Hari Lingkungan Hidup Sedunia, Massa Tumplek di Depan Gedung Sate

Hari Lingkungan Hidup Sedunia, Massa Tumplek di Depan Gedung Sate

Bima Bagaskara - detikJabar
Selasa, 10 Jun 2025 13:43 WIB
Massa unjuk rasa Hari Lingkungan Hidup Sedunia di depan Gedung Sate, Kota Bandung, Selasa (10/6/2025).
Massa aksi Hari Lingkungan Hidup Sedunia di depan Gedung Sate, Kota Bandung, Selasa (10/6/2025). (Foto: Bima Bagaskara/detikJabar)
Bandung -

Ribuan massa dari berbagai elemen masyarakat memenuhi halaman Gedung Sate pada Selasa (10/6/2025). Dalam peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia, WALHI Jawa Barat bersama lebih dari 50 organisasi dari 27 kabupaten/kota menggelar aksi besar bertajuk 'Lingkungan dan Alam Milik Rakyat, Bukan Milik Penguasa atau Raja'.

"Kami datang atas nama Gerakan Rakyat Selamatkan Bumi. Ini kehadiran rakyat, kehadiran lembaga dari 50 lembaga yang datang ke Gedung Sate secara mandiri. Kami ingin menyampaikan bagaimana potret kerusakan lingkungan atau penurunan kualitas lingkungan yang terus terjadi di Jawa Barat," ujar Direktur Eksekutif WALHI Jabar Wahyudin Iwang.

Wahyudin menegaskan bahwa berbagai kebijakan yang tumpang tindih, terutama pasca lahirnya Undang-Undang Cipta Kerja, telah memperburuk kondisi lingkungan dan memperjauh akses rakyat terhadap tanah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selain itu menurutnya, penguasaan lahan di Jawa Barat semakin didominasi oleh korporat dan oligarki, bukan oleh rakyat yang selama ini hidup berdampingan dengan alam.

"Komposisi penguasaan tanah lebih dominan diberikan kepada pengusaha, para oligarki. Pemerintah lebih mengedepankan kepentingan infrastruktur dan investasi yang menggerus hak-hak rakyat," katanya.

ADVERTISEMENT

"Perhutani, PTPN, terus menggerus. Tapi mereka dilegitimasi oleh pemerintah, padahal kontribusinya minim terhadap kesejahteraan masyarakat maupun pemulihan lingkungan," tambahnya.

Degradasi Alam Kian Masif

Wilayah selatan Jawa Barat menjadi sorotan utama WALHI dalam aksi ini. Menurut Iwang, daerah-daerah seperti Sukabumi, Bogor, Cianjur, hingga Pangandaran mengalami kerusakan alam yang semakin masif tiap tahunnya.

"Intervensi kawasan paling masif terjadi di Selatan. Dari Sukabumi sampai Pangandaran digerus, rakyat terus digusur. Akses atas ruang dan lahan dirampas. Padahal, rakyat sejatinya adalah pejuang lingkungan yang sesungguhnya," ucap Iwang.

Wahyudin menegaskan bahwa rakyat telah lama membuktikan bisa hidup berdampingan dengan alam tanpa merusaknya. Salah satu contohnya adalah praktik agroekologi yang dilakukan oleh Serikat Petani Pasundan.

"Faktanya, anggota kami seperti Serikat Petani Pasundan sudah menunjukkan praktik baik, masyarakat bisa berdampingan dengan kawasan tanpa harus merusak lingkungan," tuturnya.

Desakan untuk Gubernur Dedi Mulyadi

Kritik tajam juga diarahkan kepada Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi karena dinilai belum menjalankan mandat sesuai dengan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) secara maksimal.

"Dedi Mulyadi tidak harus terus melakukan pencitraan. Tapi jalankan amanat UU Pokok Agraria. Jalankan fungsi GTRA, bukan hanya tegur Perhutani dan PTPN. Tapi hentikan penguasaan lahan mereka dan berikan ke rakyat," kata Wahyudin.

Ia juga menyinggung kebijakan yang sporadis dan inkonsisten yang dilakukan Dedi Mulyadi dan mendesak agar Dedi segera membentuk Dewan Pertimbangan Agraria dan Lingkungan Hidup.

"Selama ini KDM belum maksimal melakukan pemulihan lingkungan. Kami mendesak pembentukan Dewan Pertimbangan Agraria dan Lingkungan Hidup, serta panitia kerja yang partisipatif dan transparan," tegasnya.

Dengan aksi ini, WALHI menegaskan bahwa perjuangan belum selesai. Justru ini awal dari konsolidasi gerakan lingkungan rakyat di Jawa Barat.

"Tanah ini bukan milik pemerintah, bukan milik penguasa, dan bukan milik korporat. Tapi sejatinya milik rakyat. Maka jangan lagi penguasaan lahan diberikan ke korporat. Rakyat bisa mengelola tanah tanpa merusak. Itu yang harus difasilitasi oleh negara," tutup Wahyudin.

(bba/orb)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads