Penyebab hingga Dampak pada Kasus Bullying Bocah Tasikmalaya

Penyebab hingga Dampak pada Kasus Bullying Bocah Tasikmalaya

Bima Bagaskara - detikJabar
Jumat, 22 Jul 2022 07:30 WIB
Colorful chalk drawing on asphalt: words STOP CHILD ABUSE
Ilustrasi bullying. (Foto: istock)
Bandung -

Bocah di Tasikmalaya meninggal dunia karena depresi usai di-bully dipaksa menyetubuhi kucing. Korban sempat sakit keras sebelum meninggal. Diketahui pelakunya tak lain adalah teman sebaya korban.

Menyoroti hal tersebut, dosen Fakultas Psikologi Universitas Islam Bandung (Unisba) Anindhita Nurul Khasanah menganggap banyak faktor yang menjadi penyebab seorang melakukan aksi perundungan.

Salah satunya, kata Andhita, beberapa pelaku yang melakukan perundungan diawali dengan menjadi korban di masa lalu. Selain itu, ada juga faktor lingkungan hingga anak-anak mem-bully sesama rekannya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Motif perundungan itu sangat banyak, mulai dari faktor internal hingga eksternal. Pada beberapa literatur dikatakan mereka yang menjadi pelaku cenderung diawali sebagai korban juga di waktu lampau. Ada pula riset yang menyampaikan bahwa faktornya adalah pengasuhan, iklim lingkungan mencakup sosial dan budaya, pendidikan, termasuk masalah ekonomi," kata Andhita saat dikonfirmasi detikJabar, Kamis (21/7/2022).

Melihat apa yang menimpa bocah malang di Tasik, Andhita mengungkapkan penyebab utama aksi perundungan tersebut karena faktor sosial budaya dan juga pendidikan dalam keluarga.

ADVERTISEMENT

Namun ia sendiri masih menunggu informasi dari hasil penyelidikan kasus untuk mengetahui motif anak-anak itu melakukan perundungan terhadap korban.

"Karena saat ini masih dalam penyeledikan apa yang menjadi motif anak-anak tersebut melakukan tindakan perundungan, asumsi saya adalah disebabkan oleh faktor sosial-budaya dan pendidikan dalam lingkup keluarga," ungkapnya.

"Namun ini masih harus digali lebih lanjut agar tidak terkesan menyalahkan pihak tertentu," sambungnya.

Masih kata Andhita, ada beberapa kajian yang mengatakan kepuasan dan kebahagiaan seorang anak bisa menjadi penyebab mereka melakukan tindakan agresif, termasuk perundungan.

Menurutnya dalam mekanisme munculnya perilaku, dapat diasumsikan perilaku merundung, menyiksa, mengganggu, atau agresif lainnya, menjadi bentuk 'kompensasi' atas ketegangan psikologis yang mereka rasakan. Sehingga ditampilkan dalam bentuk demikian.

"Artinya pula, ada persoalan yang sifatnya fundamental pada kemampuan mengelola dan mencari alternatif penyelesain masalah pada anak-anak ini. Bisa jadi mereka 'hanya tahu' cara itu dan memperoleh kepuasan serta pelepasan ketegangan psikologis. Akhirnya perilaku tersebut diulang dalam situasi lainnya," ujarnya.

Dari apa yang terjadi di Tasik itu, Andhita menyimpulkan ada faktor bagaimana lingkungan mendidik, mengarahkan, dan memberikan kontrol pada perilaku dan perkembangan seorang anak.

Dampak Perundungan

Pada kasus ini, dokter RSUD Tasikmalaya mengungkap penyebab kematian bocah yang dibully setubuhi kucing itu didiagnosis mengalami peradangan otak.

Sebelum meninggal dunia, bocah itu dibawa ke rumah sakit pada Minggu (17/7) malam. Saat dibawa ke rumah sakit, bocah mengalami kondisi penurunan kesadaran sehari sebelumnya. Bahkan, bocah tersebut tak mau makan dan minum serta mengalami demam.

Menurut Andhita, perundungan tidak hanya bisa berdampak pada depresi, namun juga keluhan fisik. Apalagi di kasus tersebut, korban diminta melakukan hal yang bersentuhan fisik.

"Perundungan itu bisa berdampak sampai depresi dan keluhan fisik. Karena perundungan yang bersifat agresi fisik, juga sangat mungkin terjadi," ucap Andhita.

Solusi Berawal dari Kebijakan

Andhita juga menjelaskan bagaimana solusi yang tepat agar perundungan tidak lagi terjadi, khususnya di kalangan anak-anak. Menurutnya perundungan adalah persoalan sistemik yang meliputi banyak komponen, mulai dari lingkup terkecil seperti keluarga, lalu komunal kecil seperti tetangga, sekolah, wilayah, hingga kebijakan publik yang berlaku.

"Jadi kalau mau bicara solusi, harus dicek kebijakan yang berlaku bagi perlindungan dan kesejahteraannya bagaimana. Lalu, apakah target lingkup terkecil memiliki karakteristik tertentu yang akan berdampak pada implementasi kebijakan," tuturnya.

"Misalnya, kebijakannya sudah bagus, tapi tidak cocok dengan karakteirtsik budaya di kelompok tersebut. Atau justru sebaliknya, keluarganya mungkin tumbuh baik, tetapi lingkungannya sangat tidak mendukung, sehingga perkembangan sosial anak juga tidak optimal," ujar Andhita.

Selain itu, pada kasus tersebut, ia juga mengharapkan adanya pembinaan menyeluruh baik kepada keluarga korban, pelaku hingga saksi.

"Atau istlahnya bystander. Mereka harus memeroleh edukasi dan arahan bagaimana harus bersikap jika berhadapan dengan kasus seperti ini atau menghindari perlakuan demikian dari orang lain," tutup Andhita.

Halaman 2 dari 2
(bba/ors)


Hide Ads