Kokohnya Masjid Agung Sumedang yang Sempat Digoyang Gempa Dahsyat 1955

Kokohnya Masjid Agung Sumedang yang Sempat Digoyang Gempa Dahsyat 1955

Nur Azis - detikJabar
Sabtu, 25 Mar 2023 14:00 WIB
Bagian dalam Masjid Agung Sumedang.
Bagian dalam Masjid Agung Sumedang (Foto: Nur Azis/detikJabar).
Sumedang -

Masjid Agung Sumedang menjadi salah satu bangunan cagar budaya yang masih berdiri kokoh hingga kini.

Masjid yang dibangun pada masa Hindia Belanda atau pada tahun 1850 hingga 1854 ini, kekokohannya bahkan pernah teruji oleh gempa dahsyat yang melanda Sumedang pada sekitar tahun 1955.

Dahsyatnya guncangan gempa kala itu telah menyedot perhatian surat kabar miliknya Belanda. Seperti yang ditulis oleh Algemen Dagblad berjudul Ernstige Aardbeving op West (Gempa Parah Terjadi di Barat) yang terbit pada Selasa, 16 Agustus 1955.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di sana tertulis bahwa serangkaian gempa bumi terjadi sebanyak 10 kali di Sumedang. Dari rentetan gempa itu, getaran gempa pertama dirasakan pada Minggu sekitar pukul 10.30 WIB. Sementara getaran terakhir dirasakan pada keesokan harinya atau Senin pagi sekitar pukul 09.00 WIB.

Akibat gempa itu, sedikitnya 200 bangunan hancur atau rusak. Di sana juga disebutkan bahwa penduduk Sumedang kala itu berjumlah 12.400 jiwa.

ADVERTISEMENT

Kabar serupa diberitakan oleh surat kabar Het Vrije Volk yang juga terbit pada Selasa 16 Agustus 1955. Judulnya berbunyi Aardbeving op JAVA atau Gempa Bumi di Jawa.

Data terkait kerusakan bangunan disebutkan sedikit detail dalam pemberitaannya. Di sana tertulis bahwa sedikitnya ada sebanyak 38 bangunan mengalami kerusakan total.

Sementara 133 bangunan termasuk kantor bupati, masjid dan kantor komandan militer ada yang mengalami retakan. Meski demikian, disebutkan bahwa tidak ada korban jiwa dalam peristiwa tersebut.

Di lansir dari berbagai sumber, Masjid Agung Sumedang kala itu hanya mengalami sebagian kecil kerusakan. Adapun bangunannya tetap berdiri kokoh.

Padahal gempa kala itu telah memporak porandakan tribun Pacuan Kuda di Sindangraja serta merobohkan benteng Gedung Negara yang tidak jauh dari lokasi Masjid.

Salah satu saksi terkait peristiwa gempa tersebut adalah Rokayah yang lahir pada 1927 atau kini telah berusia 95 tahun. Ia merupakan warga Kelurahan Regol Wetan, Kecamatan Sumedang Selatan. Ingatannya masih cukup kuat untuk mengingat bagaimana dahsyatnya gempa kala itu.

"Akibat gempa saat itu, lantai rumah warga banyak yang sampai terangkat dan banyak rumah yang rusak akibat guncangan gempanya yang begitu besar," ungkap Rokayah saat diwawancara detikJabar beberapa waktu lalu.

Ia bersama keluarganya yang kala itu tengah berada di dalam rumah, seketika langsung berhamburan keluar. Begitu pun dengan warga lainnya.

"Warga saat itu langsung pada diam di luar rumah karena trauma akibat gempa yang dirasakan besar sekali," terangnya yang kala itu bersama suaminya telah dikaruniai empat orang anak.

Menurutmya, gempa 1955 menjadi gempa paling besar yang pernah dirasakan sepanjang hidup dan tinggal di Sumedang.

"Belum ada gempa sebesar itu selama emak tinggal diSumedang,"ucapnya.

Mengenal Kekokohan Arsitektur Masjid Agung Sumedang

Dikutip dari Annisha Ayuningdiah, Pengaruh Belanda dalam Arsitektur Masjid Agung di Priangan 1800 - 1942 (IPLBI, 2017) menyebutkan, bahwa bangunan Masjid Agung Sumedang dipengaruhi oleh gaya arsitektur Cina. Gaya arsitektur itu berasal dari para pengembara Tionghoa yang datang ke Sumedang dan mereka turut membantu saat pembangunan masjid.

Itu dapat terlihat dari bentuk atapnya yang bersusun tiga menyerupai bentuk pagoda. Selain itu, relief-relief ukiran yang menghiasi bangunan masjid yang bercorakan gaya-gaya Cina.

Sementara untuk arsitektur yang terpengaruh oleh Belanda tampak pada bentukan kolom-kolomnya yang merupakan kolom Yunani. Kemudian, ukuran jendela yang besar dengan ujung setengah lingkaran yang juga merupakan khas zaman Belanda.

Jika dilihat ke dalam bangunan masjid, gaya arsiterktur Belanda akan tampak terlihat jelas dari 12 tiang besar yang menyangga seluruh beban dari bangunan masjid tersebut.

Wakil Ketua 1 DKM Masjid Agung Sumedang Endang Hasanuddin memaparkan, seperti yang terlihat pada tulisan yang terpampang pada salah satu relief jendela masjid, di sana tampak bahwa Masjid Agung Sumedang dibangun pada 4 Rajab 1267 / 3 Juni 1850 sampai 8 Ramadan 1870 / 5 Juni 1854.

"Masjid Agung sendiri dulunya berada di sekitar SD Sukaraja namun karena tidak terlalu luas dan kemudian ada yang mewakafkan tanah di sini (sekitar Alun-alun Sumedang) dari Raden Dewi Aisyah maka pindah ke sini," ungkap Endang kepada detikJabar belum lama ini.

Endang menjelaskan, kondisi tanah di bangunan Masjid Agung yang sekarang berdiri, kala itu permukaannya tidak rata. Lalu kemudian mengambil tanah dari lahan di belakang Gedung Negara.

"Itu kenapa tanah di belakang Gedung Negara sekarang menjadi empang ikan karena tanahnya digunakan untuk meratakan permukaan tanah di Masjid Agung yang sekarang berdiri," terangnya.

Endang menyebut, keaslian bangunan Masjid Agung Sumedang masih terjaga hingga kini. Itu bisa dilihat dari bentuk bangunan secara keseluruhan seperti pada bagian atap serta bagian mahkotanya. Kemudian, dua belas tiang penyangga di dalam masjid, bentuk jendela dan pintu serta relief-relief yang menghiasinya dan bagian lainnya.

"Adapun penambahan bangunan lainnya atau bangunan baru di antaranya bangunan tempat wudu, bangunan kios serba ada, menara masjid untuk kumandang azan, serta sebagian dari bagian serambi masjid," paparnya.

Endang menuturkan, kekuatan Masjid Agung Sumedang dengan 12 tiang penyangga besarnya ini, pernah teruji oleh gempa dahsyat yang melanda Sumedang pada saat dulu kala.

"Dulu katanya pernah ada gempa besar di Sumedang. Saat pacuan kuda rusak dan Gedung Negara pun ada yang rusak tapi Masjid Agung Sumedang tetap berdiri kokoh," tuturnya.

Halaman 2 dari 2
(mso/mso)


Hide Ads