Menyelami Kehidupan Alakadarnya di Kampung Pemulung TPA Sarimukti

Menyelami Kehidupan Alakadarnya di Kampung Pemulung TPA Sarimukti

Whisnu Pradana - detikJabar
Sabtu, 21 Okt 2023 07:30 WIB
Kehidupan di Kampung Pemulung Bandung Barat.
Kehidupan di Kampung Pemulung Bandung Barat (Foto: Whisnu Pradana/detikJabar).
Bandung Barat -

Yusuf nampak sibuk membolak-balikkan mie instan yang sedang dimasaknya di atas sebuah wajan penggorengan berwarna hitam tanpa gagang. Nyala api dari tungku yang disusun dari dua buah bata merah kalah panas oleh api kompor gas.

Pria 53 tahun itu mencoba menghilangkan rasa laparnya dengan sebungkus mie instan yang didapat dari pemberian orang-orang dermawan. Dua bulan sudah Yusuf tak punya penghasilan gegara tak bisa bekerja.

Lelaki paruh baya asal Majalaya, Kabupaten Bandung itu mengadu nasib ke Cipatat, Kabupaten Bandung Barat (KBB). Takdir membawanya berlabuh ke Desa Sarimukti. Yusuf berakhir menjadi seorang pemulung di TPA Sarimukti.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kalau anak sama istri di Majalaya, bapak di sini sendirian. Mau dibawa ke sini juga kasihan," ujar Yusuf sembari memastikan mie buatannya tak kelewat matang.

Nasibnya di perantauan tak bisa dibilang baik. Niat mengubah peruntungan, pun jauh panggang dari api. Meskipun takdir tetap dijalani dengan sebaik mungkin asalkan ia tak terlalu pusing memikirkan untuk makan keesokan harinya.

ADVERTISEMENT

"Bapak sudah 10 tahun mulung di TPA Sarimukti, ya dinikmati saja. Kalau pulang ke Majalaya juga di sana nggak kerja malah tambah pusing. Terus mau pulang kan nggak punya ongkos," ucap Yusuf lirih.

Yusuf memang tak berbohong. Kehidupannya bisa dibilang tak seberuntung orang lain yang rumahnya berdinding tembok kokoh dan beratap genting. Sebab Yusuf hanya tinggal di sebuah 'gubuk derita'.

Kehidupan di Kampung Pemulung Bandung Barat.Kehidupan di Kampung Pemulung Bandung Barat. Foto: Whisnu Pradana

Gubuk yang rangkanya dibuat dari batang-batang kayu dengan dinding triplek dan terpal. Atapnya hanya memanfaatkan limbah plastik yang sepertinya didapat Yusuf saat sedang memulung di TPA Sarimukti sebelum ia 'diliburkan' pengelola dampak kebakaran.

Tulisan 'gubuk derita' dibubuhkan Yusuf pada sebidang karpet bekas berwarna ungu yang menjadi pembatas di bagian dinding terluarnya. Di bagian depan, ada beberapa pakaian yang tergantung. Yusuf menyebut pakaian itu yang selama ini ia pakai untuk bekerja maupun istirahat.

"Alhamdulillah sekarang seperti punya keluarga, jadi ada yang 'ngaku'. Kalau beberapa tahun lalu kan masing-masing, sekarang jadi kampung sendiri. Ya setiap hari ngobrolnya sama mereka, nasibnya sama seperti saya," kata Yusuf.

Oom Komalasari (52), menjadi perwakilan pemulung TPA Sarimukti yang membentuk koloni dengan wadah Kampung Ciherang. Lokasinya tak terlalu jauh dari TPA Sarimukti. Ia hafal betul jumlah penghuni Kampung Ciherang.

"Di sini total itu ada 373 jiwa kalau Kepala Keluarga (KK) ada 73. Untuk lansia ada 40 jiwa, anak-anak 1 sampai 12 tahun ada 37 jiwa," kata Oom menjelaskan.

Oom mengatakan, 95 persen penghuni Kampung Ciherang memang berprofesi sebagai pemulung di TPA Sarimukti. Maka tak heran, saat TPA Sarimukti ditutup sementara karena kebakaran yang terjadi sejak 19 Agustus, semuanya kelabakan.

"95 persen bekerja di TPA (memulung). Makanya sekarang kita bingung, buat kebutuhan sehari-hari nggak punya penghasilan. Kita menunggu terus belas kasihan dari orang. Kadang ada yang utang ke warung termasuk saya," tutur Oom.

Soal kehidupan di Kampung Ciherang, Oom mengaku, semuanya nampak normal, seperti perkampungan pada umumnya. Ada pesta pernikahan yang juga menjadi salah satu faktor terus bertambahnya penghuni 'kampung pemulung' itu.

"Ya normal, ada pengurusnya. Terus ada kawinan juga, jadi ada warga di sini yang nikah dengan orang luar Ciherang. Nanti ada yang tinggal di sini, ada juga yang tinggalnya di luar Ciherang. Ya Alhamdulillah sekarang guyub, semenjak ada pengurusnya," tutur Oom.

Sebagai pengurus, ia tentu ingin yang terbaik untuk saudara senasibnya. Ia ingin pengelola TPA Sarimukti mengizinkan lagi pemulung beraktivitas seperti sedia kala.

"Inginnya bisa segera diizinkan memulung lagi. Ya lumayan di sini rata-rata sehari dapat Rp50 ribu sampai Rp100 ribu. Cukup buat makan, cukup buat nabung dikirim ke keluarga di kampung," ujar Oom.

(mso/mso)


Hide Ads