Zihar Adalah: Pengertian, Hukum, dan Kafaratnya

Zihar Adalah: Pengertian, Hukum, dan Kafaratnya

Hanif Hawari - detikHikmah
Jumat, 12 Sep 2025 08:45 WIB
Pregnancy And Relationship Problems. Pregnant Muslim Spouses Arguing At Home, Expectant Muslim Lady In Hijab And Her Arab Husband Quarreling While Sitting On Couch In Living Room, Free Space
Ilustrasi suami menzihar istrinya (Foto: Getty Images/iStockphoto/Prostock-Studio)
Jakarta -

Zihar adalah salah satu istilah dalam hukum Islam yang memiliki konsekuensi hukum dan kewajiban tertentu bagi pelakunya. Istilah ini berkaitan erat dengan hubungan suami istri, dan termasuk dalam kategori pelanggaran yang memiliki kewajiban membayar kafarat.

Dalam ajaran Islam, zihar merupakan salah satu bagian dari hukum kafarat yang sudah diatur dengan jelas dalam syariat. Lantas, apa itu zihar dan bagaimana ketentuan hukum serta kafarat yang harus dibayar bagi yang melakukannya?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pengertian Zihar

Zihar merupakan salah satu tradisi pada masa jahiliyah yang dilarang dalam ajaran Islam. Secara bahasa berarti "punggung". Sedangkan secara istilah, zihar adalah ucapan seorang suami yang menyamakan istrinya dengan perempuan yang haram dinikahinya selamanya (mahram).

Dalam buku Oase Iman Media Sosial karya Abdi Kurnia Djohan dijelaskan bahwa perempuan yang dimaksud bisa saja ibu, saudara perempuan, bibi, atau kerabat dekat yang haram dinikahi. Contoh ucapan zihar misalnya, "Punggungmu seperti punggung ibuku," yang bermakna "Engkau haram aku gauli sebagaimana haramnya aku menggauli ibuku."

ADVERTISEMENT

Kisah Zihar dalam Islam

Mengutip dari buku yang sama, kisah hukum zihar bermula ketika Aus bin Shamit mengucapkan kata-kata yang menyamakan istrinya yang bernama Haulah, dengan ibu kandungnya. Merasa tidak adil dengan perlakuan tersebut, Haulah pun mengadu kepada Allah SWT.

Suatu hari, Haulah mendatangi Rasulullah SAW dan berkata, "Wahai Rasulullah, Aus bin Shamit menikahiku, aku adalah perempuan yang sangat ia cintai. Namun, ketika usiaku menua dan tubuhku mulai berubah, ia menyamakanku dengan ibunya."

Rasulullah menjawab, "Aku belum mendapatkan keputusan untuk perkaramu." Mendengar itu, Haulah pun berdoa, "Ya Allah, aku mengadu kepada-Mu!"

Tak lama kemudian, Allah SWT menurunkan wahyu terkait hukum zihar melalui Surah Al-Mujadilah ayat 3, berikut bunyinya.

وَالَّذِيْنَ يُظٰهِرُوْنَ مِنْ نِّسَاۤىِٕهِمْ ثُمَّ يَعُوْدُوْنَ لِمَا قَالُوْا فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مِّنْ قَبْلِ اَنْ يَّتَمَاۤسَّاۗ ذٰلِكُمْ تُوْعَظُوْنَ بِهٖۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ ۝٣

Arab latin: walladzîna yudhâhirûna min nisâ'ihim tsumma ya'ûdûna limâ qâlû fa taḫrîru raqabatim ming qabli ay yatamâssâ, dzâlikum tû'adhûna bih, wallâhu bimâ ta'malûna khabîr

Artinya: Orang-orang yang menzihar istrinya kemudian menarik kembali apa yang telah mereka ucapkan wajib memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu berhubungan badan. Demikianlah yang diajarkan kepadamu. Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.

Ayat tersebut memerintahkan bahwa suami yang menzihar istrinya lalu ingin kembali kepadanya, wajib memerdekakan seorang budak sebelum mereka kembali berhubungan suami istri. Allah menegaskan, hukum ini disampaikan agar manusia memahami, dan Dia Maha Teliti terhadap segala perbuatan.

Hukuman Zihar

Larangan zihar dalam Islam disertai dengan hukuman serta konsekuensi yang harus ditanggung pelakunya. Menurut Sudarto dalam buku Ilmu Fiqih, seorang suami yang menzihar istrinya secara sah akan menghadapi dua akibat utama.

1. Diharamkan untuk berhubungan badan

Suami tidak boleh melakukan hubungan intim dengan istrinya sebelum melunasi kewajiban kafarat. Larangan ini juga mencakup tindakan pendahuluan seperti mencium, memeluk, atau mengecup leher, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Malik dan Abu Hanifah dalam karya mereka.

Namun, Imam Syafi'i berpendapat bahwa zihar hanya mengharamkan hubungan intim pada bagian kelamin istri saja, tidak pada bagian tubuh lainnya.

2. Wajib membayar kafarat untuk kembali

Para ulama memiliki perbedaan pendapat mengenai arti "kembali" dalam konteks ini. Menurut Ibnu Qatadah, Sa'id bin Zubair, Abu Hanifah, dan para muridnya, "kembali" berarti melanjutkan hubungan suami istri yang sebelumnya diharamkan akibat zihar.

Hal ini hanya bisa dilakukan jika suami telah membayar kafarat yang ditetapkan, yaitu memerdekakan seorang budak atau hamba sahaya.

Jika tidak mampu, ia wajib berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Apabila masih tidak sanggup, maka harus memberi 2,5 kg beras kepada 60 orang miskin.

Wallahu a'lam.




(hnh/inf)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads