Pembagian Kuota Berbasis Masa Tunggu: Bijak atau "(Mem) Bajak"

Kolom Hikmah

Pembagian Kuota Berbasis Masa Tunggu: Bijak atau "(Mem) Bajak"

Nizar Ali, Penulis Opini - detikHikmah
Senin, 01 Des 2025 07:00 WIB
Ilustrasi haji
ilustrasi ibadah haji Foto: Getty Images/iStockphoto/Sony Herdiana
Jakarta -

Pemerintah melalui Kementerian Haji dan Umrah memastikan kebijakan pembagian kuota tahun 2026 dilakukan dengan skema berbasis waiting list adalah adil dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Skema ini dianggap paling baik dan berkeadilan. Bahkan dalam beberapa kesempatan "ada kesan" menyalahkan skema pembagian kuota sebelumnya tidak berkeadilan dan menjadi temuan BPK yang tidak sesuai dengan Undang-undang sebagaimana disampaikan Wakil Menteri Haji, Dahnil Anzar Simanjutak (Kompas.com, 30 September 2025).

Pernyataan tersebut perlu diluruskan agar supaya tidak ada klaim dan prasangka buruk menyalahkan kebijakan Kementerian Agama sebelumnya dalam konteks pembagian kuota. Argumen yang dapat dijelaskan: Pertama, temuan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) tidak menyebutkan pembagian kuota tidak sesuai Undang-Undang, akan tetapi yang benar adalah tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Agama (Warta BPK GO (http://warta.bpk.goid.) 23 Juni 2023).

Dalam rilisnya BPK menyatakan bahwa "terdapat penetapan kuota per provinsi tahun 2022 yang tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 2021. Hal itu ditunjukkan dengan terdapatnya beberapa provinsi (tidak seluruhnya) yang jika dihitung berdasarkan jumlah penduduk muslim seharusnya mendapatkan kuota lebih banyak daripada kuota saat ini".

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jadi pembagian kuota yang ditetapkan Menteri Agama bukan tidak sesuai Undang-Undang, tetapi, realitas di provinsi, pembagian kuota di provinsi tidak sesuai dengan PMA tersebut. Artinya skema pembagian kuota berbasis penduduk muslim tentu dibenarkan menurut BPK, hanya implementasinya tidak sesuai skema itu.

Sebagai konsekuensi logisnya, pembagian kuota selama ini melalui Peraturan Menteri Agama adalah benar dan sesuai peraturan Perundang-undangan. Hanya saja, implementasi di lapangan ada beberapa daerah yang tidak sesuai dengan PMA tersebut. Hal ini sejalan dengan Pasal 13 ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 2019 menyatakan dengan tegas: "Pembagian kuota haji reguler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada pertimbangan: (a) jumlah penduduk muslim antarprovinsi; atau (b) proporsi jumlah daftar tunggu Jemaah Haji antarprovinsi. Ini hal pertama yang perlu diluruskan terkait dengan pembagian kuota skema berbasis penduduk muslim, agar supaya tidak terjadi misunderstanding.

ADVERTISEMENT

Bijak atau (mem)Bajak?

Kedua, "Pernyataan skema waiting list adil apabila jika dianalisis lebih jauh dan tajam justru sebaliknya, bahkan akan menjurus ke arah "pembajakan" kuota di suatu daerah.

Mengapa demikian?

Ada beberapa dalil yang dapat dikemukakan untuk menepis bahwa skema waitimg list adil. Pembagian kuota skema waiting list ini menyalahi kesepakatan negara-negara yang tergabung dalam Organisation of Islamic Cooperation (baca OKI, Organisasi Kerjasama Islam) pada tahun 1987 yang sepakat pembagian kuota haji berbasis jumlah penduduk muslim di sebuah negara dengan rasio 1000:1 (setiap 1000 penduduk muslim mendapat jatah kuota haji 1 orang). Karena itu, basis inilah yang dijadikan dasar penetapan Kementerian Agama selama ini dan dirasa paling adil dan mudah untuk diterapkan.

Tidak berarti kemudian Kementerian Agama tidak memiliki ide menerapkan basis waiting list. Menteri Agama saat itu, Lukman Hakim Saifuddin saat ada ide menyamakan masa tunggu kuota nasional, beliau menilai bahwa dasar logika lemah dan skema OKI dinilai yang paling adil.

Dengan mengacu skema waiting list tanpa memperhatikan aspek lain, maka jumlah jamaah yang akan berangkat tidak memiliki kepastian kapan mereka berangkat. Mereka harus menunggu keputusan pembagian kuota dengan melihat masa tunggu dan jumlah antrian di berbagai daerah.

Alih alih ada kepastian, justru formula kesamaan masa tunggu 26 tahun sama di seluruh provinsi yang diklaim Kementerian Haji, belum jelas di tahun berapa formula waiting list 26 tahun sama di seluruh provinsi akan mencapai titik kesamaan masa tunggu. Apakah sama di tahun 2026, 2027, 2028 atau 2035, hingga sampai saat ini pun Kementerian Haji dan Umrah belum merilis tahun berapa akan ketemu titik kesamaan waiting list di semua provinsi.

Sulit Memprediksi Masa Tunggu

Perlu diketahui bahwa masa tunggu setiap tahun berubah-berubah, fluktuatif dan sulit diprediksi. Hal itu tergantung pergerakan jumlah pendaftar setiap tahunnya di setiap propinsi yang tidak bisa diprediksi.

Semakin banyak jumlah pendaftar di daerah tertentu, tentu semakin panjang dan lama masa antrian keberangkatannya. Jadi masa tunggu sangat ditentukan oleh jumlah pendaftar. Jika pendaftar di suatu daerah lebih banyak, maka semakin lama masa tunggu keberangkatan hajinya.

Sebagai ilustrasi, misalnya, Propinsi A dan Propinsi B. Jika kita mengacu kepada kuota dasar Propinsi A misalnya kita asumsikan tahun 2026 adalah 36.000, sementara tahun itu jumlah pendaftarnya 108.000, maka masa tunggu nya adalah 2 tahun, sehingga tahun 2026 calon jamaah yang berjumlah 36.000 berangkat. Berikutnya 36.000 akan diberangkatkan tahun 2027. Sisanya 36.000 akan diberangkatkan tahun 2028.

Persoalan semakin komplek, jika pada tahun 2027 ada lagi pendaftar 72.000, maka pendaftar ini akan menunggu di tahun 2029 dan 2030. Demikian seterusnya. Provinsi B yang mendapat kuota dasar 6000 misalnya. Jika tahun 2026 calon jamaah yang mendaftar 30.000, maka masa tunggunya menjadi 5 tahun. Belum lagi ketika tahun 2026 jumlah pendaftar 36.000, maka akan mengakumulasi masa tunggu semakin lama, yakni 11 tahun.

Jika skema waiting list diterapkan, maka hal ini akan berpengaruh skema kebarangkatan dengan mengambil ("membajak") kuota Propinsi A yang secara riil sudah mendapat tiket keberangkatan, (karena Propinsi B memiliki masa tunggu lebih lama), beberapa calon jamaah Propinsi A harus mundur.

Inilah menjadi titik ketidakadilannya. Karena calon jamaah yang mestinya berangkat dan sudah membayar setoran awal harus "dipaksa rela" diambil untuk calon jamaah Propinsi B yang massa tunggunya lebih lama.

Skema waiting list jelas tidak adil dan berpotensi menyakiti calon jamaah yang seharusnya berangkat. Mereka sudah memiliki tiket tinggal berangkat lalu tiba-tiba dimundurkan hanya karena daerah lain lebih lama antriannya.

Potensi Malmanajemen

Hal lain yang perlu dikemukakan bahwa jika skema waiting list diterapkan, maka akan terjadi miss manajemen. Letak persoalan perbedaan masa tunggu bukan terletak pada masa tunggunya, tetapi soal manajeman, khususnya pengendalian.

Jumlah masa tunggu ini sulit dikendaikan jika tidak menyusun strtategi manajemen yang tepat. Penerapan skema waiting list justru akan berpontesi pada kesalahan manajemen karena berkonsekuensi pada mengurangi calon jamaah di daerah tertentu dan menambah kuota daerah lain yang masa tunggunya lebih lama.

Moratorium dan Pengendalian Pendaftaran

Bertolak dari permasalahan tersebut, sesungguhnya solusi yang paling tepat dan tidak menyakiti calon jamaah yang sudah mendapat tiket keberangkatan adalah cut off (baca moratorium) pendaftaran didaerah yang antriannya lebih lama dan tetap membuka calon jamaah di daerah yang masa antriannya lebih cepat dari dari daerah lain, bukan melihat waiting list.

Daerah yang antriannya lama, pendaftaran haji ditutup sampai pada titik dimana masa tunggu daerah lain menjadi sama. Skema inilah yang tidak akan berdampak menyakiti calon jamaah yang sudah mendapat porsi keberangkatan. Yang ditutup adalah kesempatan mendaftar dan tidak memiliki konsekuensi pengeluaran uang dari calon jamaah, karena calon jamaah belum mengeluarkan uang setoran awal.

Dengan cara ini tidak memiliki dampak memangkas atau "membajak" calon jamaah yang sudah mengeluarkan uang setoran awal.

Apakah pola moratorium sudah cukup? Jawabannya tentu belum cukup. Skema berikutnya adalah pengendalian jumlah pendaftar setiap tahunnya. Setelah masa tunggu di semua daerah sama, maka dilakukan pencabutan moratorium dengan membuka kembali pendaftar, tetapi harus dikendalikan jumlah pendaftar dengan membatasi jumlah pendaftar sesuai dengan kuota dasar di daerah tertentu. Jika tidak dibatasi, maka kasus kesenjangan waiting list akan terus muncul dan sulit dikendalikan.

Tambahan Kuota

Sejak kesepakatan kuota haji oleh negara negara yang tergabung dalam OKI tahun 1987, belum pernah dilakukan update jumlah penduduk muslim. Karena itu hal ini dapat dijadikan basis negoisasi dan dasar melobi pemerintah Saudi Arabia untuk meminta tambahan kuota.

Jika diplomasi ini berhasil, proses distribusinya diprioritaskan hanya untuk propinsi yang masa tunggunya lebih lama. Dengan cara seperti ini, kesenjangan murakkab dapat diatasi dan secara perlahan tapi pasti akan mencapai titik kesamaan masa tunggu semua daerah, kemudian skema moratorium di provinsi yang masa tunggunya lebih lama diterapkan, propinsi lainnya yang masa tunggunya lebih pendek tetap dibuka dengan pembatasan jumlah pendaftar pada level maksimal kuota dasar provinsi.

Pada saat masa tunggu sudah berada pada titik kesamaan, skema pengendalian jumlah pendaftar diterapkan. Dengan demikian prinsip keadilan dapat tercapai dan tidak bertentangan dengan perundang-undangan.

--

Prof. Dr. H. Nizar Ali, M.Ag.

Penulis adalah Rektor UIN Walisongo Semarang, Wakil Ketua Umum PBNU, Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah tahun 2017-2020, dan Sekjen Kementerian Agama RI tahun 2020-2024.

Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. (Terima kasih - Redaksi)




(dvs/erd)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads