Solusi Penamaan Produk Halal Bermasalah yang Disepakati BPJPH, MUI, dan Komite Fatwa

Solusi Penamaan Produk Halal Bermasalah yang Disepakati BPJPH, MUI, dan Komite Fatwa

Hanif Hawari - detikHikmah
Rabu, 09 Okt 2024 11:40 WIB
BPJPH, MUI, dan Komite Fatwa jalin rapat konsolidasi mengenai penamaan produk halal bermasalah, di Serpong, Selasa, (8/10/2024).
BPJPH, MUI, dan Komite Fatwa jalin rapat konsolidasi mengenai penamaan produk halal bermasalah, di Serpong, Selasa, (8/10/2024) (Foto: Dok. Kemenag)
Jakarta -

Kementerian Agama melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) menggelar rapat koordinasi dengan Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Komite Fatwa Produk Halal untuk membahas penamaan produk-produk yang telah bersertifikat halal namun memiliki nama yang dianggap bermasalah. Beberapa produk dengan nama seperti "tuyul", "tuak", "beer", dan "wine" telah menjadi perhatian publik karena mendapatkan sertifikasi halal.

Pertemuan yang berlangsung pada Selasa, 8 Oktober 2024, di Serpong ini dipimpin oleh Kepala BPJPH, Muhammad Aqil Irham. Rapat konsolidasi bertujuan untuk mengidentifikasi produk-produk yang bermasalah dalam hal penamaan sesuai dengan Fatwa MUI.

"Dari konsolidasi ini kita memperoleh data dari 5.314.453 produk (bersertifikat halal), (produk dengan) nama bermasalah sebanyak 151 produk. Prosentasenya adalah 0,003%. Artinya, alhamdulillah kita cukup proper," kata Aqil Irham, dalam siaran pers yang diterima detikHikmah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Namun demikian, dari 151 itu kita identifikasi temuannya ada dua, yang dikecualikan berjumlah 30 dan tidak dikecualikan berjumlah 121," lanjutnya.

Ketua MUI Bidang Fatwa, Asrorun Niam Sholeh, menjelaskan bahwa berdasarkan Fatwa MUI nomor 44 tahun 2020, ada dua kategori terkait penamaan produk. Pertama, pengecualian diberikan untuk nama, bentuk, atau kemasan yang secara umum diterima di masyarakat dan tidak terkait dengan hal-hal yang haram.

ADVERTISEMENT

"Misalnya yang secara 'urf atau kebiasaan di tengah masyarakat dikenal sesuatu yang biasa atau tidak terasosiasi dengan sesuatu yang haram. Misalnya bir pletok, dikenal sebagai jenis minuman tradisional yang halal, suci, dan tidak terasosiasi dengan pengertian bir yang mengandung alkohol," terang Asrorun Niam Sholeh dalam kesempatan yang sama.

Begitu juga dengan kata "wine" yang merujuk pada warna, seperti "red wine" yang dalam konteks ini tidak terlarang.

"Yang kedua, yang secara substansi memang tidak sejalan dengan fatwa. Karena itu, kita komitmen untuk melakukan perbaikan dan juga meminta pelaku usaha melakukan perbaikan dan perubahan sesuai dengan standar fatwa," ujar Asrorun Niam Sholeh.

Terkait mekanisme perbaikan penamaan produk, telah disepakati adanya langkah-langkah konkret untuk menyesuaikannya dengan seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan juga standar fatwa halal yang ditetapkan.

"Dengan demikian, konsolidasi ini akan semakin mengakselerasi proses penyelenggaraan sertifikasi halal dan dedikasi ini untuk kepentingan publik, kepentingan jaminan perlindungan halal, dan juga kepentingan ketepatan secara syar'i," imbuh Asrorun Niam Sholeh.

Zulfa Mustofa, Ketua Komite Fatwa Produk Halal, menambahkan bahwa masyarakat tidak perlu meragukan Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH) dan sertifikat halal yang diterbitkan BPJPH. Proses sertifikasi halal dijalankan sesuai dengan standar fatwa yang ditetapkan oleh Komisi Fatwa MUI dan Komite Fatwa Produk Halal, serta melalui audit yang ketat.

"Karena pada dasarnya kami menggunakan acuan yang sama, standar fatwa yang sama, kemudian juga melalui proses audit yang sama, walaupun memang di produk reguler mungkin sedikit lebih rumit," jelas Zulfa.

"Oleh karenanya, pada hal-hal yang tadi sudah disepakati, ada yang dikecualikan, maupun ada yang tidak dikecualikan, akan ada mekanisme yang kita lalui bersama. Ada proses perbaikan dan juga ada proses afirmasi kepada mereka," imbuh Zulfa.

"Masyarakat harus memiliki kepercayaan kepada Sistem Jaminan Produk Halal yang sudah ditetapkan oleh pemerintah dan juga yang fatwanya dikeluarkan oleh Komisi Fatwa MUI maupun Komite Fatwa Produk Halal," tukasnya.

Ada dua skema sertifikasi halal yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pertama, skema reguler yang melibatkan audit oleh Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dan sidang fatwa oleh MUI. Kedua, skema self declare yang diperuntukkan bagi usaha mikro dan kecil, di mana produk yang dipastikan halal dan sederhana dalam proses produksinya didampingi oleh Pendamping Proses Produk Halal (P3H) sebelum diajukan untuk disidangkan.

BPJPH berharap konsolidasi ini dapat mempercepat proses penyelenggaraan sertifikasi halal serta menjamin kehalalan produk sesuai dengan syariat Islam dan peraturan yang berlaku, demi memberikan perlindungan bagi masyarakat.




(hnh/lus)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads