Kalangan santri di pondok pesantren identik dengan pakaian khasnya berupa sarung. Saking seringnya dikenakan para santri, sarung seolah menjadi simbol.
Hampir sepanjang hari, santri di ponpes mengenakan sarung dalam segala aktivitasnya. Sarung juga menjadi atribut ketika melaksanakan ibadah seperti salat atau mengaji.
Baca juga: 18 Puisi Hari Santri Nasional Menyentuh Hati |
Dalam buku Santrilogi: Berbicara Segala Hal Perspektif Seorang Santri yang ditulis Andri Nurjaman, dijelaskan bahwa sarung telah menjadi identitas bagi kalangan santri di dunia pesantren.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ada yang mengatakan bahwa kata "sarung" berasal dari kata "syar'i" yang artinya syariat yang bermakna syariat atau aturan Islam. Dari kata syar'i itu bentuk masdarnya adalah "syarun" dan akhirnya menjadi kata sarung.
Sejarah Sarung
Merujuk pada beberapa catatan sejarah, sarung pertama kali dibawa dan diperkenalkan di Nusantara melalui saudagar asal Arab dan Gujarat India. Komunitas pedagang muslim tersebut yang juga membawa ajaran Islam hingga akhirnya masuk ke Nusantara.
Peristiwa ini terjadi sekitar abad ke-14. Saat itu para pedagang muslim mengenakan sarung serta membawa sarung sebagai salah satu barang dagangan mereka.
Di samping itu, ada catatan literatur yang menyebutkan bahwa sarung berasal dari Yaman. Di Yaman, sarung disebut dengan futah.
Dalam Majalah Inspirasi Vol XV - No.1 Edisi Oktober 2019 oleh Tim SMA Muhammadiyah 1 Gresik, disebutkan sarung berasal dari kain putih yang dicelupkan ke dalam neel atau perwarna hitam.
Seiring berjalannya waktu, penggunaan sarung meluas mulai dari Semenanjung Arab, hingga Asia Selatan, Afrika, Asia Tenggara, Eropa, hingga Amerika.
Sarung kemudian menjadi pakaian dari komunitas pelaut di Semenanjung Malaya, dekat Sumatra dan Jawa. Menurut seorang peneliti Gittinger, sarung lalu diperkenalkan di pulau Madura dan sepanjang pantai utara Jawa.
Penggunaan istilah sarung ditemukan dalam karya sastra awal abad XIX berjudul Hikayat Kadiroen. Dalam karya ini dikisahkan tentang orang Arab yang dianggap berperilaku aneh oleh masyarakat.
Keanehan tersebut diceritakan bahwa orang Arab itu berkeliling kampung sembari menawarkan sarung kepada masyarakat. Cerita Kadiroen ini menyiratkan, penggunaan sarung sebagai simbol pergaulan sesama masyarakat tidak boleh redup meski sudah ada larangan kompeni untuk bergerombol menonton pertunjukkan.
Penggunaan sarung kemudian meluas dengan sangat cepat. Bahkan kini di Indonesia telah ditetapkan Hari Sarung Nasional yang diperingati setiap 3 Maret.
Penetapan Hari Sarung Nasional ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga kebudayaan Indonesia dalam bentuk sarung.
Sarung Simbol Santri
Mengutip buku Sang Santri: Perjalanan Meraih Barakah Kyai yang disusun oleh Angkatan Madin IAIN Tulungagung 2018, di kalangan santri, sarung merupakan pakaian wajib yang selalu dikenakan kapan pun. Sarungan tidak hanya untuk santri putra, tapi kalangan santri putri pun banyak yang mengenakan sarung.
Saking identiknya, sarung seolah menjadi bagian dari jati diri seorang santri. Tradisi sarungan di kalangan santri sudah dilakukan sejak masa kolonialisme. Mengenakan sarung seolah menjadi simbol perlawanan terhadap budaya Barat.
Sarung juga sebagai penanda kehidupan yang sederhana. Sarungan kemudian menjadi istilah yang lekat dengan kehidupan para santri.
Dalam buku berjudul Peradaban Sarung yang ditulis Achmad Dhofir Zuhry, bagi santri belajar hidup sederhana adalah belajar untuk menjadi biasa-biasa saja, belajar tidak aneh-aneh, belajar ilmu tangan kosong, belajar mendaki untuk merendah, belajar bicara untuk diam, hingga belajar mati untuk hidup, sebab kualitas manusia setelah mati adalah panen dari pertanian selama hidup, belajar puasa di dunia untuk Lebaran di akhirat kelak.
(dvs/inf)
Komentar Terbanyak
Di Masjid Al Aqsa, Menteri Garis Keras Israel Serukan Ambil Alih Gaza
Menteri Israel Pimpin Ibadah Yahudi di Halaman Masjid Al Aqsa
PBNU Kritik PPATK, Anggap Kebijakan Blokir Rekening Nganggur Serampangan