Ada dua pergerakan masyarakat di sana yang masing-masing ingin merayakan Lebaran di hari berbeda , yakni satu kelompok pada Minggu, 6 Januari 1935, dan satu lagi pada Senin pagi, 7 Januari 1935. Pandangan-pandangan ini sangat bertentangan satu sama lain sehingga tidak menutup kemungkinan akan terjadi perkelahian," tulis artikel tersebut.

Namun demikian pada akhirnya konflik yang dikhawatirkan nyatanya tidak terjadi, pada Senin 7 Januari 1935 sore, pasukan polisi itu ditarik lagi ke Bandung karena suasana kondusif.

"Namun kondisinya masih sepi. Rombongan polisi ini kembali lagi ke Bandung pada Senin sore," tulis artikel di koran de Locomotive itu.

Tapi karena kadung menjadi isu yang besar, pemerintah kolonial pada saat itu langsung melakukan investigasi. Apalagi ada ada desakan dari kalangan anggota dewan yang menyesalkan sikap Bupati.

Akhirnya pada tanggal 25 Januari 1935, pemerintah kolonial memberikan penjelasan resmi dan dirilis oleh kantor berita Aneta.

"Bupati mengeluarkan larangan mengunjungi masjid pada hari lain selain hari resmi Lebaran. Hal ini akan menimbulkan ketidakpuasan yang serius di antara mereka yang terlibat, yang akan menimbulkan ketegangan tertentu. Pemerintah kini telah menjawab pertanyaan terkait," demikian laporan Aneta dikutip oleh berbagai koran.

Dalam keterangan itu pemerintah kolonial memaparkan duduk perkaranya. Bahwa Bupati Tasik melalui Dewan Agama menentukan Lebaran jatuh pada hari Minggu 6 Januari 1935.

Bupati disebut mengeluarkan surat yang isinya mewajibkan semua umat Islam, Lebaran di hari itu.

Padahal ada kelompok lain yang berpendapat Lebaran jatuh pada Senin 7 Januari.

Hal inilah yang kemudian memicu gejolak karena Bupati memaksa warga untuk Lebaran sesuai keputusan pemerintah. Namun pada akhirnya pemerintah segera mencabut surat itu dan membebaskan kelompok umat beragama menentukan hari Lebaran sesuai dengan perhitungannya.

"Larangan sebagaimana atas belum dikeluarkan oleh Bupati Tasikmalaja. Namun pemberitahuan tersebut dicabut pada tanggal 30 bulan tersebut, sehingga setiap orang mempunyai kebebasan penuh untuk menghadiri ibadah hari raya di masjid-masjid pada hari Senin, 7 Januari, sehari setelah perayaan resmi," tulis Aneta.

(sud/sud)


Hide Ads