Hasil pembangunan lapangan basket, laboratorium komputer dan perpustakaan yang dilaksanakan yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) di Tasikmalaya menyisakan banyak catatan kekecewaan. Pembangunan dinilai tak sesuai standar kelayakan.
Lapangan basket hingga laboratorium dan perpustakaan itu dibangun ACT di Madrasah Tsanawiyah (MTs) Persatuan Islam (Persis) Tanjungsari, Kecamatan Sukaresik, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Pembangunan ini merupakan amanah untuk korban kecelakaan Lion Air JT-610 pada 2018 atas nama Vivian Hasna Afifa.
"Kami berterima kasih kepada Boeing atas bantuan ini, secara umum bantuan yang kami terima telah memberikan manfaat bagi siswa kami," kata pimpinan pesantren Persis 42 Sukaresik Dede Reviana kepada detikJabar, beberapa waktu lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun demikian dia tak memungkiri bahwa hasil pembangunan yang dilaksanakan ACT sebagai implementator tidak sesuai harapan. "Tapi memang ada beberapa kekecewaan berkaitan dengan proses dan hasil pembangunan itu, berkaitan dengan konstruksinya," kata Dede.
Pembangunan 3 fasilitas tersebut, menurut dia, dimulai pada Ramadan tahun 2021 lalu dan baru selesai beberapa bulan lalu. Dede mengaku tidak pernah diberi tahu berapa nilai dari bantuan tersebut.
"Kami tak pernah diberi tahu, mau menanyakan tentu bukan hak kami, kalau keluarga ahli waris tentu sudah tahu," ujar Dede.
Atas semua kekecewaan atas pembangunan yang dilaksanakan ACT itu Dede mengaku tak bisa berbuat banyak. "Kami hanya menerima, yang berhak komplain kan ahli waris korban," kata Dede.
Dia menjelaskan orang tua korban Vivian merupakan bagian dari pendiri pesantren ini. Sehingga ketika mendapat bantuan dari Boeing, diarahkan ke MTs Persis ini. "Kami berterima kasih kepada ahli waris korban. Sikap kami mengikuti sikap mereka sebagai penerima," ucap Dede.
Pekan lalu detikJabar menyambangi sekolah yang terletak di kawasan pedesaan yang rawan banjir tersebut. Tiga item pembangunan itu dibangun berdekatan. Ruang laboratorium dan perpustakaan berdampingan, sementara sebuah lapang olahraga berada di depan dua ruangan tersebut.
Jika merujuk pada rencana pembangunan, tanah lapang ini seharusnya lapang bola basket. Namun dimensi lapang basket tak sesuai standar, dua keranjang bola dipasang di bentang lebar lapang. Sementara di bentang panjang terpasang gawang bola sepak. Bentuk keranjang bola pun berbeda dengan kontruksi keranjang bola basket standar, pun demikian dengan papan pantulnya.
Yang tak kalah mencuri perhatian adalah lantai lapang yang tidak rata dan rapi. Pantulan bola dipastikan tidak akan maksimal atau presisi. Apalagi di bagian tengah lapang, terlihat sambungan yang menandakan hamparan tembok lapang tak dibangun bersamaan.
Dua orang pekerja bangunan yang sedang bekerja di sekolah itu membenarkan bahwa lapang dibangun dua kali atau separuh-separuh.
"Itu bisa dilihat bekas sambungannya menonjol, di tengah itu," kata salah seorang pekerja.
Tukang bangunan yang tak mau menyebutkan namanya itu juga menyayangkan tinggi dari plafon ke lantai bangunan laboratorium dan perpustakaan yang menurutnya terlalu pendek, tidak memadai untuk ruangan yang ditempati banyak siswa.
"Ini mah mirip bangunan kontrakan, kalau untuk kelas, karena ditempati oleh belasan atau puluhan siswa idealnya tidak kurang dari 3,5 meter. Kalau pendek begini pengap," kata pekerja tersebut.
Dia bahkan mengambil meteran untuk memastikan taksirannya. Hasilnya benar, atap ruangan dan lantai tak sampai 3 meter. Bahkan atap di luar lebih pendek. Sementara beberapa profil gipsum yang menghiasi sudut plafon sudah terlepas.
Hal lainnya adalah terkait instalasi listrik yang dibangun belakangan. Awalnya ruang laboratorium komputer itu tidak dilengkapi colokan listrik. Setelah pihak keluarga komplain baru pihak ACT melengkapi. Alhasil instalasi listrik di ruangan itu berada di luar, tidak ditanam di tembok.
Simak Video "Video: Trump: Elon Musk Kesal Karena Insentif Pajak Kendaraan Listrik Dihapus"
[Gambas:Video 20detik]
(dir/dir)