Sentuhan Para Pekerja Tionghoa di Balik Kemegahan Gedung Sate

Lorong Waktu

Sentuhan Para Pekerja Tionghoa di Balik Kemegahan Gedung Sate

Rifat Alhamidi - detikJabar
Minggu, 06 Nov 2022 07:00 WIB
Gedung Sate, Kota Bandung
Gedung Sate, Kota Bandung (Foto: Rifat Alhamidi/detikJabar)
Bandung -

Kemegahan Gedung Sate sudah tersohor ke seantero Nusantara. Gedung yang kini difungsikan sebagai kantor Gubernur Jawa Barat itu menyimpan kisah yang panjang, terutama dalam perjalanan Kemerdekaan Bangsa Indonesia.

Di balik kemegahannya, terdapat nama J Berger yang dikenang abadi di Gedung Sate. Karena melalui sentuhan tangan arsitek muda alumnus Fakultas Teknik di Delf, Belanda itu, Gedung Sate yang bergaya perpaduan arsitektur Italia dan Moor di zaman Renaissance menjadi salah satu karya monumental saat masa penjajahan kolonial di Indonesia.

Namun tak banyak yang tahu jika kemegahan Gedung Sate turut mendapat sentuhan dari seorang Bangsa Tionghoa bernama Lim A Goh. Kisahnya pun tersimpan rapi dalam bukunya Sudarsono Katam berjudul 'Gedung Sate Bandung'.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam bukunya, Katam menyatakan Lim A Goh merupakan aannemer atau kontraktor yang menggarap pembangunan Gedung Sate dan Gedung Museum Pos yang saat itu diproyeksikan sebagai bagian dari komplek perkantoran instansi pemerintahan (Gouvernements Berdrijven-GB).

Ia dan perusahaannya yang bernama Bouwbureau en Aannemer Lim A Goh yang berkantor di Chinesche Voorstraat 12 (sekarang Jl Pecinan Lama) Bandung, ditunjuk karena pengalamannya dalam menggarap bangunan-bangunan era kolonial.

ADVERTISEMENT

Pembangunan Gedung Sate dan Gedung Museum Pos sendiri merupakan karya monumental dengan rancangan yang begitu detail. Bahkan, pembangunan kawasan Gouvernements Berdrijven itu sampai sengaja mendatangkan tukang kayu, tukang batu, serta pengukir kayu dan batu dari Konghu di Cina, sebelum pekerjaan dimulai. Selain memang, para tenaga kerjanya juga banyak yang berasal dari Bandung dan Batavia.

Menurut Katam, pembangunan Gedung Sate dan Gedung Museum Pos membutuhkan seorang aannemer yang handal, ahli, penuh dedikasi, berdaya antisipasi tinggi. Dia juga harus sosok yang mampu memimpin dan berfungsi sebagai koordinator, serta mau bekerja keras.

Selain, itu aannemer Gedung Sate juga dituntut memiliki keinginan kuat untuk mewujudkan hasil kerja yang sesempurna mungkin sesuai dengan tuntutan kualitas kedua gedung tersebut. Sebab, rancang bangun gedung yang penuh dengan rincian elemen bangunan presisi berupa ornamen yang terbuat dari ukiran batu dan kayu serta kontruksi sesuai tuntutan gaya arsitektur yang telah ditetapkan.

"...Bagamanapun indahnya gaya arsitektur dan megahnya rancangan gambar sebuah bangunan, jika tanpa ada yang melaksanakan pembangunannya maka akan tetap hanya berupa rancangan gambar yang tidak akan terwujud," tulis Katam dalam bukunya 'Gedung Sate Bandung di halaman 53 yang diunggah versi digital pada 2018 di laman ipusnas.id sebagaimana dilihat detikJabar, belum lama ini.

Penampakan gorden di Gedung Sate, Kota BandungInterior aula Gedung Sate, Kota Bandung Foto: Rifat Alhamidi/detikJabar

Lim A Goh sendiri lahir di Konghu Cina tahun 1890. Ia datang ke Batavia tahun 1906, menyusul ayahnya yang sudah terlebih dahulu ke Batavia. Pada tahun 1909, sebagai perajin kayu yang handal, Lim A Goh pindah ke Bandung dan menuntut ilmu di sekolah teknik dan kursus bahasa Belanda.

Awalnya, Katam mencatat, Lim Agoh tinggal di Gang Soeniaradja (Suniaraja) yang kemudian pindah ke Jl Pecinan Lama. Selain sebagai tempat tinggal, rumahnya lalu difungsikan sebagai tempat usaha pembuatan dan toko perabotan rumah tangga.

Tahun 1914, Lim A Goh akhirnya resmi mendirikan perusahaan Bouwbureau en Aannemer Lim A Goh yang bergerak di bidang pengerjaan pekerjaan sipil-seperti bangunan, jalan, pengairan, dan jembatan-dari pihak pemerintahan kota, militer bagian zeni, hingga dari swasta.

Perusahaan Lim A Goh berkembang pesat dan banyak mendapat kepercayaan dari meneer Belanda. Enam tahun kemudian, Lim langsung didapuk untuk menggarap proyek pembangunan Gedung Sate dan Gedung Museum Pos yang menurut Katam begitu megah dan indah dengan konstruksi hingga tingkat kesulitan dan presisi cukup tinggi.

Ditunjuknya Lim A Goh membuktikan jika perusahaannya begitu handal, berkualitas dan terpercaya, meski perusahaannya relatif masih berumur muda. Bahkan menurut Katam, penunjukan Lim A Goh tidak sembarangan karena tipikal para penguasa Hindia Belanda terkenal sangat teliti dan berpegang pada kualitas.

Menariknya, para meener Belanda, kata Katam, tidak akan mungkin gegabah memberikan pekerjaan kepada perusahaan muda ini jika saja tidak benar-benar yakin atas kemampuan dan cara kerja perusahaan tersebut. Kualitas pekerjaan yang dihasilkan Lim, menjadi bukti hasil kerja dan kualitas pekerjaannya yang telah lebih dulu diselesaikan pada beberapa garapan bangunan sebelumnya.

Tak hanya itu saja, pencarian tenaga kerja yang dibutuhkan juga dilakukan melalui rekan-rekan Lim sesama pengusaha dan kerabat yang sering bolak balik ke Konghu. Para tukang ini berangkat dari Konghu menggunakan kapal kayu Jung ke Batavia selama kurang lebih satu bulan perjalanan, dan kemudian diberangkatkan ke Bandung.

Hasil kerja Lim yang memuaskan dalam pembangunan Gedung Sate dan Gedung Museum Pos, membawanya dipercaya untuk menggarap proyek-proyek lain di era kolonial. Beberapa proyeknya masih terawat hingga sekarang yang akhirnya menjadi cagar budaya Kota Bandung.

Beberapa karya dari proyek Lim yaitu Kantor Pos di Grote Postweg (Jl Asia Afrika, 1928) hingga komplek bangunan biara dan kapel (gereja kecil) suster Penyelenggara Ilahi di Waringinlaan (Jl Waringin tahun 1936, yang sekarang digunakan sebagai sekolah Trinitas dan bangunannya tidak mengalami perubahan apapun).

Lim menikah dengan Tjan Soey tahun 1919. Pasangan ini dikaruniai tiga putera dan seorang puteri. Istri Lim, juga aktif dalam kegiatan sosial dan dikenal ramah di lingkungannya.

Gedung Sate, Kota BandungGedung Sate, Kota Bandung Foto: Rifat Alhamidi/detikJabar

Sayangnya, pada 1942 ketika ketika tentara Jepang menduduki Bandung, rumah dan kantor Lim A Goh digeledah dan diobrak-abrik. Banyak arsip kantor yang hilang saat itu. Lim juga sempat dikurung di kamp internir di penjara Sukamiskin untuk beberapa bulan lamanya.

Setelah ditahan, akhir tahun 1950-an, Lim A Goh mulai mengalami gangguan penglihatan akibat penyakit diabetes yang dideritanya. Perusahaannya lalu dikelola oleh anak tertuanya Lim Kok Foen dengan tetap mempertahankan nama asalnya.

Lim A Goh lalu meninggal tahun 1968 dan dimakamkan di pemakaman Cikadut. Sementara istrinya, Tjan Soey, meninggal tahun 1994.

(ral/yum)


Hide Ads