Mereka yang Gugur di Gedung Sate Demi Mempertahankan Kemerdekaan

Mereka yang Gugur di Gedung Sate Demi Mempertahankan Kemerdekaan

Rifat Alhamidi - detikJabar
Minggu, 16 Okt 2022 19:31 WIB
Prasasti perjuagan para pemuda mempertahankan Gedung Sate.
Prasasti perjuangan para pemuda mempertahankan Gedung Sate (Foto: Rifat Alhamidi/detikJabar).
Bandung -

Kemegahan Gedung Sate sebagai kantor Pemerintahan Provinsi Jawa barat memiliki kisah membanggakan di dalamnya. Gedung bergaya Rennaisance ini menjadi saksi sejarah heroiknya 7 pemuda pegawai Kantor Jawatan Pekerjaan Umum dan Pengairan yang gugur dalam mempertahankan Kemerdekaan Indonesia.

Kisah 7 pemuda PU itu pun tersimpan rapi pada rubrik di salah satu sudut Museum Gedung Sate (MGS). Ketujuhnya yang tercatat sebagai pemuda heroik itu yakni Rio Susilo, Mochtaroedin, Subenget, Soerjono, Soehodo, Didi Hardianto Kamarga dan Ranu.

Dikisahkan pada Sabtu, 24 November 1945, tentara sekutu Belanda dari Gurkha (Royal Gurkha Rifles Divisi Mahratta 23 yang berasal dari Nepal) dan NICA (Nederlands Indie Civil Administration), tiba di Bandung untuk merebut kembali Kemerdekaan Indonesia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dengan kekuatan penuh, mereka kemudian menargetkan Gedung Sate sebagai target invansinya ke Indonesia. Pada saat itu, Gedung Sate difungsikan sebagai Kantor Jawatan Pekerjaan Umum dan Pengairan setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan. Sebelum direbut Bangsa Indonesia, Gedung Sate pernah menjadi Pusat Pemerintahan (Shucho) Wilayah Jawa Barat kala Jepang menjajah Tanah Air.

Suasana kedatangan pasukan yang ingin kembali menjajah Indonesia melalui Bandung itu pun dikisahkan begitu mencekam. Hentakan kaki mereka yang kekar membuat Bandung bergemuruh, lengkap dengan suara mars tentara yang mereka lantunkan di sepanjang jalan seketika turut mengintimidasi para pegawai yang berada di Gedung Sate.

ADVERTISEMENT

Kedatangan Tentara Gurkha ini juga dibekali senjata yang lengkap. Mereka membawa kukri, jenis parang khas Nepal dan senapan laras panjang Lee Enfield MK I dan MK II asal Inggris, plus kendaraan perang yang seketika membuat nyali warga Bandung yang mendengarnya dilanda kecemasan.

Namun dari sekian para pegawai Gedung Sate, ada 21 pemuda yang berani memberikan perlawanan. Mereka ini siap mengorbankan jiwa danraganya supaya Indonesia tidak dijajah kembali oleh bangsa lain.

Prasasti perjuagan para pemuda mempertahankan Gedung Sate.Para pemuda yang gugur saat mempertahankan Gedung Sate (Foto: Rifat Alhamidi/detikJabar).

Ke-21 pemuda ini juga yang dikisahkan memiliki keberanian yang besar untuk mempertahankan Gedung Sate atas nama Republik Indonesia dari ancaman pasukan Gurkha dan NICA. Harga kemerdekaan yang sudah di proklamirkan dan dijaga oleh Bangsa Indonesia wajib dipertahankan, pikir mereka sebagaimana yang tertulis dalam rubrik kisah 7 pemuda di Museum Gedung Sate.

"Jadi pada waktu itu, ada 21 pemuda yang mencoba meyakinkan Tentara Republik Indonesia supaya penyeranganGurkha mau mereka bendung di Gedung Sate. Mereka ini trauma karena sudah dijajah 3,5 abad plus 3 tahun sama Jepang, jadipengen berjuang hingga titik darah penghabisan. Mereka ini enggak mau lagi ada penjajah di tanah sendiri," kata Edukator Museum Gedung Sate MWenno Guna Utama saat berbincang dengandetikJabar belum lama ini.

Dengan tekad yang tinggi untuk mempertahankan kemerdekaan, 21 pemuda ini sudah berniat memberikan perlawanan terhadap tentara sekutu. Mereka, yang disebut Perwakilan Angkatan Muda Pekerdjaan Umum ini pun pergi ke markas Madjelis Dewan Perdjoeangan Priangan (MDPP) di Gang Asmi pada tanggal 29 November 1945 untuk meminta perbekalan senjata.

Wenno mengisahkan, tadinya, keinginan ke-21 pemuda itu sempat ditahan dengan alasan situasi revolusi yang belum stabil. Sebagaimana yang diceritakan, saran itu dilontarkan Sutoko, Ketua MDPP yang memberi nasihat untuk mundur dan dianjurkan untuk mempertahankan kota Bandung Selatan.

Dalam rubrik kisah 7 pemuda di Museum Gedung Sate, Sutoko berkata, "Jangan, tidak usah. Kita melawan mereka dari sini saja". Namun, nasihat dari Sutoko ini ditanggapi ke-21 pemuda dengan semangat berapi-api. Terjadi perdebatan kala itu di mana rencana penyerangan balik para pemuda PU ini tidak mendapatkan persetujuan.

Perdebatan dihentikan ketika salah satu dari mereka Didi Hardianto Kamarga, berkata: "Saya dan kawan-kawan sanggup untuk mempertahankan kantor kami. Kami datang hendak meminta izin dan meminta senjata". Lalu akhirnya, iberikanlah perbekalan senjata revolver oleh MDPP untuk 21 pemuda heroik ini.

"21 pemuda ini backgroundnya bukan militer semua, tapi mereka mau berjuang sampe titik darah penghabisan. Mereka dengan beraninya waktu itu hanya minta back up persenjataan, karena waktu itu disarankan enggak perlu perang. Akhirnya senjata yang dikasih juga seadanya," ucap Wenno.

Singkatnya, pada 3 Desember 1945 pukul 11.00 hingga 14.00 WIB, pasukan Gurkha dan NICA menyerbu masuk Gedung Sate. Pertempuran tidak seimbang akhirnya terjadi saat 21 pemuda PU itu melawan satu kompi pasukan Gurkha.

Pertempuran yang berlangsung selama 4 jam ini pun akhirnya dimenangkan pasukan Gurkha. Mereka berhasil menguasai Gedung Sate sepenuhnya. Satu persatu pemuda PU yang melawan bertumbangan. Tujuh orang gugur, sementara 14 orang lainnya harus mundur dan meninggalkan Gedung Sate.

Jasad ketujuh pemuda ini lalu dikubur dalam satu lubang oleh tentara sekutu di halaman belakang Gedung Sate, tepatnya sekarang menjadi lapangan tenis. Setelah tentara sekutu hengkang dari Tanah Air, jenazah ketujuh pemuda itu lalu dilakukan pencarian.

Pada Agustus 1952, penggalian makam ketujuh pemuda PU itu lalu dilakukan. Tiga jenazah atas nama Soehodo, Didi Hardianto dan Mochtaroedin ditemukan lalu dipindah ke Taman Makam Pahlawan Cikutra. Sementara 4 jenazah pemuda PU lainnya yaitu Rio Susilo, Subenget, Soerjono, Kamarga dan Ranu tetap berada di area Gedung Sate. Proses pencarian lalu dihentikan pada 2017.

Untuk mengenang pengorbanan para pejuang ini, pemerintah membuat sebuat prasasti batu di depan Gedung Sate. Prasasti itu berisi tulisan yang menggambarkan bagaimana heroiknya perjuangan ketujuh pemuda tersebut dalam mempertahankan Kemerdekaan Indonesia hingga mengorbankan jiwa dan raganya.

"Dalam mempertahankan Gedung Sate terhadap pasukan Gurkha tanggal 3 Desember 1945, tudjuh pemuda gugur dan dikubur oleh pihak musuh di halaman ini. Bulan Agustus 1952 diketemukan djenazah Suhodo, Didi dan Muchtaruddin yang dimakamkan di Taman Pahlawan Tjikutra. Djenazah Rana, Subengat, Surjono dan Susilo tetap berada di sini. Bandung, 31 Agustus 1952," demikian tulisan di prasasti tersebut.

"Tjita-tjitamu adalah tjita-tjita kami. Baktimu teladan bagi kami untuk berdjoang. Bekerdja membangun guna mewudjudkan tjita-tjita Indonesia jang adil dan makmur," bunyi tulisan di bawah prasasti itu lengkap dengan logo Kementerian PUPR. Hingga sekarang, batu prasasti ini masih berdiri kokoh di depan halaman Gedung Sate sebagai penanda perjuangan ketujuh pemuda PU tersebut.

Selain diabadikan melalui prasasti, perjuangan ketujuh pemuda itu juga diabadikan dengan peringatan Hari Pemuda PU yang jatuh pada 3 Desember, tanggal pertempuran mereka melawan pasukan sekutu. Selain itu, sepengetahuan Wenno, setiap melakukan kunjungan kemanapun, jajaran Kementerian PU selalu mengisahkan kembali perjuangan mereka sebagai pengingat untuk kementeriannya.

Peringatan Hari Pemuda PU di Gedung Sate juga ada seremoni, ada sirine yang dinyalakan sebagai hari berkabung untuk mengenang kisah ketujuh pemuda ini. Dan kisah mereka, setahu saya, menjadi yang paling disorot sama kementerian untuk terus dikenang sebagai kisah heroik dalam perjalanan Bangsa Indonesia," pungkasnya mengakhiri perbincangan dengan detikJabar.

Halaman 2 dari 2
(ral/mso)


Hide Ads