Wilayah Tasikmalaya menjadi saksi sejarah keberadaan atau populasi Badak Jawa (Rhinocerus sondaicus) di Indonesia. Jejak sejarahnya diabadikan di Museum Zoologicum Bogoriense-LIPI (MZB-LIPI) Bogor, Jawa Barat.
Salah satu koleksi museum itu adalah spesimen badak cula satu seberat 2,280 kilogram. Koleksi itu diberi nama "Badak Terakhir di Priangan".
Di sisi lain, jejak keberadaan badak di wilayah Tasikmalaya atau Priangan Timur itu diabadikan menjadi nama sejumlah kampung. Satu yang paling populer adalah Kampung Badak Paeh di Desa Cipakat, Kecamatan Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya. Badak paeh adalah bahasa Sunda yang berarti badak mati.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain Kampung Badak Paeh, banyak pula nama kampung yang berunsur kata badak, seperti Cibadak, Pasir Badak, dan lainnya. Bahkan di Kecamatan Cisayong ada air terjun bernama Curug Badak.
Merujuk catatan sejarah, kisah badak terakhir di Tasikmalaya itu cukup dramatis yang terjadi pada dekade 1930-an. Dikutip dari laman Rhino Resource Center, pada awalnya si Badak Terakhir di Priangan itu hidup bersama pasangannya seekor badak betina di perbukitan daerah Kecamatan Karangnunggal Tasikmalaya.
Pada tahun 1914, badak betina mati ditembak pemburu gelap. Pada masa itu badak dianggap hewan hama perusak ladang. Bahkan Pemerintah Belanda di abad 18 membuat sayembara berhadiah bagi warga yang bisa memburu badak.
Selain itu cula badak juga menjadi daya tarik atau dianggap bernilai, sehingga tak heran badak menjadi sasaran perburuan liar. Populasi badak akhirnya habis, karena mamalia yang satu ini reproduksinya lambat, satu induk hanya punya satu anak.
![]() |
Alhasil si Badak Terakhir di Priangan itu hidup sendiri, berkelana di perbukitan wilayah pesisir selatan Tasikmalaya. Akhirnya pada 31 Januari 1934, petugas Museum Zoologi Bogor yang saat itu masih dikelola Belanda, memutuskan memburunya.
Langkah ini diambil agar si Badak Terakhir di Priangan ini tidak mati di tangan pemburu liar. Ketimbang hilang digondol pemburu liar, petugas museum memburu dan membinasakannya dengan dalih demi kepentingan ilmu pengetahuan. Pertimbangan lain kondisi badak itu sudah uzur sehingga dianggap tak mampu lagi bertahan di alam liar.
Sebutir peluru kaliber 9,3 milimeter yang dimuntahkan senapan Mauser akhirnya merobohkan badak itu ketika sedang berada di sekitar pesisir Sindangkerta Kabupaten Tasikmalaya. Kemudian badak itu dijadikan koleksi museum zoologi Bogor.
Foto dokumentasi perburuan si Badak Terakhir dari Priangan itu, sampai sekarang masih bisa dilihat. Terlihat seorang warga Belanda dan warga lokal berpose di belakang bangkai badak dengan bobot lebih dari 2 ton tersebut. Terlihat pula sepucuk senapan disandarkan di badan badak.
Terkait nama Kampung Badak Paeh sendiri, memang lokasinya jauh dari tempat si Badak Terakhir di Priangan dibinasakan. Kampung Badak Paeh berada di Singaparna atau di sekitar pusat pemerintah Kabupaten Tasikmalaya, sementara Sindangkerta adalah wilayah kecamatan di pesisir selatan Tasikmalaya.
Sejauh ini belum didapat informasi apakah penamaan Kampung Badak Paeh itu berkaitan dengan matinya si Badak Terakhir Priangan, atau badak lain penghuni wilayah Priangan Timur.
(orb/orb)