Isu sengketa lahan di Dago Elos memuncak pada Senin malam (14/8/2023), terjadi bentrokan yang mencekam antara warga dan aparat. Permasalahan Dago Elos menjadi perbincangan masyarakat luas. Bantuan, dukungan, dan solidaritas bersama dibangun untuk Warga Dago Elos agar bisa bangkit kembali.
Salah satu inisiasi yang dilakukan oleh warga adalah ikut merayakan 17-an di ulang tahun Indonesia yang ke-78. Namun, ada yang berbeda dari perayaan "Hari Kemerdekaan" di Dago Elos dengan di tempat-tempat lainnya.
Mungkin kita sudah tidak asing dengan dekorasi serba merah-putih yang menghiasi setiap tempat bahkan hingga ke dalam gang-gang kecil pemukiman warga, hal tersebut sudah seperti sebuah tradisi tiap kali merayakan peringatan di mana Indonesia bisa terlepas dari belenggu kolonial.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tidak ada satu pun dekorasi dengan nuansa merah-putih di pelataran Balai RW II Dago Elos pada Kamis (17/8/2023), lagu-lagu nasional atau lagu berlirik kemerdekaan pun tidak terdengar. Yang ada ialah spanduk-spanduk yang bertebaran dengan nada-nada perlawanan dan bendera hitam "Dago Melawan" yang berkibar di setiap sudut area Balai RW.
Angga, Ketua Forum Dago Melawan mengatakan jika hal tersebut dilakukan sebagai bentuk ekspresi warga menyuarakan konflik yang selama ini terjadi di Dago Elos dan menjelaskan bahwa berbagai permasalahan yang terjadi melibatkan warga dan aparat menandakan situasi di negara Indonesia yang sejatinya masih jauh dari kata "Merdeka".
"Sekarang kita tidak mengibarkan bendera merah putih bukan karena kita tidak mengakui Indonesia dan lain sebagainya, tidak. Namun, kita ingin orang-orang pun tahu bahwa Indonesia itu tidak baik-baik saja," ujar Angga saat diwawancarai detikJabar.
Makna kemerdekaan tidak dirasakan oleh warga Dago Elos, terutama para orang tua yang setiap harinya merasakan kekhawatiran mendalam terhadap apa yang menimpa mereka terutama anak-anak. Salah satunya diungkapkan oleh Adel, Ibu rumah tangga yang sedang menemani anaknya mengikuti perlombaan 17-an.
"Kalau buat saya sih belum, belum merdeka. Jatuhnya jadi lebih berpihak ke yang punya uang ya. Kalau rakyat-rakyat menengah ke bawah kayaknya enggak dilirik deh mau itu benar, di mata mereka sih jadi dianggap sepele gitu,"Kata Adel.
Ia mengatakan anak-anak mengalami trauma dan merasakan ketakutan akibat dari peristiwa mencekam yang terjadi Senin malam lalu. Dampaknya, anak jadi memiliki ruang gerak yang terbatas, takut untuk pergi ke sekolah, takut untuk ke tempat-tempat tertentu, dan terutama takut dengan polisi.
Kejadian yang biasanya hanya Adel lihat di TV dan film-film mengenai ketegangan warga dan aparat tidak pernah terbayangkan akan dialami olehnya sendiri.
Hal serupa diungkapkan oleh warga lainnya. Tina, yang juga merupakan ibu rumah tangga. Anaknya takut untuk berpergian dan enggan untuk berangkat sekolah.
"Anak saya yang kecil yang segede gini juga sampai takut sampai trauma ga berani ke terminal lah gitu kalau misal di suruh apa, ga berani. Sampai ada yang belum masuk sekolah kan beberapa hari ini, enggak mau sekolah," ungkapnya.
Perayaan 17-an di Dago elos berlangsung dengan sederhana namun dimeriahkan oleh canda-tawa dan kegembiraan anak-anak. Perlombaan diisi mulai dari lomba makan kerupuk, memasukkan paku dalam botol, hingga mewarnai dengan harapan dapat memulihkan kembali suasana tegang yang sempat terjadi.
(yum/yum)