Kisah Sufyan Ats-Tsauri, Ulama Zuhud yang Menolak Harta Penguasa

Kisah Sufyan Ats-Tsauri, Ulama Zuhud yang Menolak Harta Penguasa

Hanif Hawari - detikHikmah
Senin, 24 Mar 2025 06:00 WIB
Sahabat Nabi
Ilustrasi Sufyan Ats-Tsauri (Foto: Getty Images/GCShutter)
Jakarta -

Sufyan Ats-Tsauriy adalah salah satu ulama besar dalam Islam yang dikenal dengan keilmuannya yang mendalam dan kezuhudannya yang luar biasa. Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah, Sufyan bin Sa'id bin Masruq Ats-Tsauriy, yang dinisbahkan kepada kakeknya, Tsaur bin Abdu Mannah.

Nasabnya bertemu dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di Ilyas bin Mudhar, menjadikannya bagian dari garis keturunan yang mulia. Ia tumbuh dalam lingkungan yang penuh dengan ilmu, menjadikannya salah satu imam besar di bidang hadis, fikih, dan tasawuf.

Kisah hidupnya dipenuhi dengan keteguhan dalam menegakkan kebenaran, bahkan di hadapan para penguasa zalim. Selain dikenal sebagai ahli ilmu, Sufyan Ats-Tsauriy juga dikenal dengan sifat wara' dan ketakwaannya yang tinggi. Ia lebih memilih kehidupan sederhana dibanding menerima pemberian dari penguasa yang ia anggap zalim.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mengajarkan Zuhud

Dirangkum dari buku Kisah Sejuta Hikmah Kaum Sufi oleh Samsul Munir Amin, Sufyan Ats-Tsauri adalah seorang tabi'in yang dikenal karena sikap zuhud, akhlak yang mulia, serta keteguhan dan kemandiriannya. Ia senantiasa menjaga prinsip hidupnya agar tidak terpengaruh oleh godaan duniawi.

Ia selalu mengingatkan orang lain agar tidak tertipu oleh kesenangan dunia yang sifatnya sementara. Baginya, kehidupan harus dijalani dengan penuh kesadaran akan hakikat akhirat.

ADVERTISEMENT

Menurutnya, seorang ulama sejati harus mampu hidup mandiri tanpa bergantung pada penguasa. Ia percaya bahwa hubungan yang terlalu dekat dengan penguasa dapat melemahkan kemandirian serta merusak nilai-nilai agama.

Pemikiran Sufyan Ats-Tsauri menjadi batas yang jelas antara prinsip yang membangun dan hal-hal yang dapat merusak kehidupan. Ia terus mengingatkan bahaya hidup berlebihan, pemborosan, dan maksiat yang dapat menyesatkan seseorang.

Dalam kehidupan sehari-harinya, ia memilih untuk hidup sederhana tanpa berlebihan dalam urusan duniawi. Ia berdagang untuk memenuhi kebutuhannya agar tetap mandiri dan tidak bergantung pada siapa pun, baik penguasa maupun masyarakat.

Sufyan Ats-Tsauriy Menolak Tawaran Duniawi

Dikisahkan dari buku 198 Kisah Haji Wali-Wali Allah karya Abdurrahman Ahmad, pada suatu musim haji, Sufyan ats-Tsauri dipanggil untuk menghadap Khalifah Abu Ja'far Al-Manshur. Saat bertemu, sang khalifah berkata, "Sebutkanlah keperluanmu, niscaya aku akan memenuhinya."

Namun, Sufyan dengan tegas menjawab, "Wahai Khalifah, bertakwalah kepada Allah. Engkau telah memenuhi bumi dengan kezaliman dan penindasan."

Teguran itu begitu keras dan tanpa rasa takut, sehingga Al-Manshur hanya bisa menundukkan kepalanya. Meski begitu, ia tetap berkata, "Sebutkan saja apa yang kau butuhkan, aku akan memberikannya."

Sufyan kembali menjawab, "Engkau mendapatkan kedudukan ini dengan pedang kaum Muhajirin dan Anshar, tetapi kini anak-anak mereka justru mati kelaparan." Ia menambahkan, "Bertakwalah kepada Allah, berikan hak-hak mereka."

Mendengar kata-kata itu, Al-Manshur menundukkan kepala dengan rasa syukur. Ia menyadari bahwa ada seseorang yang berani mengingatkannya di tengah kekuasaannya.

Namun, ia tetap mengulangi tawarannya, "Katakan saja apa keperluanmu, aku pasti akan memenuhinya." Ia berharap Sufyan mau menerima pemberiannya.

Meski demikian, Sufyan ats-Tsauri tetap tidak terpengaruh oleh tawaran duniawi dari sang khalifah. Setelah menyampaikan nasihatnya, ia pergi begitu saja tanpa meminta apa pun.

Singkat cerita, Sufyan ats-Tsauri meninggal dunia di kota Basrah pada tahun 161 H (778 M). Kepergiannya meninggalkan warisan keilmuan dan keteladanan bagi umat Islam.

Dari kisah ini, kita bisa belajar bahwa seorang Muslim harus berani menegakkan kebenaran tanpa takut kepada penguasa atau kepentingan duniawi. Selain itu, hidup mandiri dan sederhana dapat menjaga integritas serta menjauhkan diri dari ketergantungan yang bisa melemahkan prinsip agama.

Wallahu a'lam.




(hnh/inf)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads