Berziarah ke makam telah menjadi semacam tradisi yang mengakar kuat di Indonesia, terutama ketika mengunjungi makam para wali yang diyakini penuh nilai sejarah dan spiritual. Tidak sedikit orang yang rela melakukan safar atau perjalanan jauh demi mendatangi tempat-tempat tersebut.
Namun, kebiasaan ini memunculkan perdebatan di kalangan umat Islam mengenai batasan dan hukumnya dalam syariat. Pertanyaan pun muncul, sebenarnya, bagaimana hukum safar dalam rangka ziarah kubur menurut Islam?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pandangan yang Menolak Safar untuk Ziarah
Dikutip dari buku Majalah Asy-Syariah edisi 110: Cari Salah Cari Berkah oleh Oase Media, ziarah dalam Islam disyariatkan untuk kuburan yang lokasinya berada di daerah setempat tanpa perlu melakukan safar, atau perjalan jauh.
Tidak boleh dilakukan safar secara khusus untuk ziarah kubur. Sebab, safar untuk ziarah adalah bid'ah tercela yang tidak pernah dicontohkan atau diamalkan oleh kaum salaf.
Pendapat ini berlandaskan sebuah sabda dari Nabi Muhammad SAW, berikut bunyinya,
ΩΩΩΨ§Ω ΨͺΩΨ΄ΩΨ―ΩΩ Ψ§ΩΨ±ΩΩΨΩΨ§ΩΩΨ Ψ₯ΩΩΩΩΨ§ Ψ₯ΩΩΩΩ Ψ«ΩΩΨ§ΩΨ«ΩΨ©Ω Ω ΩΨ³ΩΨ§Ψ¬ΩΨ―Ω Ω ΩΨ³ΩΨ¬ΩΨ―Ω Ψ§ΩΨΩΨ±ΩΨ§Ω ΩΨ ΩΩΩ ΩΨ³ΩΨ¬ΩΨ―Ω Ψ§ΩΨ£ΩΩΩΨ΅ΩΩ ΩΩΩ ΩΨ³ΩΨ¬ΩΨ―ΩΩ
Artinya: "Dan jangan mengencangkan pelana (melakukan perjalanan jauh) kecuali untuk mengunjungi tiga masjid: Masjidil Haram, Masjidil Aqsha, dan Masjidku (Masjid Nabawi)," (HR Bukhari).
Makna hadits tersebut menunjukkan bahwa tidak diperbolehkan melakukan perjalanan khusus menuju masjid atau tempat mana pun yang dianggap memiliki keutamaan tertentu untuk tujuan beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah, kecuali tiga masjid yang disebutkan dalam hadits.
Pandangan yang Membolehkan Safar untuk Ziarah
Ustadz Abdul Wahab Ahmad dalam tulisannya yang berjudul Benarkah Rasulullah Melarang Ziarah Kubur ke Tempat Jauh? menanggapi hadits yang sama tetapi dengan pandangan yang berbeda.
Pandangan pertama yang membolehkan safar untuk ziarah menjelaskan bahwa memahami hadits tersebut secara tekstual, yakni larangan bepergian jauh ke mana pun selain ke tiga masjid tidaklah tepat. Jika dimaknai demikian, berarti seseorang tidak boleh keluar kota untuk alasan apa pun kecuali menuju tiga masjid tersebut, dan ini jelas merupakan pemahaman yang janggal serta tidak pernah dipegang oleh para ulama.
Dalam Islam tidak terdapat larangan aneh semacam itu, bahkan syariat justru menyediakan rukhsah seperti jama' dan qashar sebagai kemudahan bagi Muslim yang melakukan perjalanan jauh. Karena itu, pemahaman literal semacam ini dianggap tidak relevan.
Pandangan kedua menyatakan bahwa hadits tersebut bersifat umum dan tidak memiliki konteks yang berkaitan dengan ziarah kubur. Secara linguistik pun tidak tepat jika dipahami sebagai larangan bepergian jauh untuk mengunjungi makam, kecuali menuju tiga masjid, karena masjid dan makam adalah dua hal yang berbeda sehingga pengecualian tersebut menjadi tidak relevan.
Dalam kaidah ushul fikih yang disepakati para ulama, teks yang bermakna umum dapat ditakhshish apabila ada dalil lain, baik ayat maupun hadits yang memberikan makna lebih khusus. Namun, dalam kasus ini tidak ditemukan satu pun dalil yang berfungsi sebagai mukhasshish sehingga makna umum hadits tersebut tetap pada konteksnya dan tidak terkait dengan larangan safar untuk ziarah kubur.
Pandangan ketiga menegaskan bahwa maksud hadits tersebut adalah larangan melakukan perjalanan jauh khusus untuk mendatangi masjid, kecuali tiga masjid yang disebutkan. Makna "masjid jauh" ini dipahami dari konteks hadits itu sendiri yang memang membahas tentang keutamaan masjid.
Karena yang dikecualikan adalah masjid, maka yang dimaksud dalam larangannya pun mesti sesama masjid, bukan kuburan atau tempat lain. Inilah tafsiran yang dianut oleh mayoritas ulama.
Menurut pandangan ini, seluruh masjid di dunia memiliki kedudukan yang sama dalam hal keutamaan salat, kecuali tiga masjid yang memang memiliki keistimewaan karena pahalanya berlipat ganda: Masjidil Haram, Masjidil Aqsha, dan Masjid Nabawi.
Sahabat Abu Bashrah pernah menegur Abu Hurairah ketika ia pergi ke gunung Thur untuk salat di sana, sebagaimana berikut:
: ΨΉΩ ΨΉΩΨ¨ΩΨ―Ω Ψ§ΩΨ±ΩΩΨΩΩ ΩΩΩ Ψ¨ΩΩΩ Ψ§ΩΩΨΩΨ§Ψ±ΩΨ«Ω Ψ¨ΩΩΩ ΩΩΨ΄ΩΨ§Ω Ω Ψ£ΩΩΩΩΩΩ ΩΩΨ§ΩΩ ΩΩΩΩΩΩ Ψ£ΩΨ¨ΩΩ Ψ¨ΩΨ΅ΩΨ±ΩΨ©Ω Ψ§ΩΩΨΊΩΩΩΨ§Ψ±ΩΩΩΩ Ψ£ΩΨ¨ΩΨ§ ΩΩΨ±ΩΩΩΨ±ΩΨ©Ω ΩΩΩΩΩΩ Ψ¬ΩΨ§Ψ‘Ω Ω ΩΩΩ Ψ§ΩΨ·ΩΩΩΨ±Ω ΩΩΩΩΨ§ΩΩ Ω ΩΩΩ Ψ£ΩΩΩΩΩ Ψ£ΩΩΩΨ¨ΩΩΩΨͺΩ ΩΩΨ§ΩΩ Ω ΩΩΩ Ψ§ΩΨ·ΩΩΩΨ±Ω Ψ΅ΩΩΩΩΩΩΨͺΩ ΩΩΩΩΩ ΩΩΨ§ΩΩ Ψ£ΩΩ ΩΨ§ ΩΩΩΩ Ψ£ΩΨ―ΩΨ±ΩΩΩΨͺΩΩΩ ΩΩΨ¨ΩΩΩ Ψ£ΩΩΩ ΨͺΩΨ±ΩΨΩΩΩ Ψ₯ΩΩΩΩΩΩΩ Ω ΩΨ§ Ψ±ΩΨΩΩΩΨͺΩ Ψ₯ΩΩΩΩΩ Ψ³ΩΩ ΩΨΉΩΨͺΩ Ψ±ΩΨ³ΩΩΩΩ Ψ§ΩΩΩΩΩΩ ΩΩΩΩΩΩΩ ΩΩΨ§ ΨͺΩΨ΄ΩΨ―ΩΩ Ψ§ΩΨ±ΩΩΨΩΨ§ΩΩ Ψ₯ΩΩΩΩΨ§ Ψ₯ΩΩΩΩ Ψ«ΩΩΩΨ§Ψ«ΩΨ©Ω Ω ΩΨ³ΩΨ§Ψ¬ΩΨ―Ω Ψ§ΩΩΩ ΩΨ³ΩΨ¬ΩΨ―Ω Ψ§ΩΩΨΩΨ±ΩΨ§Ω Ω ΩΩΩ ΩΨ³ΩΨ¬ΩΨ―ΩΩ ΩΩΨ°ΩΨ§ ΩΩΨ§ΩΩΩ ΩΨ³ΩΨ¬ΩΨ―Ω Ψ§ΩΩΨ£ΩΩΩΨ΅ΩΩ
"Dari Abdurrahman ibnul Harits bin Hisyam, berkata bahwa Abu Basrah al-Ghifari berjumpa dengan Abu Hurairah yang baru tiba dari Bukit Thur, lantas ia bertanya, 'Dari mana engkau?' 'Dari Bukit Thur, aku shalat di sana,' jawab Abu Hurairah. Abu Bashrah berkata, 'Andai aku sempat menyusulmu sebelum engkau berangkat ke sana, niscaya engkau tidak akan berangkat. Aku mendengar Rasulullah bersabda, 'Tidaklah pelana itu diikat kecuali ke tiga masjid: Masjidil Haram, Masjid Rasul dan Masjidil Aqsha'." (HR. Ahmad).
(hnh/lus)












































Komentar Terbanyak
Tolak Mundur dari Ketum PBNU, Gus Yahya Kumpulkan Ulama Malam Ini Tanpa Rais Aam
Gus Yahya Kumpulkan Alim Ulama di PBNU Malam Ini, Rais Aam & Sekjen Tak Diundang
Fatwa MUI: Bumi & Bangunan Hunian Tak Boleh Kena Pajak Berulang