Majelis Ulama Indonesia (MUI) akan mengecek permohonan fatwa dari Center of Economic and Law Studies (Celios) terkait isu rangkap jabatan di kalangan menteri dan wakil menteri. Jika ada, MUI akan membahas permohonan tersebut dalam rapat Komisi Fatwa.
"Saya akan cek dulu ya di sekretariat. Biasanya jika ada surat permohonan fatwa, akan dilanjutkan ke Komisi Fatwa untuk dibahas," kata Ketua MUI Bidang Fatwa Asrorun Niam Sholeh, saat dihubungi detikcom, Rabu (10/9/2025).
Asrorun menjelaskan, salah satu tugas MUI adalah memberikan bimbingan keagamaan dan jawaban hukum Islam terkait masalah sosial dengan perspektif keagamaan. Permohonan fatwa dari Celios ini akan menjadi salah satu bahasan dalam tugas tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelumnya, Celios mengajukan fatwa ke MUI soal hukum penghasilan menteri/wakil menteri yang rangkap jabatan menjadi komisaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Surat tersebut terdaftar dengan nomor 72/CELIOS/IX/2025 dan diunggahnya di Instagram.
Dalam surat tersebut, Celios secara spesifik menyebut putusan MK 128/PUU-XXIII/2025 sebagai dasar permohonan pemberian fatwa MUI. Putusan MK itu mengatakan bahwa menteri maupun wakil menteri dilarang merangkap jabatan sebagai komisaris di BUMN.
Namun, larangan tersebut hingga saat ini belum dijalankan oleh pemerintah. Tidak ada menteri maupun wakil menteri yang mengundurkan diri dari jabatan komisaris itu.
3 Pertanyaan Celios kepada MUI untuk Difatwakan
Berikut isi surat permohonan Celios kepada MUI selengkapnya.
Nomor: 72/CELIOS/IX/2025
Hal: Permohonan Fatwa tentang Hukum Penghasilan Menteri/Wamen yang Rangkap Jabatan Komisaris
Kepada Yth.
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)
di Jakarta Pusat
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Dengan hormat,
Perkenankan kami dari CELIOS (Center of Economic and Law Studies), lembaga riset independen berkaitan dengan isu-isu ekonomi dan hukum di Indonesia. Melalui surat ini, kami bermaksud mengajukan permohonan fatwa kepada Komisi Fatwa MUI terkait masalah hukum penghasilan pejabat negara yang saat ini sedang menjadi perhatian publik.
Sebagaimana diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan Nomor 128/PUU-XXIII/2025' telah memutuskan bahwa Menteri maupun Wakil Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai komisaris di Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Namun hingga saat ini, larangan tersebut belum dijalankan oleh pemerintah, dan tidak ada Menteri maupun Wakil Menteri yang mengundurkan diri dari jabatan komisaris tersebut.
Sehubungan dengan itu, kami memohon penjelasan dan fatwa dari MUI mengenai hal berikut:
- Bagaimana hukum penghasilan atau honorarium yang diterima oleh Menteri dan Wakil Menteri dari jabatan rangkap sebagai komisaris BUMN, mengingat larangan tersebut telah diputuskan secara hukum oleh Mahkamah Konstitusi?
- Apakah penghasilan tersebut dinilai halal, syubhat, atau haram menurut syariat Islam?
- Bagaimana sebaiknya umat Islam, khususnya pejabat negara, menyikapi hal ini agar selaras dengan prinsip keadilan, amanah, dan transparansi dalam pengelolaan keuangan negara?
Demikian surat permohonan fatwa ini kami sampaikan. Atas perhatian dan jawaban dari Komisi Fatwa MUI, kami ucapkan terima kasih. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala senantiasa memberikan bimbingan dan petunjuk-Nya kepada kita semua.
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Hormat kami,
Media Wahyudi Askar, Ph.D
Direktur Kebijakan Publik, CELIOS
Bhima Yudhistira, M.Sc
Direktur Eksekutif, CELIOS
Nailul Huda, M.E
Direktur Ekonomi, CELIOS
(hnh/kri)
Komentar Terbanyak
Eks Menag Yaqut Tegaskan 2 Rumah Rp 6,5 M yang Disita KPK Bukan Miliknya
KPK Sebut Pejabat Kemenag Tiap Tingkat Dapat Jatah di Kasus Korupsi Kuota Haji
Perjalanan Umrah Ruben Onsu, Doa yang Cepat Diijabah dan Bisa Cium Hajar Aswad