- Pengertian Hibah dalam Islam
- Hukum dan Dalil Hibah
- Syarat dan Rukun Hibah 1. Penghibah (Waahib) 2. Orang yang Menerima Hibah (Mauhuub lahu) 3. Barang yang Dihibahkan (Mauhuub) 4. Akad atau Ijab dan Kabul
- Jenis-jenis Hibah 1. Hibah Barang 2. Hibah Manfaat
- Hukum Mengambil Kembali Hibah 1. Jika hibah diberikan oleh orang tua kepada anaknya 2. Jika dianggap ada ketidakadilan di antara anak-anaknya 3. Jika pemberian hibah tersebut bisa menyebabkan iri hati atau fitnah dari orang lain
Kata hibah mungkin sudah tidak asing lagi di telinga kita. Hibah dalam bahasa Indonesia dapat disebut hadiah, yaitu pemberian sesuatu secara sukarela tanpa mengharapkan balasan.
Namun, ada banyak hal yang perlu dipahami tentang hibah, seperti hukum yang mengaturnya, syarat yang harus dipenuhi, dan jenis-jenis hibah yang ada.
Pengertian Hibah dalam Islam
Mengutip buku Fiqih, yang diterbitkan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas KH. A. Wahab Hasbullah, hibah berasal dari bahasa Arab هبة, yang memiliki arti pemberian. Secara istilah, hibah adalah suatu bentuk pemberian oleh seseorang kepada orang lain secara sukarela dan cuma-cuma, tanpa mengharapkan imbalan, semata-mata demi memperoleh ridha Allah Swt.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pemberian hibah tidak terbatas pada hubungan keluarga. Siapapun dapat memberikan hibah kepada orang lain, selama dilakukan dengan niat yang tulus. Penerima hibah juga tidak memiliki kewajiban untuk membalas pemberian tersebut.
Agar hibah menjadi sah, perlu adanya ijab qabul atau serah terima secara nyata. Jika hanya berupa niat atau pernyataan tanpa disertai penyerahan barang, maka hal tersebut belum dianggap sebagai hibah.
Hukum dan Dalil Hibah
Hukum asal hibah adalah mubah (boleh). Sebagian ulama mengatakan hibah hukumnya sunnah. Rasulullah SAW bersabda,
"Janganlah seseorang menganggap remeh tetangganya meskipun (hanya dengan pemberian) berupa teracak kambing." (HR. Bukhari Muslim)
Hukum hibah juga bisa menjadi makruh apabila tujuannya adalah riya' (agar dilihat orang) atau sum'ah (agar didengar orang lain) serta berbangga diri.
Syarat dan Rukun Hibah
Hibah merupakan pemberian yang dilakukan dengan sukarela oleh seseorang kepada orang lain tanpa mengharapkan imbalan. Dalam pelaksanaannya, hibah memiliki syarat dan rukun yang harus dipenuhi.
Berikut ini syarat dan rukun hibah yang dirangkum dari arsip detikHikmah dan buku Fiqih, yang diterbitkan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas KH. A. Wahab Hasbullah.
1. Penghibah (Waahib)
Penghibah (waahib) harus memenuhi beberapa syarat agar hibah yang diberikan sah. Beberapa syarat tersebut antara lain:
- Memiliki benda yang dihibahkan secara sah. Penghibah harus memiliki barang yang akan dihibahkan, baik secara kepemilikan nyata maupun berdasarkan hukum yang berlaku.
- Sudah aqil-baligh (dewasa dan berakal). Hibah hanya sah jika dilakukan oleh penghibah yang telah dewasa dan berakal. Orang yang gila, anak kecil, serta orang bodoh atau tidak sempurna akalnya, tidak dapat memberikan hibah yang sah.
- Adanya ijab dan kabul dalam pelaksanaan hibah. Pelaksanaan hibah harus dilakukan dengan pernyataan ijab (memberi) dan kabul (menerima) sebagai bukti kesepakatan kedua belah pihak. Penerima hibah harus ada dalam wujud nyata (tidak berada dalam kandungan) dan sudah cukup umur untuk bertransaksi.
2. Orang yang Menerima Hibah (Mauhuub lahu)
Penerima hibah (mauhuub lahu) juga harus memenuhi syarat tertentu agar hibah dapat diterima dengan sah:
- Sudah ada pada saat akad hibah. Penerima hibah harus sudah ada saat akad hibah berlangsung. Misalnya, hibah kepada janin yang masih dalam kandungan tidak sah karena penerima belum ada secara fisik.
- Penerima tidak dalam keadaan terganggu akalnya. Jika penerima hibah mengalami gangguan mental saat hibah diberikan, maka hibah tersebut harus dikelola oleh wali atau orang yang bertanggung jawab atasnya, meskipun bukan keluarga dekat.
3. Barang yang Dihibahkan (Mauhuub)
Barang yang dihibahkan harus memenuhi beberapa syarat agar hibahnya sah, yaitu:
- Milik pemberi hibah (waahib). Barang yang dihibahkan harus benar-benar milik pemberi hibah, dan bukan barang milik orang lain.
- Barang sudah ada saat akad hibah. Barang yang dihibahkan harus sudah ada dan jelas keberadaannya pada saat akad hibah berlangsung.
- Memiliki nilai atau harga. Barang yang dihibahkan harus memiliki nilai atau harga yang jelas, baik secara materi atau fungsional.
- Boleh dimiliki menurut agama. Barang yang dihibahkan harus diperbolehkan untuk dimiliki menurut hukum agama yang berlaku.
- Telah dipisahkan dari harta milik pemberi hibah. Barang yang dihibahkan harus sudah dipisahkan dari harta milik pemberi hibah dan tidak lagi menjadi bagian dari kekayaan pribadinya.
- Dapat dipindahkan status kepemilikannya. Barang yang dihibahkan harus bisa dipindahkan kepemilikannya dari pemberi hibah kepada penerima hibah dengan sah.
4. Akad atau Ijab dan Kabul
Akad hibah dilakukan dengan ijab (pernyataan pemberian) dan kabul (penerimaan) oleh kedua belah pihak. Akad ini menjadi bukti sah bahwa hibah telah diberikan dan diterima.
Jenis-jenis Hibah
Hibah dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
1. Hibah Barang
Ini adalah pemberian barang atau harta kepada orang lain, di mana barang tersebut beserta manfaatnya diserahkan tanpa mengharapkan balasan apapun. Contohnya bisa berupa rumah, tanah, mobil, sepeda motor, pakaian, dan sebagainya.
2. Hibah Manfaat
Dalam hibah ini, harta atau barang diberikan kepada orang lain untuk digunakan, tetapi kepemilikan barang tersebut tetap berada pada pemberi hibah. Penerima hibah hanya berhak memanfaatkan barang tersebut, bukan memilikinya.
Hukum Mengambil Kembali Hibah
Mayoritas ulama berpendapat bahwa mencabut hibah itu tidak diperbolehkan (haram), kecuali jika hibah tersebut diberikan oleh orang tua kepada anaknya. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW,
"Tidak halal seorang muslim memberikan suatu barang kemudian ia tarik kembali, kecuali seorang bapak kepada anaknya" (HR. Abu Dawud).
Namun, hibah bisa dicabut karena beberapa alasan, salah satunya:
1. Jika hibah diberikan oleh orang tua kepada anaknya
Orang tua diperbolehkan mencabut hibah jika hal itu dianggap demi kebaikan anaknya.
Contohnya, seorang ayah memberikan sebuah mobil kepada anaknya, tetapi mobil tersebut ternyata tidak digunakan dengan semestinya, seperti melakukan maksiat.
2. Jika dianggap ada ketidakadilan di antara anak-anaknya
Yang dimaksud adalah jika pemberian harta atau hak tidak merata atau dianggap tidak adil oleh anak-anak, hal ini bisa menimbulkan masalah atau perasaan tidak puas di antara mereka.
3. Jika pemberian hibah tersebut bisa menyebabkan iri hati atau fitnah dari orang lain
Ini berarti jika pemberian hibah tersebut membuat orang lain merasa cemburu atau menggunakannya untuk menyebarkan gosip atau fitnah, maka sebaiknya hibah tersebut dipertimbangkan ulang.
Baca juga: Pengertian Infaq, Hukum, dan Keutamaannya |
(inf/lus)
Komentar Terbanyak
Saudi, Qatar dan Mesir Serukan agar Hamas Melucuti Senjata untuk Akhiri Perang Gaza
Dari New York, 15 Negara Barat Siap Akui Negara Palestina
Mengoplos Beras Termasuk Dosa Besar & Harta Haram, Begini Penjelasan MUI