Puasa di Tanah Para Nabi, Berteman dengan Cuaca Panas

Cerita Ramadan di Negeri Rantau

Puasa di Tanah Para Nabi, Berteman dengan Cuaca Panas

Adzani Wildan Muslim - detikHikmah
Jumat, 29 Mar 2024 17:00 WIB
Suasana Dars bada sahur di Suriah
Suasana Dars setelah sahur di Suriah. (Foto: Dok Pribadi)
Damaskus -

Suriah atau yang lebih akrab dijuluki dengan Tanah Para Nabi sebab histori mencatat bahwa para manusia pilihan sejak Nabi Ibrahim AS hijrah sampai Nabi Muhammad SAW berdagang saat masa mudanya ke Bumi Syam---salah satu negara di benua Asia bagian barat, yang bersebelahan dengan Laut Mediterania, dan diapit oleh Lebanon dan Turki di barat dan utara, juga Yordania dan Palestina di bagian selatan.

Negara yang dominan oleh iklim yang panas sebab sebagian besar wilayahnya adalah bukit dan padang pasir yang kering. Meski begitu, negara ini tetap memiliki 4 musim yang secara teratur setiap tahunnya, dan ketika musim dingin tiba, tak jarang butiran salju ikut merayakan tanah ini.

Sejak abad ke-7, Suriah dikuasai oleh dinasti-dinasti islam, sebut saja Umawiyyah, Abbasiyah, Ayyubiyah, Mamluk, juga Ottoman, sehingga akan banyak sekali peninggalan serta situs bersejarah yang masih ada hingga saat ini, khususnya dari Dinasti Bani Umawiyyah, seperti Jami' Al Umawi, Sahah Al Umawiyyin dengan Monumen Pedang Damaskusnya yang ikonik.

Masjid Jami' Umawiyy, SuriahMasjid Jami' Umawiyy di Suriah. (Foto: Dok Pribadi)

Ramadan di Tanah Para Nabi

Sebagai perantau yang tinggal di negara yang jauh dari kampung halaman, sudah tentu akan ada berbagai kejadian serta peristiwa yang sebelumnya tidak ditemukan seperti halnya di tanah air tercinta, Indonesia.

Adzani Wildan Muslim, yang akrab disapa Adzan, menceritakan ia turut merasakan perbedaan yang nyata antara Ramadan di Suriah dengan di Indonesia. Ia melihat berbagai keajaiban yang mungkin tak pernah ia bayangkan sebelum menapakkan kakinya di Tanah Para Nabi ini.

Salah satu dari 197 mahasiswa Indonesia di Suriah ini melihat kebiasaan sahur di negeri ini tidak hanya sekedar makan dan minum untuk menguatkan tubuh di siang hari Ramadan. Lebih dari itu, ulama, warga, serta para penuntut ilmu dari berbagai negara di tempatnya belajar menganggap sahur sebagai ajang untuk membiasakan diri bangun di sepertiga akhir malam serta merenungi tanda-tanda kekuasaan Allah yang Maha Besar yang tersimpan di dalamnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebab, menurut hadits dari Abu Hurairah (diriwayatkan) bahwa Rasulullah saw bersabda: Tuhan kami (Allah) tabaraka wa ta'ala turun ke langit dunia setiap malam ketika sepertiga malam yang terakhir seraya berfirman: Siapa yang berdoa kepada-Ku maka akan Aku kabulkan. Siapa yang meminta kepada-Ku, maka akan Aku beri. Siapa yang meminta ampun kepada-Ku, maka akan Aku ampun. (HR Bukhari dan Muslim)

Selain memandang waktu sahur sebagai waktu yang berkah, para ulama negeri Syam khususnya, juga berpandangan bahwa kegiatan sahur itu sendiri adalah berkah. Sehingga jika kita menggunakan kacamata yang sama seperti yang dilakukan oleh para ulama, niscaya sahur kita bukanlah sekedar sahur biasa akan tetapi jauh lebih bermakna dan mendapat ganjaran yang besar dan nyata.

ADVERTISEMENT

Ngabuburit dengan Amalan Saleh

Setelah melaksanakan siang yang panjang di bulan Ramadan sekitar 14 jam lamanya, tidak berhenti di sana ketakjuban yang dirasakan oleh Adzan. Sebab, tepat setelah terbenamnya matahari, dan terkumandanglah, "Allahu Akbar Allahu Akbar" dari masjid-masjid yang saling bersahutan, lagi-lagi mereka tidak memaknai iftar sebagaimana biasanya.

Iftar bukanlah ajang balas dendam atas rasa lapar dan haus yang dirasakan di tengah teriknya surya dan juga sesekali dingin yang menusuk tubuh. Mereka memaknai iftar tersebut yakni sebagai sarana mendapatkan kecintaan (mahabbah) dari Allah SWT dan Rasul-Nya sebab sangat tipis perbedaan antara keduanya, yakni dalam niat ketika melakukannya.

Mereka mengisi kegiatan baik sebelum dan saat iftar dengan berbagai macam kegiatan yang postif, misalnya seperti yang dilakukan oleh Isa Roee, seorang pelajar dari Malaysia di Suriah, ketika diwawancarai tentang bagaimana Ramadan di Tanah Para Nabi ini, ia menjelaskan bahwa ibadah seperti tadarus Al-Qur'an, berdzikir, Muroja'ah serta ibadah lainnya yang dilakukan bersama-sama dengan banyak pelajar dari berbagai negara lain, seperti Indonesia, India, Pakistan, Guinea, Malawi, Burkina Faso, Thailand, Filipina dan lainnya hingga terasa lebih syahdu dan menyenangkan.

"Ramadan adalah bulannya umat islam, bulan untuk berlomba-lomba berbuat kebajikan dan beribadah sebanyak-banyaknya, sebab ganjaran (pahala) saat Ramadan dilipatgandakan, sehingga sangat disayangkan bila penuntut ilmu seperti kami khususnya menyia-nyiakan momentum emas ini." tutur Isa Roee.

Maka, sudah sepantasnya bagi kita untuk mencontoh semangat yang membara dari para ulama, warga, juga para pelajar yang berada di Tanah Para Nabi ini. Besar harapan kita mampu memaksimalkan Ramadan tahun ini dengan sebaik-baiknya, sebab tak ada satupun jaminan untuk kita dapat berjumpa lagi dengan Ramadan di tahun yang akan datang.

Dan ya, inilah Ramadan kami, Ramadan Spektakuler di Tanah Para Nabi.

***

Adzani Wildan Muslim
Mahasantri Cham International Islamic Center, Damaskus,
For Shariah and Arabic Language, PPI Suriah

Artikel ini merupakan kolaborasi detikHikmah dengan PPI Dunia. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. (Terimakasih - Redaksi)




(rah/rah)
Puasa di Tanah Rantau

Puasa di Tanah Rantau

17 konten
Nuansa Ramadan di negeri orang tentunya berbeda dengan suasana Ramadan di tanah air. Hal itu dilatarbelakangi banyak faktor terutama budaya lokal setempat.

Hide Ads