Problematika Bikin Remaja Rentan Gangguan Jiwa

Problematika Bikin Remaja Rentan Gangguan Jiwa

Wisma Putra - detikJabar
Sabtu, 11 Nov 2023 06:30 WIB
ilustrasi wanita depresi
Ilustrasi (Foto: thinkstock)
Bandung -

Psikolog Fakultas Psikologi Unpad Aulia Iskandar menyoroti kesehatan mental di kelompok remaja. Dia menilai, seseorang yang ada di fase remaja hingga awal dewasa rentan mengalami gangguan kejiwaan.

"Ada umur-umur tertentu, misal remaja itu rentan. Makannya kejadian pada remaja banyak, remaja depresi, remaja bunuh diri dan sebagainya. Karena memang fase hidupnya itu," ujar Aulia kepada detikJabar via sambungan telepon, Jumat (10/11/2023).

Sehingga menurut Aulia, ada fase-fase tertentu yang dibutuhkan perhatian lebih. Selain itu, masalah yang bisa buat seseorang itu banyak.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Gini, remaja misalnya, remaja punya tugas perkembangan, pertama dia harus berelasi dengan lingkungan, harus tertarik dengan lawan jenis, harus tumbuh menjadi orang yang mandiri. Sekarang contohnya misalkan dia belum bisa mandiri selesaikan maslah, takut ngmong ke orang lain, stres sendiri, frustasikan. Akhirnya, contoh orang putus cinta ya gak usah gantung diri tapi dia merasa dunianya hancur. Kenapa? Karena dia belum terampil menghadapi masalah-masalahnya," jelasnya.

Selain itu, mengapa remaja rentan terhadap gangguan kejiwaan karena problem yang dihadapi remaja bisa datang dari relasi hingga tugas sekolah atau kuliah.

ADVERTISEMENT

"Banyak, salah satu top of the list misalnya yang jadi problem itu relasi, tugas akhir. Relasi itu bisa dengan kawan, keluarga dan lawan jenis atau pacar itu yang top sering di laporkan. Tugas akhir juga sama," pungkasnya.

Selain orang yang rentan alami kejiwaan, lingkungannya seperti keluarga atau kerabat harus peka dengan kondisi kejiwaan orang yang bersangkutan dan membantu mencari pertolongan.

"Contoh mau ngomong kepada orang tua, tapi kalau misalnya gak bisa ke orang tua ngomong ke profesional, ke psikolog atau ke konselor, sekarang banyakan. Antisipasi harus ada langkah preventif, tak hanya kesadaran yang bersangkutan, tapi lingkungan juga harus buat langkah preventif misal kita buat program sikoedukasi," terangnya.

Menurut Aulia, langkah preventif bisa dilakukan. Misalnya bagi masyarakat yang mengalami gangguan kesehatan biasa, mereka bisa mengikuti gerakan masyarakat sehat.

"Preventif untuk kesehatan mental bisa saja program-program psiko edukasi jisa bentuknya penyuluhan dan kampanye, ngobrol dengan psikolog dan lainnya, itu bisa," ujarnya.

Sementara stres, kata Aulia, hal itu merupakan respons alamiah. Terlebih apabila seseorang sedang menghadapi situasi menantang.

"Pada dasarnya stres itu sesuatu yang normal," kata Aulia.

Menurut Aulia, seseorang yang alami stres ada baiknya untuk melakukan pencegahan salah satunya dengan melakukan pengecekan kesehatan mental.

"Hanya saja, yang harus dilakukan adalah meningkatkan kesadaran kita terhadap kesehatan mental kita dengan cara melakukan checking, apakah ada hal-hal yang menurut kita sudah tidak bisa lagi, contohnya kurang tidur, kemudian alami insomnia," ungkapnya.

Jika sudah ada gejala, sambung Aulia, bisa cek tiga faktor, di antaranya faktor frekuensi, intensitas dan durasi.

"Kalau beneran tidak tidur semalaman sama sekali, kemudian frekuensinya sudah berlangsung selama dua minggu berturut-turut dan tingkat keparahannya ternyata intensitasnya kuat dan mengganggu perilaku kita, jadi marah-marah, jadi moodnya jelek, nah ketika kita sadar itu maka langkah yang harus kita lakukan mengetahui kemana kita cari pertolongan," ungkapnya.

"Tingkatkan kesadaran untuk mengetahui mencari pertolongannya kemana. Kita harus lakukan la lngkah untuk menetralitas atau membuat stres manajemen agar stres kita itu ada di stres yang sehat," tambahnya.




(dir/dir)


Hide Ads