Masjid Agung Sumedang menjadi salah satu bangunan cagar budaya yang masih berdiri kokoh hingga kini.
Masjid yang dibangun pada masa Hindia Belanda atau pada tahun 1850 hingga 1854 ini, kekokohannya bahkan pernah teruji oleh gempa dahsyat yang melanda Sumedang pada sekitar tahun 1955.
Dahsyatnya guncangan gempa kala itu telah menyedot perhatian surat kabar miliknya Belanda. Seperti yang ditulis oleh Algemen Dagblad berjudul Ernstige Aardbeving op West (Gempa Parah Terjadi di Barat) yang terbit pada Selasa, 16 Agustus 1955.
Di sana tertulis bahwa serangkaian gempa bumi terjadi sebanyak 10 kali di Sumedang. Dari rentetan gempa itu, getaran gempa pertama dirasakan pada Minggu sekitar pukul 10.30 WIB. Sementara getaran terakhir dirasakan pada keesokan harinya atau Senin pagi sekitar pukul 09.00 WIB.
Akibat gempa itu, sedikitnya 200 bangunan hancur atau rusak. Di sana juga disebutkan bahwa penduduk Sumedang kala itu berjumlah 12.400 jiwa.
Kabar serupa diberitakan oleh surat kabar Het Vrije Volk yang juga terbit pada Selasa 16 Agustus 1955. Judulnya berbunyi Aardbeving op JAVA atau Gempa Bumi di Jawa.
Data terkait kerusakan bangunan disebutkan sedikit detail dalam pemberitaannya. Di sana tertulis bahwa sedikitnya ada sebanyak 38 bangunan mengalami kerusakan total.
Sementara 133 bangunan termasuk kantor bupati, masjid dan kantor komandan militer ada yang mengalami retakan. Meski demikian, disebutkan bahwa tidak ada korban jiwa dalam peristiwa tersebut.
Di lansir dari berbagai sumber, Masjid Agung Sumedang kala itu hanya mengalami sebagian kecil kerusakan. Adapun bangunannya tetap berdiri kokoh.
Padahal gempa kala itu telah memporak porandakan tribun Pacuan Kuda di Sindangraja serta merobohkan benteng Gedung Negara yang tidak jauh dari lokasi Masjid.
Salah satu saksi terkait peristiwa gempa tersebut adalah Rokayah yang lahir pada 1927 atau kini telah berusia 95 tahun. Ia merupakan warga Kelurahan Regol Wetan, Kecamatan Sumedang Selatan. Ingatannya masih cukup kuat untuk mengingat bagaimana dahsyatnya gempa kala itu.
"Akibat gempa saat itu, lantai rumah warga banyak yang sampai terangkat dan banyak rumah yang rusak akibat guncangan gempanya yang begitu besar," ungkap Rokayah saat diwawancara detikJabar beberapa waktu lalu.
Ia bersama keluarganya yang kala itu tengah berada di dalam rumah, seketika langsung berhamburan keluar. Begitu pun dengan warga lainnya.
"Warga saat itu langsung pada diam di luar rumah karena trauma akibat gempa yang dirasakan besar sekali," terangnya yang kala itu bersama suaminya telah dikaruniai empat orang anak.
Menurutmya, gempa 1955 menjadi gempa paling besar yang pernah dirasakan sepanjang hidup dan tinggal di Sumedang.
"Belum ada gempa sebesar itu selama emak tinggal diSumedang,"ucapnya.
(mso/mso)