PBNU Desak Pemerintah Susun Strategi Jitu Cegah Kekerasan di Lembaga Pendidikan

PBNU Desak Pemerintah Susun Strategi Jitu Cegah Kekerasan di Lembaga Pendidikan

Hanif Hawari - detikHikmah
Sabtu, 08 Feb 2025 17:00 WIB
Ketua PBNU Rumadi Ahmad (tengah) dalam acara Sarasehan Ulama di The Sultan Hotel & Residence Jakarta , Selasa (4/2/2025).
Ketua PBNU Rumadi Ahmad (tengah) dalam acara Sarasehan Ulama di The Sultan Hotel & Residence Jakarta , Selasa (4/2/2025). Foto: Grandyos Zafna
Jakarta -

Konferensi Besar (Konbes) Nahdlatul Ulama (NU) 2025 telah selesai. Sejumlah rekomendasi penting dihasilkan untuk pemerintah.

Salah satunya adalah pemerintah perlu segera merumuskan strategi besar yang lebih efektif dan efisien untuk menanggulangi kekerasan di lembaga pendidikan, termasuk pesantren. Hal ini tertuang dalam siaran pers yang diterima detikHikmah, Sabtu (8/2/2025).

"Mengorkestrasi grand strategy tersebut dengan meningkatkan partisipasi serta kemitraan dengan lembaga keagamaan dan lembaga masyarakat sipil," ujar Pemimpin Sidang Komisi Rekomendasi Rumadi Ahmad di The Sultan Hotel dan Residance Jakarta.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selain itu, NU juga menekankan pentingnya respons cepat, adil, dan objektif dari aparat penegak hukum dalam menangani setiap kasus kekerasan di lembaga pendidikan. PBNU mendorong pembentukan Satuan Tugas Penanggulangan Kekerasan di Lembaga Pendidikan sebagai pelengkap dari Satgas Penanggulangan Kekerasan di Pesantren.

"PBNU juga perlu memfasilitasi dan mengakselerasi implementasi Peta Jalan Penanggulangan Kekerasan di Pesantren," kata Rumadi.

ADVERTISEMENT

Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI) diharapkan menjadi leading sector dalam akselerasi transformasi pesantren menuju lingkungan pendidikan yang lebih aman dan nyaman bagi seluruh santri.

Kekerasan di Lingkungan Pendidikan

Rumadi mengungkapkan bahwa kasus kekerasan di lembaga pendidikan, termasuk pesantren, semakin meningkat dalam beberapa waktu terakhir. Data Komnas Perempuan mencatat bahwa pada tahun 2022, kasus kekerasan seksual di pesantren berada pada peringkat kedua tertinggi setelah perguruan tinggi.

Selain itu, analisis konten pemberitaan media menunjukkan bahwa dalam satu tahun terakhir terdapat lebih dari 90 kasus kekerasan di pesantren, dengan 72% di antaranya merupakan kekerasan seksual (Data Saka Pesantren PBNU)

"Resonansi kasus kekerasan di lembaga pendidikan termasuk di pesantren menjadi berlipat ganda karena kekuatan media sosial," kata Rumadi.

masyarakat semakin sadar akan aturan hukum, namun pada saat yang sama juga semakin reaktif terhadap isu-isu sensitif seperti kekerasan di lembaga pendidikan. Hal ini sering kali berujung pada tindakan main hakim sendiri terhadap pelaku atau lembaga pendidikan terkait, sehingga dampak negatifnya meluas tidak hanya bagi korban, tetapi juga bagi reputasi lembaga pendidikan.

Berbagai kebijakan yang telah dikembangkan oleh pemerintah, seperti program pemberantasan 3 Dosa Besar Pendidikan dari Kementerian Pendidikan, kebijakan Pesantren Ramah Anak dari KPPPA dan Kemenag, serta regulasi lainnya, dinilai belum membuahkan perubahan signifikan. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah yang lebih efektif dan segera untuk menangani persoalan ini.

NU secara khusus telah berkomitmen untuk menangani kekerasan di lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan Muslimat NU, LP Maarif NU, LPTNU, serta pesantren yang bernaung di bawah Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI). Untuk itu, PBNU telah mengambil sejumlah inisiatif, seperti menunjuk Tim Lima, menyelenggarakan Halaqah Syuriyah PBNU bersama para kiai, membentuk Satuan Tugas Penanggulangan Kekerasan di Pesantren (SAKA Pesantren), serta menyusun Peta Jalan Transformasi Budaya Pesantren Nir-Kekerasan.

Namun, upaya ini tidak bisa dilakukan oleh NU sendiri. Rumadi menegaskan bahwa pendekatan multi-pihak yang sistematis sangat diperlukan agar upaya ini berjalan efektif.

"Negara harus hadir untuk mengorkestrasi grand design strategi penanggulangan kekerasan di lembaga pendidikan, khususnya pesantren," tegasnya.




(hnh/lus)

Hide Ads