Impian Mahasiswa Palestina Hancur setelah AS Cabut Visa Pelajar

Impian Mahasiswa Palestina Hancur setelah AS Cabut Visa Pelajar

Indah Fitrah - detikHikmah
Senin, 22 Sep 2025 06:30 WIB
The large Palestinian flag (flag of Palestine) is waiving above the city.
Bendera Palestina. Foto: Getty Images/Artaxerxes Longhand
Jakarta -

Puluhan mahasiswa asal Gaza yang sudah diterima di universitas-universitas Amerika Serikat terpaksa menunda mimpinya. Kebijakan baru pemerintahan Donald Trump yang menangguhkan semua visa non-imigran bagi pemegang paspor Otoritas Palestina membuat rencana pendidikan mereka berantakan.

Berdasarkan laporan CNN Politics dikutip Minggu (21/9), seorang mahasiswa Palestina berusia 22 tahun seharusnya sudah tiba di Amerika bulan ini untuk memulai semester pertama di jurusan ilmu komputer. Namun kenyataannya, ia masih terjebak di Gaza setelah rumahnya hancur akibat operasi darat Israel.

Kini ia hanya berusaha bertahan hidup, mencari makanan, air, dan akses internet. "Kami hanya melarikan diri tanpa tahu ke mana. Rasanya seperti mimpi buruk," ujarnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bagi dirinya, diterima di universitas Amerika adalah "cahaya di ujung terowongan" setelah hidup dalam ketakutan dan kehilangan. Namun kebijakan visa baru membuat harapan itu kandas.

Kisah ini tidak berdiri sendiri. Ada banyak mahasiswa lain dengan cerita serupa, yang sudah diterima di kampus luar negeri tetapi terhalang kebijakan baru.

ADVERTISEMENT

Masih dari laporan yang sama, seorang calon mahasiswa PhD fisika harus berjalan satu jam menuju perbatasan Mesir hanya untuk mendapatkan sinyal internet agar bisa mengirim dokumen pendaftaran.

"Proses ini bisa mengorbankan nyawa saya setiap kali," katanya.

Situasi berat juga dialami seorang apoteker berusia 40 tahun. Ia sudah diterima pada program master kesehatan publik, tetapi kebijakan visa baru menghentikan langkahnya.

"Ketika sudah hampir sampai di puncak, semuanya bisa berubah dalam sekejap," ujarnya.

Dari cerita-cerita ini terlihat bahwa perjuangan mahasiswa Gaza tidak hanya soal akademik, tetapi juga soal bertahan hidup di tengah konflik.

The Guardian juga menyoroti kisah Maryam, mahasiswi fisika asal Gaza yang berhasil diterima di program doktoral penuh beasiswa di University of Maryland. Setelah menunda keberangkatan setahun, seharusnya ia mulai kuliah bulan ini.

Namun, Maryam tetap terjebak di Gaza. Ia kehilangan rumah, kampus, dan mentornya, Profesor Sufian Tayeh, rektor Universitas Islam Gaza, yang tewas akibat serangan Israel.

"Rasanya semua mimpiku hancur lagi," katanya pada The Guardian, dikutip Minggu (21/9).

Meski tinggal di tenda pengungsian dengan akses listrik dan internet terbatas, Maryam masih berusaha melanjutkan perjalanan akademiknya. Kisahnya menggambarkan betapa berat jalan yang harus ditempuh mahasiswa Gaza untuk meraih pendidikan tinggi.

Pendiri Student Justice Network (SJN) Juliette Majid menyebut kebijakan ini sangat mengecewakan. Banyak mahasiswa Palestina harus mengulang proses pendaftaran dari awal, padahal mereka sudah berjuang di tengah pengeboman dan pengungsian.

Sejumlah akademisi di Amerika, termasuk Profesor Thomas Cohen dari University of Maryland, menyarankan mahasiswa Palestina mencari peluang di Eropa atau Kanada. Namun hambatan tetap besar. Perbatasan Mesir masih tertutup, sementara serangan Israel semakin intensif.

Situasi ini membuat masa depan mahasiswa Gaza kian tidak menentu, meski semangat mereka untuk tetap melanjutkan pendidikan belum padam.




(inf/erd)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads