Hari Santri 2025, Menag Dinobatkan Sebagai Bapak Eco-Teologi Indonesia

Hari Santri 2025, Menag Dinobatkan Sebagai Bapak Eco-Teologi Indonesia

Hanif Hawari - detikHikmah
Rabu, 22 Okt 2025 17:00 WIB
Menteri Agama Prof KH Nasaruddin Umar menjawab pertanyaan dalam wawancara Jejak Pradana oleh detikcom di kantor Kementerian Agama, Jakarta, Senin (20/10/2025).
Menag Prof KH Nasaruddin Umar (Foto: Andhika Prasetia/detikcom)
Jakarta -

Di tengah suasana Hari Santri Nasional (HSN) 2025, Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang menganugerahkan gelar kehormatan kepada Menteri Agama (Menag) RI, Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, M.A. Ia dinobatkan sebagai "Bapak Eco-Teologi Indonesia."

Penobatan ini diserahkan pada Rabu (22/10/2025) di Kampus UIN Malang. Gelar ini dinobatkan sebagai bentuk apresiasi atas gagasan dan kiprah Menag dalam mengintegrasikan spiritualitas Islam dengan kesadaran ekologis di tengah kehidupan modern.

"Penobatan Prof. Nasaruddin Umar sebagai Bapak Eco-Teologi Indonesia adalah simbol kebangkitan paradigma baru: Islam yang berpihak pada alam, manusia, dan masa depan. UIN Malang berkomitmen menjadi pelopor integrasi ilmu, iman, dan lingkungan," kata Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Prof. Dr. Ilfi Nur Diana, M.Si, dalam keterangan persnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Penobatan ini bertepatan dengan momen refleksi atas musibah runtuhnya bangunan ibadah di Pondok Pesantren Al-Khoziny, Sidoarjo, yang menewaskan 67 santri. Prof. Ilfi menyatakan duka mendalam sekaligus menjadikan tragedi tersebut sebagai titik balik.

ADVERTISEMENT

Menurutnya, iman tidak bisa dipisahkan dari tanggung jawab terhadap lingkungan dan keselamatan manusia. Sebuah pandangan yang disebut eco-teologi.

"Kita berduka atas peristiwa di Al-Khoziny. Namun di balik duka itu, ada pesan penting: membangun rumah ibadah dan pesantren bukan sekadar mendirikan bangunan, tetapi membangun peradaban," ujar Prof. Ilfi.

Ia menjelaskan, eco-teologi mengajarkan bahwa setiap proses pembangunan adalah bagian dari amanah Allah yang harus dilakukan dengan ilmu, cinta, dan tanggung jawab.

Tragedi fasilitas pesantren bukan hanya masalah kelalaian teknis, melainkan cerminan perlunya kesadaran teologis baru-bahwa pembangunan fisik adalah bagian dari tauhid praksis atau ibadah.

"Kita tidak bisa memisahkan spiritualitas dari profesionalitas. Amanah membangun pesantren dan tempat ibadah adalah bagian dari tauhid praksis-kesatuan antara iman, ilmu, dan amal," lanjut Prof. Ilfi.




(hnh/lus)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads