Selepas lulus SMA di akhir tahun 90'an, Dede langsung mengikuti jejak bapaknya menjadi tukang kiridit. Dia merantau ke Sumedang untuk membantu mengembangkan usaha keluarganya. "Awalnya membantu bapak terus merintis mencari langganan dan membuat jalur dagang yang baru. Teman-teman di kampung juga banyak, ada yang ke Jambi, Sulawesi ke banyak daerah. Kalau saya ke Sumedang," kata Dede.
Selama lebih dari 7 tahun dia menekuni bisnis itu dengan segala tantangannya. "Kalau bicara manisnya memang menguntungkan, misalnya barang harga Rp 15 ribu, kita jual Rp 30 ribu, paling kalau pembelinya cerewet nawar terus Rp 25 ribu. Jadi rata-rata 2 kali lipat dari modal," kata Dede.
Keuntungan berlipat itu yang menjadi motivasi bagi dia menekuni profesi tukang kiridit. "Ya iya ingin sukses, di kampung kan sudah banyak contoh suksesnya. Bisa membangun rumah, beli sawah, mapanlah jadi bos kiridit" kata Dede.
Namun dalam prakteknya, Dede mengatakan tantangannya cukup banyak. Hal ini berkaitan dengan manajemen pelanggan dan risiko kredit macet.
"Jadi kalau kita "ngabarangan" (barang terjual) 500, sebanyak 100 sampai 200 pasti ada saja yang macet. Apalagi kalau kita baru masuk, belum mengenal pelanggan, kadang-kadang jangankan untung, modalnya pun nggak ketarik," kata Dede.
Menurut dia mengelola langganan ini menjadi salah satu tantangan terbesar dalam bisnis tukang kiridit. Ketika sudah berhasil membentuk komunitas pelanggan yang besar dan bagus dalam cicilan, Dede memastikan seorang tukang kiridit akan sukses. "Seperti bapak saya dulu, dia kan sudah punya langganan banyak dan jujur, alhamdulillah sukses. Ya minimal bisa membesarkan saya lah," kata Dede.
Dede sendiri ketika sudah 5 tahun berjalan ternyata dihadapkan pada persaingan. Konsumen banyak yang berpaling dan lebih memilih kredit uang. Di awal tahun 2000-an menurut dia, jasa pinjam uang semakin marak.
"Kalau yang saya alami pesaing itu adalah Kosipa (koperasi simpan pinjam) yang mulai merangsek ke perkampungan. Pelanggan banyak yang lebih memilih kredit uangnya saja. Rontok langganan," kata Dede.
Rentenir berkedok koperasi itu menurut dia lebih digandrungi karena dengan meminjam uang, pelanggan bisa sambil jalan-jalan ke pasar. Proses peminjaman uang pun sama praktisnya dengan kredit barang di tukang kiridit.
"Memang tidak semua pelanggan begitu, masih banyak pelanggan yang taat pada aturan agama. Kan kalau pinjam uang berbunga riba, beda kan hukumnya sama kredit barang," kata Dede.
Tantangan para tukang kiridit di masa-masa awal tahun 2000-an tak hanya itu, perkembangan kehidupan sosial, ekonomi dan teknologi juga turut berpengaruh.
Hal ini ditandai dengan perubahan kebutuhan pasar, pelanggan banyak yang ingin penanak nasi elektronik, kulkas, televisi dan lain-lain.
"Jadi ngiriditkeun baskom, panci dan sejenisnya sudah tak laku. Pelanggan minta magicom, kulkas, dispenser, ponsel dan lain-lain. Sementara modal kita terbatas, belum lagi memikirkan risiko, semakin goyanglah usaha kita," kata Dede.
Situasi itu seakan menjadi seleksi alam yang tak bisa dihindarkan. Tak heran banyak tukang kiridit bermodal pas-pasan gulung tikar. "Sempat saya juga bertahan dengan jualan kosmetik, tapi akhirnya tumbang juga. Tahun 2010 akhirnya pulang kampung jadi juru parkir," kata Dede.
Meski dipandang sudah tak lagi menjanjikan, namun masih ada segelintir warga Sariwangi Tasikmalaya yang masih bertahan menekuni usaha tukang kiridit. "Yang bertahan masih ada, di kampung saya ada seorang. Nah sekarang dia tantangannya dari aplikasi (marketplace) kan ada pay later," kata Dede.
Sementara itu Euis Mardiani (62) warga Sariwangi Kabupaten Tasikmalaya mengaku terkenang dengan tukang kiridit zaman dulu yang berkeliling membawa aneka macam dagangan.
"Mungkin dulu mah ekonomi kita sulit, jadi untuk sekedar beli minyak goreng pun sampai harus kredit. Bukan minyak sawit, tapi minyak kletik atau minyak kelapa. Ya kalau barang seperti panci, baju dan lain-lain sudah pasti," kata Euis yang pernah puluhan tahun tinggal di Kota Bandung.
"Dulu waktu tinggal di Bandung, jadi terasa banyak saudara karena hampir semua tukang kiridit satu kampung halaman, sama-sama dari Tasik," kata Euis.
Dia mengatakan sekarang pun di Tasikmalaya masih ada tukang kiridit yang berkeliling menawarkan kebutuhan. Namun cara berjualannya berbeda, mereka tak lagi berkeliling membawa aneka barang dagangan.
"Kalau sekarang sesuai pesanan saja, jadi berkeliling ke langganannya hanya bawa catatan. Kalau ada yang pesan baru barang dikirim, baru ditagih setiap minggu atau setiap hari. Misalnya butuh magicom, dia cukup memperlihatkan fotonya saja," kata Euis.
Bahkan tak hanya kebutuhan rumah tangga saja, tukang kiridit zaman sekarang bahkan melayani pembelian bahan bangunan. "Misalnya lagi membangun rumah butuh semen, cat atau apa pun bisa dilayani," kata Euis. (yum/yum)