Dari kejauhan terlihat sekelompok orang sedang beraktivitas di atas gunungan sampah TPA Sarimukti, Cipatat, Kabupaten Bandung Barat (KBB). Di dekatnya ada alat berat bergerak dan truk lalu lalang.
Mereka ialah para pemulung, yang berkutat setiap hari. Mengais rejeki dari tumpukan sampah produksi masyarakat se-Bandung Raya.
Setiap truk pengangkut sampah datang, mereka buru-buru mendekat. Berharap ada barang-barang berharga seperti plastik, botol kaca, hingga barang bekas lain yang masih laik dipakai.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak peduli cuaca panas, hujan, bahkan dalam di bulan Ramadan sekalipun. Para pemulung yang jumlahnya ratusan itu, bergelut dengan kebutuhan perut. Hanya itu saja, tak lebih dan tak kurang.
"Alhamdulillah saya masih puasa, ya kalau lapar sama haus pasti. Apalagi kalau siang panas, tapi tiba-tiba hujan," kata Suherman, salah seorang pemulung saat ditemui, Senin (10/3/2025).
Pria 33 tahun asal Desa Rajamandala Kulon, Kecamatan Cipatat, Bandung Barat itu sudah 11 tahun ini menggeluti pekerjaan yang buat banyak orang tak terbersit di pikiran sama sekali.
Namun buat Suherman, mengeruk sampah sama dengan menggerakkan roda kehidupan. Ia bisa memberi makan keluarga hingga menyekolahkan anaknya dengan memulung.
"Kalau enggak mulung begini ya enggak makan, saya begini juga terpaksa. Saya cuma lulusan SD, mau cari kerja susah. Awalnya diajak tetangga, tapi keterusan sampai sekarang. Ya lumayan anak istri bisa makan," kata Suherman.
Di balik profesi yang dianggap rendahan itu, dalam sehari Suherman bisa mendapatkan uang Rp50 ribu sampai Rp75 ribu. Hasil yang tak sebanding dengan segala risiko dan pengorbanan yang dicurahkan.
"Kalau sehari, paling juga ya Rp50 ribu, kalau lagi bagus bisa Rp100 ribu sehari. Jadi kumpulin barang bekasnya terus dimasukkan ke karung, ya harga per kilogramnya juga murah, cuma Rp1.000," kata Suherman.
Serupa dengan Suherman, teman seperjuangannya yakni Sodikin (30) juga menjalani hari-hari yang sama. Berkutat dengan bau sampah, lalat, lingkungan yang jauh dari kata sehat, dan penghasilan tak seberapa.
"Kalau dibilang bahaya, ya memang. Soalnya kan yang diinjak ini bukan tanah tapi sampah. Kemarin longsor, terus tahun lalu kebakaran. Cuma kalau enggak mulung, ya enggak akan dapat uang," kata Sodikin.
Tak seperti mayoritas pekerja yang mendapatkan Tunjangan Hari Raya (THR) menjelang Idulfitri, pemulung sepertinya dan Suherman tak tahu rasanya dapat uang banyak. Bisa dapat penghasilan Rp50 ribu pun sudah sangat bersyukur.
"Ya ini nabung juga sedikit-sedikit buat baju anak, siapa yang enggak mau beliin segala macam buat keluarga. Cuma bisa seperti ini, sudah alhamdulillah. Disyukuri saja," kata Sodikin.
Pemulung Susah Diatur
Kepala UPTD Pengelolaan Sampah TPA/TPST Regional pada Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Jawa Barat, Arief Perdana mengatakan jumlah pemulung yang beraktivitas di TPA Sarimukti saat ini mencapai 620 orang.
"Ya setahun ini bertambah sekitar 40 orang tahun lalu cuma 580, sekarang ada 620 orang, kebanyakan orang luar. Kalau yang asli sini (Sarimukti), itu bandar-bandar rongsok yang ada di luar TPA Sarimukti," kata Arief.
Arief mengatakan pemulung yang bekerja di area TPA Sarimukti memang tak bisa dilarang. Buktinya saat kebakaran melanda setahun lalu, serta longsor sampah yang terjadi beberapa hari lalu.
"Sebetulnya berisiko tapi kan mereka juga tidak bisa dilarang. Kita mau membatasi, dan sebenarnya pembatasan bukan kita menghalangi mata pencaharian tapi untuk keamanan mereka sendiri," kata Arief.
Namun Arief mengatakan pihaknya tetap bakal melakukan penertiban terutama pada bangunan liar yang dibangun di atas gunungan sampah. Bangunan itu berfungsi sebagai tempat istirahat sementara para pemulung.
"Jadi sebetulnya mereka disini dengan menanggung resikonya sendiri. Jadi pimpinan mengizinkan pemulung di sini asal bisa ditertibkan. Itu akan upayakan bangunan tempat istirahat mereka di tumpukan sampah. Tapi aktivitas masih boleh," kata Arief.
(mso/mso)