Asep Yadi Setiawan menyeruput segelas kopi susu yang tersaji di meja, ingatannya menerawang seraya menceritakan saat sepak terjangnya saat memilih berhenti alias resign sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Yadi mengawali karirnya sebagai PNS sekitar 20 tahun yang lalu, saat masih di kampus namun sudah ikatan dinas, dari STPDN sejak jadi praja atau istilahnya tingkat 2 sudah jadi PNS golongan 2.
"Penempatan di Subang, tugas belajar lagi, ambil S2 pindah ke Sukabumi, pertama orang tua sudah pada uzur, kemudian berpikir ingin mengabdi di tanah leluhur sendiri, akhirnya pulang ke sini (Sukabumi)," kata Yadi mengawali ceritanya kepada detikJabar, Jumat (23/6/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai jiwa muda yang masih bergejolak, Yadi muda berpikir dengan seragam PNS dia bisa dengan mudah mengangkat isu-isu strategis wilayahnya. Ia berpikir bisa mengkolaborasikan setiap persoalan yang muncul.
"Pindah dari Subang, waktu itu ke sini berjalan sampai tahun 2014 itu, sebenarnya secara umum dari kaidah umum azas penyelenggaraan pemerintahan dan budaya penyelenggaraan negara saya memaklumi, apapun budaya organisasi baik di kabupaten, provinsi hingga level nasional, namanya budaya birokrasi dan tata kelola pemerintahan seperti itu artinya permakluman," ungkap Yadi, saat itu dia berpikir ternyata yang dia temukan di pemerintahan tidak semulus apa yang dia pikirkan.
Yadi banyak mengangkat isu-isu lingkungan, penempatan saat itu dia bertugas di Dinas Pariwisata. Isu lingkungan dikatakan Yadi, sudah menyangkut prinsip bagi dirinya. Namun sayang saat itu banyak tembok-tembok kepentingan yang rapat menahannya untuk bersuara lantang.
"Satu hal yang prinisipal bagi saya waktu itu menyangkut isu lingkungan hidup. Bagi saya ada lebihnya kalau ada bersentuhan dengan isu lingkungan hidup ini ibaratnya masuknya ke ranah iman begitu," imbuhhya.
"Jadi saya di situ kalau dibilang idealis ya sok idealislah, pada saat itu malahan sempat ditanya ketika berhadapan dengan isu lingkungan itu, kamu ini PNS atau LSM katanya begitu kan. Saya jawab kalau sudah bicara lingkungan hidup saya tidak dimana-mana, apakah saya ASN, LSM, atau wartawan atau masyarakat biasa," sambung Yadi.
![]() |
Suara-suara sumbang Yadi terus menggema, ia menggeliat dengan berbagai tindakan soal isu lingkungan di Kabupaten Sukabumi. Sayangnya Yadi tidak menyebut pihak dan persoalan yang saat itu ia kritisi.
"Intinya sekali saya bicara lingkungan hidup itu prinsip. Saya mengajar di salah satu sekolah tinggi, juga banyak berkolaborasi dengan anak-anak mahasiswa berkolaborasi dengan pegiat lingkungan nasional bahkan dunia. Ada banyak isu strategis lingkungan dengan kebijakan yang harus diproteksi, ini sistem kekuasaan, adakalanya bersentuhan dengan hal politis," cerita Yadi.
Hingga suatu ketika, Yadi yang bertugas di Dinas Pariwisata dipindah ke Badan Lingkungan Hidup (BLH) yang kini menjadi Dinas Lingkungan Hidup.
"Saya saat di Dinas Pariwisata itu sering bersurat secara intern kasih advokasi ke bupati ke pimpinan daerah, ke BLH, pada saat itu publik enggak tahu. Tetapi jarang ditanggapi. Sampai ada yang menganggap jangan-jangan kamu cuma mau ke BLH aja," tutur Yadi.
Karena tak kunjung mendapat tanggapan, Yadi kemudian banyak melempar isu-isu lingkungan ke awak media. Sejumlah kasus lingkungan mencuat kepermukaan, sampai akhirnya ketahuan isu-isu itu sengaja dilempar olehnya.
"Sering ngobrol dengan teman-teman wartawan, sering lempar isu namun akhirnya ketahuan subjek meter dari saya akhirnya saya dipanggil. Kemudian dipindahkan ke BLH, tahun 2012-ditempatkan di tempat yang sering saya kritik, saya ditempatkan sebagai Kasi Penaatan Lingkungan," ujarnya.
Bertugas sebagai Kasi, Yadi-pun berlari. Dalam 4 bulan sudah membuat Perda yang berisi penanganan pengaduan soal lingkungan. Ia membuka ruang masyarakat secara terbuka untuk mengadu, membuka ruang agar pemerintah melakukan teguran kepada pihak yang terlibat pencemaran lingkungan.
"DLH saya ajak lari dalam 4 bulan membuat perda SOP penanganan pengaduan. Ramai isu lingkungan kalau pemerintah inisiatif melakukan teguran kepada pihak yang melakukan pencemaran lingkungan. Jadi saya pantik ke teman, ke warga mengajukan menyampaikan laporan pengaduan. Sampai waktu itu menyeruak isu-isu lingkungan ramai, begitu," kata Yadi.
Dikatakan Yadi, saat itu yang tadinya sesuatu yang haram untuk disentuh ia sentuh. "Saat itu bisa dibilang masih baru kebijakan semacam itu, tembok-tembok keras yang tadinya mungkin pemerintah agak sungkan, siapa yang bisa tembus ke tembok-tembok Objek Vital Nasional (Obvitnas) ya kita tembus," ungkapnya.
Yadi mengatakan saat itu dia tidak melebihi kewenangananya sebagai PNS dan tugasnya. Ia masih dalam koridor kewenangannya sebagai Kasi Penaatan Lingkungan.
"Saat itu sebenarnya formal, tidak lepas dari azas pemerintahan dan tata lingkungan, sebenarnya. Saat bersamaan saya mengerti bahwa disini ada ranah hukum dalam pendekatannya," kata Yadi.
Yadi sempat diinterogasi, namun bekal ilmu politik dan pengetahuan soal hukum pihak yang mendebat Yadi kalah langkah. Yadi akhirnya ditekan secara kekuasaan dan politis.
"Ketika argumen kalah, pendekatan kekuasaan, kekuasaan juga apalagi berhadapan dengan perusahaan besar berhadapan dengan politik, dengan uang dengan kekuasaan. Jujur saja tidak suka dengan tekanan berlebihan, akhirnya saya memilih jalan sunyi memperjuangkan hak-hak lingkungan saya resign di tahun 2014," ujar Yadi.
Yadi saat ini memilih bekerja sebagai pengusaha kuliner, ia lebih bebas menjalani syahwatnya untuk perjuangan lingkungan di komunitas lingkungan Lingkar Hijau dan Yayasan Bumi Waluya Jati.
"Memang sulit awalnya, namun ketika sudah menyangkut lingkungan itu adalah prinsip. Saya bergerak bersama-sama dengan teman-teman memperjuangkan lingkungan. Sedikit bebas karena tanpa kekangan, saya kurang suka ditekan secara kekuasaan dan politis," pungkasnya.
(sya/yum)