Mengenal Hibah dalam Islam: Hukum, Rukun, Jenis, Larangan, dan Syaratnya

Mengenal Hibah dalam Islam: Hukum, Rukun, Jenis, Larangan, dan Syaratnya

Indah Fitrah - detikHikmah
Selasa, 14 Jan 2025 10:15 WIB
Ilustrasi hibah.
Ilustrasi hibah. Foto: Freepik/Freepik
Jakarta -

Kata hibah mungkin sudah tidak asing lagi di telinga kita. Hibah dalam bahasa Indonesia dapat disebut hadiah, yaitu pemberian sesuatu secara sukarela tanpa mengharapkan balasan.

Namun, ada banyak hal yang perlu dipahami tentang hibah, seperti hukum yang mengaturnya, syarat yang harus dipenuhi, dan jenis-jenis hibah yang ada.

Pengertian Hibah dalam Islam

Mengutip buku Fiqih, yang diterbitkan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas KH. A. Wahab Hasbullah, hibah berasal dari bahasa Arab هبة, yang memiliki arti pemberian. Secara istilah, hibah adalah suatu bentuk pemberian oleh seseorang kepada orang lain secara sukarela dan cuma-cuma, tanpa mengharapkan imbalan, semata-mata demi memperoleh ridha Allah Swt.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pemberian hibah tidak terbatas pada hubungan keluarga. Siapapun dapat memberikan hibah kepada orang lain, selama dilakukan dengan niat yang tulus. Penerima hibah juga tidak memiliki kewajiban untuk membalas pemberian tersebut.

Agar hibah menjadi sah, perlu adanya ijab qabul atau serah terima secara nyata. Jika hanya berupa niat atau pernyataan tanpa disertai penyerahan barang, maka hal tersebut belum dianggap sebagai hibah.

ADVERTISEMENT

Hukum dan Dalil Hibah

Hukum asal hibah adalah mubah (boleh). Sebagian ulama mengatakan hibah hukumnya sunnah. Rasulullah SAW bersabda,

"Janganlah seseorang menganggap remeh tetangganya meskipun (hanya dengan pemberian) berupa teracak kambing." (HR. Bukhari Muslim)

Hukum hibah juga bisa menjadi makruh apabila tujuannya adalah riya' (agar dilihat orang) atau sum'ah (agar didengar orang lain) serta berbangga diri.

Syarat dan Rukun Hibah

Hibah merupakan pemberian yang dilakukan dengan sukarela oleh seseorang kepada orang lain tanpa mengharapkan imbalan. Dalam pelaksanaannya, hibah memiliki syarat dan rukun yang harus dipenuhi.

Berikut ini syarat dan rukun hibah yang dirangkum dari arsip detikHikmah dan buku Fiqih, yang diterbitkan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas KH. A. Wahab Hasbullah.

1. Penghibah (Waahib)

Penghibah (waahib) harus memenuhi beberapa syarat agar hibah yang diberikan sah. Beberapa syarat tersebut antara lain:

  • Memiliki benda yang dihibahkan secara sah. Penghibah harus memiliki barang yang akan dihibahkan, baik secara kepemilikan nyata maupun berdasarkan hukum yang berlaku.
  • Sudah aqil-baligh (dewasa dan berakal). Hibah hanya sah jika dilakukan oleh penghibah yang telah dewasa dan berakal. Orang yang gila, anak kecil, serta orang bodoh atau tidak sempurna akalnya, tidak dapat memberikan hibah yang sah.
  • Adanya ijab dan kabul dalam pelaksanaan hibah. Pelaksanaan hibah harus dilakukan dengan pernyataan ijab (memberi) dan kabul (menerima) sebagai bukti kesepakatan kedua belah pihak. Penerima hibah harus ada dalam wujud nyata (tidak berada dalam kandungan) dan sudah cukup umur untuk bertransaksi.

2. Orang yang Menerima Hibah (Mauhuub lahu)

Penerima hibah (mauhuub lahu) juga harus memenuhi syarat tertentu agar hibah dapat diterima dengan sah:

  • Sudah ada pada saat akad hibah. Penerima hibah harus sudah ada saat akad hibah berlangsung. Misalnya, hibah kepada janin yang masih dalam kandungan tidak sah karena penerima belum ada secara fisik.
  • Penerima tidak dalam keadaan terganggu akalnya. Jika penerima hibah mengalami gangguan mental saat hibah diberikan, maka hibah tersebut harus dikelola oleh wali atau orang yang bertanggung jawab atasnya, meskipun bukan keluarga dekat.

3. Barang yang Dihibahkan (Mauhuub)

Barang yang dihibahkan harus memenuhi beberapa syarat agar hibahnya sah, yaitu:

  • Milik pemberi hibah (waahib). Barang yang dihibahkan harus benar-benar milik pemberi hibah, dan bukan barang milik orang lain.
  • Barang sudah ada saat akad hibah. Barang yang dihibahkan harus sudah ada dan jelas keberadaannya pada saat akad hibah berlangsung.
  • Memiliki nilai atau harga. Barang yang dihibahkan harus memiliki nilai atau harga yang jelas, baik secara materi atau fungsional.
  • Boleh dimiliki menurut agama. Barang yang dihibahkan harus diperbolehkan untuk dimiliki menurut hukum agama yang berlaku.
  • Telah dipisahkan dari harta milik pemberi hibah. Barang yang dihibahkan harus sudah dipisahkan dari harta milik pemberi hibah dan tidak lagi menjadi bagian dari kekayaan pribadinya.
  • Dapat dipindahkan status kepemilikannya. Barang yang dihibahkan harus bisa dipindahkan kepemilikannya dari pemberi hibah kepada penerima hibah dengan sah.

4. Akad atau Ijab dan Kabul

Akad hibah dilakukan dengan ijab (pernyataan pemberian) dan kabul (penerimaan) oleh kedua belah pihak. Akad ini menjadi bukti sah bahwa hibah telah diberikan dan diterima.

Jenis-jenis Hibah

Hibah dibagi menjadi dua jenis, yaitu:

1. Hibah Barang

Ini adalah pemberian barang atau harta kepada orang lain, di mana barang tersebut beserta manfaatnya diserahkan tanpa mengharapkan balasan apapun. Contohnya bisa berupa rumah, tanah, mobil, sepeda motor, pakaian, dan sebagainya.

2. Hibah Manfaat

Dalam hibah ini, harta atau barang diberikan kepada orang lain untuk digunakan, tetapi kepemilikan barang tersebut tetap berada pada pemberi hibah. Penerima hibah hanya berhak memanfaatkan barang tersebut, bukan memilikinya.

Hukum Mengambil Kembali Hibah

Mayoritas ulama berpendapat bahwa mencabut hibah itu tidak diperbolehkan (haram), kecuali jika hibah tersebut diberikan oleh orang tua kepada anaknya. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW,

"Tidak halal seorang muslim memberikan suatu barang kemudian ia tarik kembali, kecuali seorang bapak kepada anaknya" (HR. Abu Dawud).
Namun, hibah bisa dicabut karena beberapa alasan, salah satunya:

1. Jika hibah diberikan oleh orang tua kepada anaknya

Orang tua diperbolehkan mencabut hibah jika hal itu dianggap demi kebaikan anaknya.

Contohnya, seorang ayah memberikan sebuah mobil kepada anaknya, tetapi mobil tersebut ternyata tidak digunakan dengan semestinya, seperti melakukan maksiat.

2. Jika dianggap ada ketidakadilan di antara anak-anaknya

Yang dimaksud adalah jika pemberian harta atau hak tidak merata atau dianggap tidak adil oleh anak-anak, hal ini bisa menimbulkan masalah atau perasaan tidak puas di antara mereka.

3. Jika pemberian hibah tersebut bisa menyebabkan iri hati atau fitnah dari orang lain

Ini berarti jika pemberian hibah tersebut membuat orang lain merasa cemburu atau menggunakannya untuk menyebarkan gosip atau fitnah, maka sebaiknya hibah tersebut dipertimbangkan ulang.




(inf/lus)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads