Senang dan banyak teman. Itulah kalimat yang terlontar dari Pandu, salah satu murid dari 30 anak yang menuntut ilmu agama di Madrasah Darul Amana, Kabupaten Bandung Barat.
Semangat Pandu itu, menular pada teman-temannya yang lain. Saban sore mereka mengaji dengan suara lantang. Tak surut semangat walau hujan menerjang, berjalan kaki dari rumah bersama-sama. Menenteng buku, menggendong tas, menapakkan kaki di jalan yang cuma muat untuk satu motor.
"Belajar hapalan surat pendek sama doa-doa. Pokoknya senang bisa ngaji di sini," ucap Pandu sembari menyunggingkan senyum.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Padahal madrasah tempatnya menuntut ilmu agama sebagai bekal di akhirat kelak jauh dari kata layak. Bangunannya nyaris ambruk, menyimpan bahaya bagi mereka yang ada di dalamnya.
Dindingnya punya lubang menganga berukuran sangat besar. Boleh dikata, lubang itu jadi pintu darurat bila terjadi sesuatu sewaktu-waktu. Atapnya sudah disangga bambu. Bagian dalam bangunan beralaskan kayu yang berdecit bila diinjak. Angin tak bakal malu-malu masuk karena jendelanya pun tak punya kaca.
Keceriaan anak-anak tak sedikitpun mengendur kendati belajar di bawah lampu temaram. Bila hujan bangunan tak meneduhkan dan memberikan rasa aman. Kadangkala mereka bergantian menaruh alas agar rembesan air dari genting yang melorot tak menggenangi tikar alas duduk.
Darul Amanah menempati sebuah bangunan yang dulunya merupakan sebuah rumah, tepatnya di Kampung Pamoyanan, RT 4/13, Desa Padaasih, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat (KBB).
Sepeninggal sang pemilik yang telah wafat, difungsikanlah rumah itu menjadi madrasah. Kebetulan guru ngaji di madrasah itu masih ada kaitan keluarga dengan pemiliknya.
"Darul Amanah ini berdiri tahun 2020, saya izin pada pesantren tempat saya dulu belajar, namanya Darul Inayah. Nah saya izin buat pakai namanya," ujar Dede Hidayat (25), satu-satunya pengajar di Madrasah Darul Amanah membuka obrolan dengan detikJabar.
Matahari tak muncul sejak siang. Awan mendung terlalu malas beranjak, sejurus kemudian rintik hujan mulai terasa di kepala. Mulai ada bercak air di pakaian yang semula kering, anak-anak yang sebelumnya riang bermain di tanah kosong pinggir madrasah beringsut masuk.
Dede membuka pertemuan sore itu dengan salam. Kemudian mengatur nada, mengucap doa memulai pembelajaran. Teriakan anak-anak bersahutan melantunkan doa seperti yang Dede minta. Setelahnya, Dede meminta anak didiknya mengulang materi mengenai tajwid dan hukum bacaan Alquran.
"Kadang kalau hujan seperti ini, siap-siap kita pasang ember karena banyak yang bocor. Kebetulan badan saya agak besar, kalau saya naik membetulkan genting takut bangunannya malah roboh," ujar Dede.
Dede bukan tidak peduli keselamatan anak-anak. Malahan ia sempat berujar bakal meliburkan pengajian jika hujan. Namun anak-anak tetap datang ke madrasah.
"Kasihan kalau sudah jauh-jauh datang, malahan sambil hujan-hujanan mereka nggak jadi mengaji. Jadi semangat anak-anak ini sangat luar biasa. Saya juga lebih semangat untuk mengajarkan ilmu yang dulu sudah saya pelajari," tutur Dede.
Di tengah segala keterbatasan, Dede bersyukur mendapat dukungan penuh dari warga sekitar. Apalagi ia menyimpan asa mengubah madrasah itu menjadi sebuah pesantren yang bisa menampung lebih banyak anak didik tanpa dipungut biaya sepeserpun.
"Inginnya seperti itu, bisa jadi pesantren seperti tempat saya dulu belajar," kata pria lulusan UIN Bandung jurusan Bahasa Arab itu.
Usaha dan niat baik Dede belum mampu menggerakkan hati orang-orang baik. Namun ia menyimpan keyakinan kelak bakal banyak orang baik yang menaruh perhatian pada Darul Amanah demi generasi muda yang berakhlak mulia.
"Mudah-mudahan ada Hamba Allah lagi yang hatinya tergugah untuk bisa memfasilitasi anak-anak pengajian Darul Amanah ini, Alhamdulillah kemarin sudah ada hamba Allah yang memberikan wakaf berupa semen untuk perbaikan lantai dulu," ucap Dede.
(mso/mso)