Pilu masih menyelimuti warga Kampung Citaman, Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang. Setelah rumahnya diratakan excavator saat proses eksekusi lahan Tol Jakarta-Cikampek II Selatan pada Senin (30/1/2023) lalu.
Derita itu dialami Adeng (51), salah satu pemilik lahan yang rumahnya hancur setelah proses eksekusi lahan. Tanah 341 meter serta rumah permanen berukuran 160 meter miliknya kini tinggal puing. Namun ia belum memiliki tempat tinggal.
"Saya belum punya tempat tinggal. Rumah ini sudah hancur, sementara istri saya nginap di rumah orang tua di Cibiuk. Kalau saya masih di sini numpang tidur ke Mesjid," ujar Adeng saat ditemui tengah memungut serpihan besi di reruntuhan rumahnya, Rabu (1/2/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia bercerita, lahan yang dimilikinya seluas 341 meter, hanya dibayar seharga Rp200 ribu per meter, sejak tawaran pertama pihak Jasa Marga pada tahun 2019 lalu. Ia dan warga lain menolak menjual, namun rumahnya tetap dihancurkan.
"Sampai detik ini saya belum mau nerima uang itu. Tanah saya cuma dibayar Rp 200 ribu (per meter), rumah saya segini gedenya hanya dibayar Rp 20 juta. Padahal hampir 17 tahun saya nyicil membangun rumah ini," kata dia.
Adeng sudah mendiami lahan tersebut selama hampir 20 tahun, pada awal 1989 ia mulai menyicil membangun rumah yang ditempatinya itu. Karena keterbatasan penghasilan rumah yang Adeng bangun baru rampung pada akhir 2006, namun sayangnya, kini rumah itu kembali menjadi puing-puing.
"Sakit hati saya, 17 tahun saya nyicil mulai dari pondasi, dinding, sampai rapih itu baru selsai 2006 saya diami rumah ini hasil jerih payah saya baru ditempati 16 tahun, sekarang kenapa dihancurkan," ucap Adeng dengan nada tersedu menahan tangis.
![]() |
Adeng merupakan salah satu keluarga dari 46 kepala keluarga (KK), yang masih bertahan tidak mau menerima pembayaran lahan Tol Japek II Selatan. Karena harga yang ditawarkan tidak masuk akal baginya.
"Sekarang harga tanah di Kampung mertua saya di Cibiuk (wilayah terdalam di sekitar Kampung Citaman), sudah Rp400 ribu permeter, di sini yang deket jalan dibayar Rp200 ribu, mau beli tanah dimana saya dengan uang segitu. Belum lagi rumah saya yang awal membangun sampai tuntas itu mencapai ratusan juta, cuma diganti Rp20 juta, nurani mereka di mana?" paparnya.
Kini Adeng hanya bisa pasrah memungut sisa besi di reruntuhan rumahnya, berharap bisa dijual untuk menambah uang belanja keluarganya. Sebab sejak dieksekusi dua hari lalu, ia belum bisa kembali bekerja.
"Hanya ini mungkin yang bisa dijual, sisa-sisa besi, karena semua hancur. Genteng, kayu, bata, padahal gak harus dihancurkan, kita bisa bongkar sendiri biar bisa dipakai ulang," ucapnya.
Adeng berharap, pemerintah bisa bersimpati dan bertindak menangani masalah yang tengah dialaminya saat ini. Sebab ia hanya rakyat kecil yang tak punya banyak cara untuk memperbaiki nasibnya.
"Lihat kami sekarang, ya jangan diam lah. Kami juga yang memilih kalian sampai jadi pejabat, hewan juga perlu kandang, kami ini manusia, tolong kami. Bagaimana nasib kami," pungkasnya.
Diktehaui, saat proses eksekusi dilakukan, Bupati Karawang sebagai pucuk pimpinan pemerintah daerah juga tak hadir dalam proses eksekusi. Di sana hanya terdapat petugas kemanan (TNI-Polri), serta Camat, dan Satpol PP mengawal proses eksekusi.
Terpisah Koordinator Warga Citaman, Didin Muhidin mengatakan, ketidakhadiran Bupati disebut sudah dikonfirmasi sebelum proses eksekusi dimulai.
"Malamnya sebelum eksekusi saya dipanggil beliau untuk menghadap di salah satu hotel, kami diminta beliau untuk bersikap kondusif," ujar Didin, saat dihubungi detikJabar.
Selain itu, kata Didin, Bupati juga menjanjikan akan membangunkan rumah tinggal layak huni (Rutilahu), untuk semua korban eksekusi lahan Tol Japek Selatan.
"Saya disuruh menghadap, malam itu dibilang, udahlah Kang Didin, mending kondusif aja, nanti saya kasih Rutilahu semua. Itu kata Bupati, padahal gak begitu aturanya," ucap Didin.
Didin menuturkan bahwa setiap pembangunan Rutilahu dari pemerintah harus diberikan sesuai aturan, yang salah satunya aturannya adalah masyarakat miskin yang memiliki lahan. Berbeda dengan korban eksekusi yang mayoritas belum memiliki lahan karena tak mau menerima pembayaran.
"Emang semudah itu ngasih Rutilahu, kita aja semua belum ada yang punya lahan, karena gak terima harga pembayaran lahan disini. Kita gak bisa dibodoh-bodohin," pungkasnya.
(yum/yum)