Ramai Fenomena Serangan Fajar saat Pemilu, Ini Pesan Ketum Muhammadiyah

Ramai Fenomena Serangan Fajar saat Pemilu, Ini Pesan Ketum Muhammadiyah

Devi Setya - detikHikmah
Selasa, 13 Feb 2024 17:45 WIB
Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nashir
Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nashir Foto: Dok. Muhammadiyah
Jakarta -

Fenomena serangan fajar tak bisa dipisahkan dari pesta demokrasi di Indonesia. Banyak calon pemimpin yang seolah menganggap hal negatif ini sebagai sebuah kebiasaan.

Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 telah memasuki masa tenang, Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nashir mengingatkan kepada semua pihak untuk mengerem kampanye dan hal lain sebagainya.

Melansir laman resmi Muhammadiyah, Selasa (13/2/2024) Haedar berharap Pemilu 2024 ini berjalan dengan bersih sekaligus melahirkan pemimpin Indonesia yang autentik, serta berhasil membawa Indonesia ke puncak kejayaan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Haedar menyampaikan, sesuai dengan peraturan yang berlaku, pada masa tenang ini seluruh kontestan diimbau tidak melakukan aktivitas kampanye baik di media cetak, elektronik, termasuk jaringan media sosial, iklan, reklame dan lain sebagainya.

"Seluruh pihak harus taat peraturan, setiap pelanggaran ada tindakan hukumnya. Namun kegiatan politik tidak jarang memiliki kecerdikan menyiasati aturan," kata Haedar.

ADVERTISEMENT

Serangan Fajar Jadi Budaya Buruk di Indonesia

Guru Besar Sosiologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) ini juga menentang adanya praktik 'Serangan Fajar'. Menurutnya, itu adalah budaya buruk di Indonesia. Menyikapi itu dibutuhkan jiwa, etika, dan tindakan luhur.

"Serangan Fajar telah menjadi kultur buruk di negeri tercinta ini. Di sinilah pentingnya jiwa, etika, dan tindakan luhur para kontestan, serta seluruh pihak pendukungnya agar Pemilu dilakukan secara bersih," jelas Haedar.

Haedar memandang, kontestasi di ajang Pemilu merupakan ujian bagi martabat dan marwah bangsa Indonesia. Oleh karena itu, seluruh pihak patut introspeksi diri dan ikhtiar sungguh-sungguh untuk memperbaiki kondisi bangsa dan negara.

Setelah melalui lima kali Pemilu, seharusnya bangsa ini semakin dewasa dan arif dalam melaksanakan hajatan lima tahunan ini. Belajar dari kesalahan-kesalahan masa lalu mutlak diperlukan oleh bangsa Indonesia jika ingin maju.

Serangan Fajar dalam Pandangan Islam

Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa pada 2018 lalu yang intinya serangan fajar yakni politik uang dan pemberian imbalan dalam pemilu hukumnya haram.

"Politik uang termasuk mahar politik dan memberikan imbalan dalam bentuk apa pun adalah haram," ujar ketua MUI kala itu, Ma'ruf Amin, saat Ijma' Ulama Komisi Fatwa MUI di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Rabu (9/5/2018), seperti dilansir Antara.

Ma'ruf juga menegaskan, meminta imbalan kepada seseorang yang akan diusung atau dipilih sebagai calon anggota legislatif, kepala daerah, dan jabatan publik lain padahal itu merupakan tugasnya maka hukumnya haram.

Pada akhir tahun lalu, MUI mengeluarkan taujihat (seruan) tentang Pemilu Jujur, Adil, dan Damai. Taujihat ini lahir dari Komisi Rekomendasi, Musyawarah Kerja Nasional ke-3 MUI 2023 di Jakarta, Minggu (3/12/2023).

Taujihat yang tertuang dalam Surat Nomor Kep-92/DP-MUI/XII/2023 ini berisi delapan butir yang salah satunya menyerukan masyarakat Indonesia untuk menolak praktik politik transaksional, politik uang, manipulasi suara, dan jual beli suara.

"MUI menyerukan masyarakat Indonesia untuk berperan aktif dan berpartisipasi dalam Pemilu dengan menyalurkan aspirasi politiknya secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (Luber dan Jurdil) serta menolak praktik politik transaksional, politik uang, manipulasi suara, dan jual beli suara." bunyi poin kedua sebagaimana dikutip dari situs resmi MUI.




(dvs/lus)

Hide Ads