Industri angkutan umum, khususnya angkot di Kota Bandung, kini mulai ditinggalkan publik. Moda transportasi ini dianggap sudah terlalu jadul untuk mengikuti perkembangan zaman, apalagi ditambah dengan tumbuh suburnya transportasi online yang telah menjamur di wilayah Ibu Kota Jawa Barat.
Akibat kondisi ini, banyak sopir angkot yang kini kebingungan dan hanya bisa pasrah terhadap keadaan. Ibarat pribahasa maju kena mundur kena, para sopir angkot hanya bisa menerima nasib saat ini dibanding harus meninggalkan profesi yang telah mereka geluti sejak puluhan tahun lalu. Alasannya, mereka sudah tak mampu lagi mencari pekerjaan lain lantaran sudah berumur.
Kondisi tersebut salah satunya dirasakan Agus (50). Dia merupakan sopir angkot untuk trayek St Hall-Ciumbuleuit dan telah bergelut dengan profesinya selama 20 tahun. Saat ditemui detikJabar, Agus turut mengungkapkan keluh kesahnya dengan kondisi industri angkot yang kini mulai sepi ditinggalkan penumpang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Nggak nentu sekarang mah pemasukannya. Kadang-kadang bawa uang ke rumah, tapi kebanyakannya nombok setoran, tekor terus," katanya ditemui saat menunggu penumpang di Terminal St Hall, belum lama ini.
Agus tak bisa menutupi perasaan was-wasnya jika harus mengingat bagaimana nasib industri angkot saat ini. Ia beberapa kali bahkan terlihat uring-uringan, lantaran bingung menghadapi keadaan yang tak menentu itu.
Padahal kata Agus, angkot dulu pernah mengalami masa keemasannya. Sekitaran awal tahun 2000 hingga 2010-an, angkot masih menjadi primadona transportasi warga Kota Bandung. Namun setelah transportasi online mulai menjamur, tepatnya pada tahun 2015an, angkot perlahan ditinggalkan penumpang.
"Dulu mah rame terus, penumpang juga penuh. Pas zaman itu, lumayan ada aja (uang) buat dibawa pulang mah. Sekarang mah boro-boro, semenjak ada (transportasi) online jadi sepi. Ditambah kan udah pada banyak punya kendaraan pribadi, jadi berat sekarang mah. Ngejar setoran juga susah," ungkapnya.
Pada masa-masa itu, Agus masih ingat ia harus menyetor uang kepada pemilik angkot yang dibawanya dengan nominal Rp 150 per hari. Dari setoran itu, Agus bisa membawa uang ke rumah Rp 200-300 ribu untuk 4 rit (8 kali pulang pergi trayek St Hall-Ciumbuleuit) setiap harinya.
Namun kini, kondisinya dirasakan Agus sudah serba susah. Jangan berharap jika angkot penuh disesaki penumpang. Sebab bisa mendapatkan 2-3 penumpang saja, itu sudah dirasa lumayan oleh Agus.
"Sekarang setoran Rp 70 ribu, tapi pemasukan juga enggaknentu. Kadang-kadang bawa uang ke rumah, tapi kebanyakannya nombok setoran. Paling yangkebawa ke rumah Rp 50 ribu. Soalnya sepi penumpangnya, narik palingandapet 3 doang penumpang. Paling banyak juga 8 orang,"tuturnya.
Namun, kondisi itu sudah berbeda jauh dengan sekarang. Agus akhirnya terpaksa menumpang di rumah mertuanya lantaran sudah tak sanggup membayar biaya kontrakan tiap bulannya.
"Zaman rame angkot mah bisa ngebantu menyekolahkan anak, bisa ngontrak rumah. Sekarang mah boro-boro ngontrak, tinggal juga di rumah mertua. Enggak kekejar kalau ngontrak, ripuh lah sekarang mah," tuturnya.
Tak hanya itu, saat pandemi COVID-19 melanda Indonesia khususnya di Kota Bandung, Agus dan rekan sopir angkot hanya bisa pasrah menerima keadaan. Setahun penuh mereka harus dirumahkan, termasuk Agus yang terpaksa melakukan apa-apa dengan bergantung terhadap mertuanya untuk memenuhi kehidupan keluarga.
Agus juga sadar, saat itu ia ingin melampiaskan amarahnya akibat kondisi pandemi yang memaksa para sopir angkot berhenti setahun penuh. Namun ia tak berdaya dan akhirnya hanya bisa pasrah menghadapi keadaan tersebut meskipun berat.
"Pas Corona mah wah pareum lah a, kita enggak jalan setahun, dirumahkan. Setahun itu enggak ngapa-ngapai, di rumah aja. Marah juga enggak bisa, mau marah ke siapa. Akhirnya seada-adanya aja ikut sama mertua. Makan di mertua, segala macem di mertua, pokoknya cuma bisa pasrah lah," ucapnya.
Selain dialami sopir, para pengusaha angkot kata Agus juga ikut menjerit akibat kondisi pandemi maupun industri angkot yang mulai ditinggalkan penumpang. Saat pandemi melanda, angkot trayek St Hall-Ciumbuleuit berkurang drastis dari 35 unit menjadi 15 unit.
"Udah banyak yang berkurang, pada dijual-jualin sama bos-bosnya. Dulu di sini ada 35, sekarang Cuma ada 15, udah habis. Angkot Cisitu-Tegallega juga dari 80 sekarang jadi 30 doang. Pokoknya angkot mah terjepit lah a sekarang mah, serba susah," keluhnya.
Akibat kondisi ini, Agus hanya bisa pasrah menerima keadaan. Bagi dia, yang penting bisa keluar rumah dan tak melulu tinggal di rumah mertuanya dengan memilih narik angkot. Meskipun, Agus setiap hari harus dihadapkan dengan pemasukan yang tak menentu untuk dibawa pulang ke rumah.
"Ya pasrah aja enggak bisa apa-apa. Kalau ada rejekinya, yang penting bisa ada yang dibawa ke rumah. Paling Alhamdulillah bawa ke rumah 20-30 ribu, seringnya juga enggak bawa uang. Tapi buat saya mah narik aja dipaksakan, kalau diam di rumah engggak bisa makan, enggak bisa ngerokok. Yang penting keluar rumah bisa dpt duit lah," katanya.
Meski hanya bisa berpasrah terhadap keadaan, Agus berharap ada intervensi dari pemerintah untuk menyelamatkan nasib para sopir angkot di Kota Bandung. Minimal kata dia, dengan menerapkan regulasi ketat terhadap transportasi online supaya bisa ikut dengan angkutan umum.
"Karena sopir angkot mah maunya online yang sekarang ini dihilangkan, supaya angkot bisa berkembang lagi. Diatur atuh regulasinya secara ketat. Sekarang kan online enggak kelihatan, harusnya kalau dia emang angkutan, ya pake plat kuning lah. Tapi kan ini mah enggak. Kalau diatur pake aturan angkutan, nanti kan trayeknya dia jadi jelas. Harapan kita ya gitu a," ujarnya.