Jalan sepanjang kurang lebih 47 kilometer membentang dan menghubungkan Kecamatan Cibadak menuju Ibu Kota Kabupaten Sukabumi di Palabuhanratu. Usia jalan itu cukup tua, hingga menyimpan banyak catatan sejarah di dalamnya.
Di balik mulusnya kondisi jalan saat ini, ada kisah yang menyimpan catatan kelam dengan noda darah dan air mata di balik proses pembangunannya di masa silam, seperti apa?
"Pembangunan jalan secara agak modern dilakukan pada tahun 1881 pada masa asisten residen O.A Burnaby Lautier, yang menjabat asisten Residen Afdeling Sukabumi, Regentschap Cianjur, Residensi Priangan masa residen Priangan J.M Van Vleuten. Pembangunan jalan sendiri dilakukan seiring pembangunan jalan kereta api Cianjur Sukabumi yang mulai pembangunan awal ke arah Cicurug," kata Irman Firmansyah, penulis buku Soekaboemi The Untold Story kepada detikJabar, belum lama ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kala itu, Burnaby melihat ini sebagai kesempatan untuk menghubungkan Palabuhanratu dengan dunia luar yang diawali dengan jalan yang layak yang bisa dilalui kereta kuda dan gerobak menuju Stasiun Cibadak. Jalan yang dibangun tidaklah pendek, tapi sepanjang 22 pos (pos pemberhentian kuda) mulai dari Cibadak hingga Palabuhanratu selebar 10-12 kaki.
"Lagi-lagi proses pembangunannya menyisakan luka pada masyarakat, hal ini terungkap beberapa tahun kemudian, saat Burnaby sudah menjabat sebagai asisten Residen di Bogor. Tahun 1884 Burnaby dipindah ke Bogor dan membuat masalah dengan pemiik lahan Ciomas sehingga muncul banyak protes dan tentangan," ujar Irman yang juga Ketua Yayasan Dapuran Kipahare tersebut.
"Salah satu penentangnya adalah C.H.F Riesz yang juga penulis agrarian dan sejarah. Riesz kemudian mengungkap beberapa fakta tentang kekejaman Burnaby saat melakukan pembangunan jalan Cibadak Palabuhanratu. Jalan yang dia sebut hanya sekelas jalan kerbau itu ternyata menyisakan pahit dan duka bagi masyarakat Sukabumi," tambah Irman.
Baca juga: Nasib Tragis Badak Terakhir di Bandung |
Proses pembangunan jalan dilakukan dengan membawa ratusan orang selama beberapa bulan untuk melakukan pembangunan. Yang dipersoalkan adalah banyak tanah, sawah, maupun lahan lainnya diambil begitu saja dengan dalih pembangunan.
"Tak sedikit masyarakat menjerit karena ladangnya tiba-tiba diduduki dan harus pergi, bahkan rumahnya jika masuk ke badan jalan yang sedang dibangun. Mereka tidak pernah diberi ganti rugi sama sekali sehingga masyarakat terutama ibu-ibu dan anak-anak, banyak yang akhirnya mengungsi ke wilayah lain," tutur Irman.
Irman berkisah, kegetiran dan tangis juga dirasakan saat pria dewasa disuruh bekerja tanpa dibayar alias kerja paksa (kerja rodi). Masyarakat tidak hanya dari sekitar jalan yang diminta kerja paksa, tetapi dari beberapa daerah di Sukabumi dengan bantuan para Wedana.
"Hasilnya memang luar biasa, jalan yang awalnya menjadi jalur kerbau penarik gerobak kopi, maupun kerbau liar yang dijual dari daerah Jampang, menjadi jalan yang sudah cukup nyaman dilalui oleh kereta kuda penarik penumpang manusia. Bahkan di beberapa lokasi dilengkapi lampu jalan menggunakan bensin," ungkap Irman.
![]() |
Namun pembangunan itu menimbulkan korban jiwa cukup banyak, para pekerja banyak yang kelelahan dan sakit, sebagian menderita kelaparan karena kurangnya makanan yang layak. Bahkan Sebagian lagi meninggal dan diletakan begitu saja di pinggir jalan.
"Dari situ para pekerja yang tewas dibawa ke rumahnya masing-masing dengan gerobak di sekitar Ardenburg (sekarang antara Cibadak-Parungkuda), Ciheulang, Cimahi dan Sukabumi. Ironisnya Burnaby merayakan selesainya proyek pembangunan jalan dengan membawa para wanita menggunakan kereta kuda ke Palabuhanratu dan berpesta meriah disana," tutur Irman.
Meskipun dikenal karena perilakunya yang buruk namun Burnaby tetap saja karirnya melesat, bahkan dia menjadi asisten Residen Bogor dan kemudian menjadi Residen Bali dan Lombok. Atas dukungan pemerintah, Burnaby sendiri tetap tak terjamah secara hukum karena banyak yang membelanya sehingga tidak pernah dihukum atas perilakunya.
Baca juga: Kisah Dramatis Si Badak Terakhir Tasikmalaya |
"Landasan jalan Cibadak Palabuhanratu kemudian dibalas batu dan sempat dilalui oleh AG Voderman tahun 1885 dan Frans Bernard tahun 1895 dengan kereta kuda. Perjalanannya bisa berlangsung 3-5 jam karena jalurnya berikut dan naik turun. Pemerintah tak mampu meratakan bukit hanya mengitari bukit yang ada, yang konturnya cukup terjal mulai dari Cicareuh hingga Palabuhanratu," kisahnya.
Jalur kereta sempat diusulkan dibangun ke Palabuhanratu oleh Eekhout pada tahun 1892, namun karena penolakan pihak militer akhirnya jalur ini tidak sempat dibuat. Tahun 1897 perbaikan serta pengerasan jaan dilakukan Kembali serta perawatan yang lebih baik dilakukan melalui tanggungjawab para kepala distrik.
"Hingga Indonesia merdeka jalur ini masih menjadi jalur utama dari Ibukota menuju Palabuhanratu selain jalur alternatif lainnya. Kini kita hanya tinggal menikmati jalan yang awalnya dibangun oleh darah para pekerja paksa para leluhur kita dahulu," pungkasnya.