Terdapat sebuah riwayat yang mana menceritakan salah satu cucu Rasulullah SAW tidak mendapatkan kain kafan saat wafat. Ternyata, ada alasan haru di balik pernyataan tersebut.
Kedua cucu Rasulullah SAW yang sangat dicintainya, yaitu Husain dan Hasan. Namun, hanya Sayyidina Husain yang tidak mendapatkan kain kafan tersebut.
Dikutip dari buku Engkaulah Paling Ku Sayang Tak Ada karya Haji Lalu Ibrahim, Rasulullah SAW pernah menjelaskan, barang siapa mencintai Hasan dan Husain, dia dicintai oleh nabi. Sebaliknya, orang yang membenci Hasan dan Husain, dia dibenci oleh nabi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Husain merupakan saudara Hasan yang merupakan putra dari pasangan Fatimah Az-Zahra dan Ali bin Abi Thalib seperti yang dinukil dari buku biografi Syekh Abdul Qadir Al-Jailani karya Alfi Arifian.
Kisah Pilu Cucu Nabi yang Tidak Dapat Kain Kafan dari Jibril
Kisah wafatnya Husain sebenarnya pernah dimimpikan oleh Ummul Fadhl binti al-Harits lalu dikabarkan oleh Rasulullah SAW, pada mimpinya, Husain terbunuh dalam sebuah tragedi yang bernama Karbala.
Nabi Muhammad SAW bersabda, "Jibril datang menemuiku dan mengabarkan bahwa kelak umatku akan membunuh cucuku ini." Ummul Fadhl binti al-Harits bertanya, "Cucumu ini?"
Nabi Muhammad SAW. menjawab, "Ya! Dan, Jibril pun membawakan untukku segenggam tanah dari tanah (tempat terbunuhnya) Husain yang berwarna merah." (HR Hakim)
Mengutip dari buku Menangis Bersama Nabi karya Erwin Umar, tragedi Karbala tersebut adalah peristiwa menyedihkan sepanjang sejarah peperangan umat Islam, tepatnya saat Bani Umayyah jatuh di tangan Yazid bin Mu'awiyah. Pada tragedi ini, kepala Husain dipenggal kemudian dimainkan layaknya bola anak-anak kecil, ditendang, dan diseret dengan penuh penghinaan.
Pada buku Mulut yang Terkunci: 50 Kisah Haru Para Sahabat Nabi karya Siti Nurlaela, kejadian naas ini bermula ketika kaum muslim marah terhadap Yazid, karena ia merupakan seorang yang korup. Di samping itu, ia juga seorang peminum khamr (anggur) dan menyenangkan dirinya dengan kera dan anjing-anjingnya.
Selain itu, Yazid juga memperoleh kedudukan karena warisan ayahnya, Muawiyah bin Abu Sufyan. Hal itu bertentangan dengan prinsip dari Rasulullah SAW.
Di Makkah, Husain mendapat banyak surat dari penduduk Kufah. Surat-surat itu berisi dukungan mereka kepada Husain. Mereka meminta dukungan kepada Husain dan memintanya untuk datang ke Kufah dan dinobatkan menjadi khalifah.
Saat itu, Husain berada di Madinah. Lalu, ia pun mengutus saudara sepupunya, Muslim bin Aqil, ke Kufah sebagai duta atau wakilnya. Husain meminta saudara sepupunya untuk tinggal di Kufah.
Pada akhirnya, Muslim bin Aqil tinggal bersama Al Mukhtar. Rakyat Kufah pun mendengar kedatangannya, kemudian berbondong-bondong menemui utusan Husain dan bersedia menegakkan pemerintahan ilahi. Namun, ternyata semuanya hanya kebohongan belaka.
Menurut buku Sejarah Agung Hasan dan Husain karya Ukasyah Habibu Ahmad, Husain menuju Kufah. Setelah tiba di daerah Bathnur Rummah, beliau menulis surat kepada penduduk Kufah untuk memberitahukan bahwa dirinya sudah sampai di Bathnur Rummah.
Ia pun kemudian mengutus Qais bin Mashar as-Saidawi. Namun, utusannya itu pun tertangkap oleh pasukan Ubaidillah bin Ziyad lalu dibunuh.
Kemudian, Husain melanjutkan perjalanan hingga tiba di Zarud. Ketika hendak sampai, beliau baru mendapatkan informasi mengenai terbunuhnya Muslim bin Aqil dan Hani' bin Urwah serta pengkhianatan yang dilakukan oleh orang-orang Kufah.
Menyadari hal tersebut, Husain pun memutuskan untuk pulang. Namun, seperti yang disebutkan dalam Al-Akhbar ath-Thiwal, orang-orang bani Aqil berkata, "Bagi kami, tidak ada gunanya hidup setelah Muslim bin Aqil terbunuh. Kami tidak akan kembali sampai kami mati."
Mendengar hal tersebut, Husain pun berkata, "Lantas, apa gunanya aku hidup setelah mereka mati?"
Akhirnya Husain melanjutkan perjalanannya, meskipun kemudian sempat dihadang oleh al-Hurru bi Yazid at-Tamimi atas perintah Ubaidillah bin Ziyad, Husain akhirnya tiba di Karbala pada tanggal 2 Muharram 61 H. Kedatangannya disambut dingin oleh penduduk setempat yang konon mencapai 100 ribu orang yang siap menyatakan janji setia kepada Husain.
Masih dilansir dari buku yang sama, pada akhirnya Husain beserta dengan rombongan dikepung selama beberapa hari, tepat pada tanggal 10 Muharram 61 H. Sebanyak 5 ribu pasukan yang dipimpin oleh Umar bin Sa'ad bin Abi Waqash menyerbu rombongan Husain. Tujuan pengepungan ini adalah atas perintah Ubaidillah bin Ziyad memaksa Husain untuk mengakui kekuasaan Khalifah Yazid bin Mu'awiyyah.
Ibnu Katsir dalam Kitab Al-Bidayah wan Nihayah terjemahan Farid Fahruddin dan Arif Hidayat mengisahkan, pada 10 Muharram pasukan Ubaidillah bin Ziyad memukul kepala Husain dengan pedang hingga berdarah. Lalu, Husain membalut luka di kepalanya dengan merobek kain jubahnya.
Dengan cepat, balutan kain terlihat penuh dengan darah. Saat itu dengan teganya Sina bin Anas bin Amr Nakhai melepaskan panah dan mengenai leher Husain, lalu ia menggorok leher Husain dan menyerahkannya kepada Khawali bin Yazid.
Para ulama berselisih pendapat tentang waktu terbunuhnya Husain, tetapi mayoritas setuju bahwa Husain wafat pada hari Asyura bulan Muharram tahun 61 H. Ibnu Hajar al-Asqalani juga menguatkan bahwa umur Husain saat wafat ialah 56 tahun.
Menurut buku Mahar Bidadari Surga karya Rizem Aizid menjelaskan mengenai mati syahid seperti yang terjadi pada Husain. Bagi para muslim yang wafat saat berperang di jalan Allah SWT termasuk pada jihad fisabilillah.
Oleh karena itu, seseorang yang mati syahid jenazahnya tidak perlu dimandikan. Bahkan tidak perlu diberi kain kafan dan disalatkan. Cukuplah baginya dikuburkan saja dengan pakaian lengkap yang dipakainya ketika jihad fi sabilillah. Untuk itu, saat Husain wafat disebuy tidak mendapatkan kain kafan dari Malaikat Jibril. Wallahu a'lam bisshawab.
(rah/rah)
Komentar Terbanyak
Saudi, Qatar dan Mesir Serukan agar Hamas Melucuti Senjata untuk Akhiri Perang Gaza
Dari New York, 15 Negara Barat Siap Akui Negara Palestina
Daftar Kekayaan Sahabat Nabi